Rasionalisasi Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Luka

Oleh :
dr. Khrisna Rangga Permana

Antibiotik profilaksis harus diberikan secara rasional tanpa meningkatkan toksisitas atau resistensi antibiotik. Penggunaan antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi luka. Luka terbuka pada keadaan tertentu berpotensi mengalami infeksi serius, sehingga berpotensi menjadi luka kronis dan menghambat penyembuhan luka.

Akan tetapi, pemakaian irasional akan memberikan efek toksik pada tubuh baik lokal maupun sistemik serta risiko resistensi antibiotik. Maka dari itu, penanganan luka yang tepat lebih diperlukan untuk mencegah infeksi di luar dari pemberian antibiotik saja.[1,6]

Rasionalisasi Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Luka-min

Prinsip Utama Manajemen Luka

Manajemen luka yang tepat penting untuk mengurangi kemungkinan infeksi. Berikut ini prinsip manajemen dan pencegahan luka yang terinfeksi, luka terkontaminasi, penggunaan antibiotik, dan pencegahan infeksi pada luka.

Luka Terinfeksi

Jangan pernah menutup luka yang terinfeksi (luka dengan pus). Secara sistematis melakukan wound toilet dan debridemen. Lanjutkan siklus debridemen surgikal dan irigasi dengan cairan fisiologis, seperti normal salin, sampai luka benar–benar bersih.[6–8]

Luka Terkontaminasi

Jangan menutup luka yang terkontaminasi (luka yang terdapat benda asing atau benda yang terinfeksi) dan luka bersih yang lebih dari 6 jam. Lakukan debridemen, biarkan terbuka lalu tutup 48 jam kemudian. Hal ini dikenal sebagai delayed primary closure.[6–8]

Pemberian Antibiotik

Antibiotik tidak mencapai sumber infeksi luka. Antibiotik hanya mencapai daerah sekitar luka. Antibiotik mungkin perlu tetapi perlu dikombinasikan dengan debridemen dan toilet luka yang tepat. Penggunaan antibiotik topikal dan pencucian luka dengan larutan antibiotik tidak dianjurkan.[6–8]

Pencegahan Infeksi

Pencegahan infeksi pada luka dilakukan dengan cara sebagai berikut:

  • Stabilisasi hemodinamik, pulihkan patensi jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi darah sesegera mungkin setelah cedera terjadi
  • Hangatkan pasien serta berikan nutrisi berenergi tinggi dan pereda nyeri
  • Jangan gunakan tourniquet

  • Lakukan wound toilet dan debridemen sesegera mungkin (dalam 8 jam jika memungkinkan)
  • Lakukan universal precautions untuk menghindari penularan infeksi
  • Berikan antibiotik profilaksis pada pasien dengan luka dalam dan luka lain yang sesuai dengan indikasi[2]

Wound Toilet dan Debridemen Luka

Berikut ini adalah protokol untuk wound toilet dan debridemen luka:

  1. Oleskan salah satu dari dua antiseptik ini ke luka:
  2. Cuci luka dengan sabun dan air matang yang telah direbus selama 10 menit, lalu irigasi dengan cairan salin normal
  3. Debridemen dan lakukan irigasi luka kembali
  4. Biarkan luka terbuka. Balut dengan cairan salin normal yang didesinfeksi atau kasa bersih, lalu tutupi luka dengan dressing kering. Ganti balutan dan dressing paling tidak setiap hari

Antiseptik yang direkomendasikan antara lain larutan polyvidone–iodine 10% atau kombinasi cetrimide 15% dan chlorhexidine gluconate 1,5%. Larutan povidone iodine 10% murni dua kali sehari. Aplikasi pada luka terbuka yang luas dapat menyebabkan efek samping sistemik.[2]

Debridemen dilakukan dengan cara menghilangkan kotoran dan benda asing pada luka secara mekanis dan gunakan teknik bedah untuk memotong jaringan yang nekrotik. Tindakan pemotongan jaringan nekrotik ini tidak memberikan perdarahan aktif saat dipotong. Jika anestesi lokal dibutuhkan, gunakan lidokain 1% tanpa epinefrin.[2]

Manajemen Luka dengan Risiko Infeksi Tetanus

Luka yang berisiko mengalami infeksi tetanus adalah luka yang terjadi >6 jam sebelum perawatan luka atau pada interval waktu berapapun dan menunjukkan 1 atau lebih dari kriteria berikut ini:

  • Luka tipe tusukan
  • Tingkat kerusakan jaringan signifikan
  • Ada bukti klinis sepsis, luka terkontaminasi dengan tanah/pupuk kandang, luka bakar, atau frostbite[2,7]

Pada luka yang berisiko untuk mengalami infeksi tetanus, diperlukan manajemen sebagai berikut:

  1. Rekomendasi WHO untuk profilaksis tetanus adalah vaksin tetanus toksoid (TT) atau vaksin toksoid difteri (Td) dan tetanus immunoglobulin (TIG)
  2. Bila vaksin tetanus dan imunoglobulin diberikan bersamaan, penyuntikan harus menggunakan jarum suntik terpisah dan lokasi penyuntikan yang berbeda[2]

Pemberian vaksin tetanus berdasarkan usia, yaitu pada dewasa dan anak berusia di atas 10 tahun dan pada anak berusia di atas 10 tahun.[2]

Dewasa dan anak berusia di atas 10 tahun:

Imunisasi aktif menggunakan TT atau Td menggunakan 1 dosis, yaitu sebanyak 0,5 ml dan disuntikkan secara intramuskular atau subkutan. Pasien kemudian dilakukan follow up pada 6 minggu dan 6 bulan.[2]

Anak berusia di bawah 10 tahun:

Difteri dan vaksin tetanus (DT) diberikan dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan intramuskular atau subkutan. Pada kelompok usia ini, follow up minimal 4 minggu dan 8 minggu.[2]

Pemberian Tetanus Immunoglobulin (TIG):

Tetanus immunoglobulin (human) 500 unit/vial diberikan dengan dosis 250 unit secara intramuskular, kemudian tingkatkan menjadi 500 unit jika terjadi salah satu dari kondisi berikut:

  • Luka yang terjadi lebih dari 12 jam
  • Luka terkontaminasi berat atau memiliki risiko untuk terkontaminasi berat
  • Berat pasien >90 kg[2]

Indikasi Pemberian Antibiotik Profilaksis

World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian antibiotik profilaksis pada luka yang berisiko tinggi terinfeksi, seperti luka yang terkontaminasi, luka tembus, trauma abdomen, fraktur multipel, laserasi dengan ukuran >5 cm, luka dengan kerusakan jaringan yang signifikan, serta luka pada lokasi anatomi berisiko tinggi infeksi seperti tangan atau kaki.[2,6–8]

Indikasi ini berlaku untuk luka–luka yang mungkin memerlukan atau tidak memerlukan intervensi bedah. Untuk luka yang memerlukan intervensi bedah, antibiotik profilaksis juga harus diberikan sebelum operasi dalam 2 jam sebelum sayatan.[2,6–8]

Antibiotik yang dianjurkan adalah penicillin G dan metronidazole yang diberikan 1 kali (lebih dari sekali jika lama pembedahan >6 jam). Dosis antibiotik yang digunakan sebagai profilaksis adalah sebagai berikut:

  • Penicillin dengan dosis untuk orang dewasa 8–12 juta IU sekali secara IV, sedangkan pada anak diberikan dengan dosis 200.000 IU/kg sekali secara IV
  • Metronidazole dengan dosis untuk orang dewasa 1.500 mg sekali (diinfuskan dalam 30 menit), sedangkan pada 20 mg/kg sekali secara IV[2]

Infeksi superfisial yang ringan, seperti impetigo, selulitis ringan akibat abrasi dan laserasi biasanya dapat diterapi dengan antibiotik topikal, seperti bacitracin, polymyxin B/bacitracin/neomycin, dan mupirocin.

Jika bakteri anaerob dicurigai, metronidazole gel 0,75% dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan antibiotik lain, kecuali pada infeksi Staphylococcus aureus yang dicurigai resisten terhadap methicillin (MRSA).[1,3–5]

Pada infeksi bakteri MRSA, krim mupirocin 2% ditemukan lebih superior daripada antibiotik topikal lainnya dan beberapa antibiotik oral. Antibiotik oral empirik harus dipertimbangkan pada infeksi nonsuperfisial yang sedang hingga berat.

Infeksi luka sedang hingga berat pada pasien yang imunokompromais biasanya memerlukan antibiotik parenteral. Pemilihan agen antibiotik harus disesuaikan dengan kemungkinan patogen penyebab infeksi serta pola resistensi antibiotik pada tempat praktik.[1,3–5]

Bukti Ilmiah Studi Terdahulu tentang Antibiotik Profilaksis pada Luka

Sebuah meta analisis yang meliputi 7 uji acak terkontrol meneliti 1.734 pasien dengan luka non–bite menemukan bahwa kelompok pasien yang menerima antibiotik sistemik tidak memiliki insidensi infeksi yang lebih rendah secara signifikan daripada kelompok pasien yang tidak diterapi.[1]

Sebuah uji acak terkontrol pada 922 pasien yang menjalani pembedahan steril menemukan bahwa tidak ada peningkatan insidensi infeksi luka operasi pada kelompok yang menerima intervensi petrolatum dibandingkan dengan kelompok yang menerima salep antibiotik.[1]

Akan tetapi, beberapa studi lain mendukung penggunaan antibiotik profilaksis untuk luka ringan. Sebuah uji acak terkontrol pada 426 pasien dengan luka tanpa komplikasi melaporkan insidensi infeksi ditemukan lebih rendah secara signifikan pada kelompok yang menerima antibiotik topikal.[1]

Kesimpulan

Antibiotik profilaksis merupakan salah satu intervensi dalam manajemen luka untuk mencegah terjadinya infeksi. Penggunaan antibiotik profilaksis masih menjadi perdebatan karena berisiko pada tingginya resistensi antibiotik.

Berdasarkan rekomendasi WHO, antibiotik profilaksis dapat diberikan pada luka yang memiliki risiko tinggi mengalami infeksi, yaitu luka yang terkontaminasi, luka tembus, trauma abdomen, fraktur multipel, laserasi yang lebih besar dari 5 cm, luka dengan kerusakan jaringan yang signifikan, serta luka pada lokasi anatomi berisiko tinggi seperti tangan atau kaki.[2]

Implementasi antibiotik profilaksis pada praktik sehari–hari harus berdasarkan pertimbangan yang baik untuk menentukan perlu tidaknya antibiotik profilaksis, agen antibiotik yang diperlukan, serta dosis dan rute pemberian. Pemilihan agen antibiotik harus disesuaikan dengan kemungkinan patogen penyebab infeksi serta sejarah dan pola resistensi antibiotik setempat.

 

 

Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli

Referensi