Pertimbangan Untuk Tidak Lagi Menggunakan Hidrogen Peroksida dalam Manajemen Luka

Oleh :
dr.Monica

Beberapa negara sudah merekomendasikan untuk tidak lagi menggunakan hidrogen peroksida atau H2O2 dalam manajemen luka karena banyaknya potensi bahaya terkait obat ini. Hidrogen peroksida merupakan zat kimia oksidator kuat yang sering digunakan dalam irigasi luka. Meski demikian, penggunaan hidrogen peroksida telah dikaitkan dengan kerusakan oksidatif yang berlebihan yang malah memperlambat proses penyembuhan luka dan menimbulkan kerusakan jaringan lebih berat.[1-3]

Dalam praktik klinis, hidrogen peroksida umumnya digunakan untuk irigasi luka akibat trauma selama pembedahan, membersihkan kotoran dan benda asing kecil pada luka, mencegah infeksi, serta mengontrol perdarahan.[2-5]

HidrogenPeroksida

Peran Biologis Hidrogen Peroksida dalam Penyembuhan Luka

Hidrogen peroksida merupakan salah satu variasi reactive oxygen species (ROS) yang secara biologis berperan dalam proses penyembuhan luka. Peranan utama hidrogen peroksida adalah untuk membunuh bakteri karena kemampuan bakterisidal yang dimilikinya. Selain itu, hidrogen peroksida juga berperan sebagai signaling molecule atau second messenger untuk memicu terjadinya reaksi inflamasi.

Hidrogen peroksida juga berperan dalam homeostasis luka. Hidrogen peroksida dapat menginduksi aktivasi tissue factor, agregasi platelet, serta melakukan regulasi koagulasi termal, kontraktilitas, dan fungsi barrier sel endotel ke area luka. Sebagai inisiator dan promotor inflamasi, hidrogen peroksida juga merangsang pengeluaran leukosit dan sitokin pro-inflamasi untuk menjaga agar patogen tidak menginfeksi luka.[2,6,7]

Efek lain dari hidrogen peroksida adalah merangsang pembentukan keratinosit dan mempercepat aktivitas angiogenesis dan regenerasi jaringan. Pada tahap akhir proses penyembuhan luka, hidrogen peroksida akan meningkatkan ekspresi transforming growth factor-1 (TGF-1) sekaligus meningkatkan proliferasi fibroblas.

Meski begitu, perlu dicatat bahwa hidrogen peroksida yang diproduksi secara fisiologis pada level seluler memiliki konsentrasi yang jauh lebih rendah dibandingkan mengaplikasikan hidrogen peroksida ke luka.[2,6]

Pro dan Kontra Penggunaan Hidrogen Peroksida dalam Manajemen Luka

Di Amerika Serikat, badan regulasi seperti FDA sudah tidak lagi menyarankan penggunaan hidrogen peroksida dalam konsentrasi tinggi untuk penggunaan medis. Menurut FDA, hidrogen peroksida membawa potensi bahaya serius, termasuk mudah menyebabkan kebakaran, reaksi alergi yang mengancam nyawa, luka bakar, ulkus kornea bila terkena mata, serta ulserasi gastrointestinal jika tertelan.

Meski demikian, pada sebagian negara lain, termasuk Indonesia, beberapa layanan kesehatan masih menggunakan hidrogen peroksida dalam manajemen luka.[1,2]

Argumen yang Pro Terhadap Penggunaan Hidrogen Peroksida

Hidrogen peroksida konsentrasi rendah berperan sebagai kemoatraktan yang menarik sel-sel inflamasi serta merangsang proses proliferasi fibroblas dan sel endotel vaskular yang berperan dalam proses penyembuhan luka. Dalam eksperimen yang dilakukan pada tikus coba, hidrogen peroksida 10 mM dilaporkan menghasilkan peningkatan angiogenesis dan penutupan luka. Angiogenesis merupakan tahap penting proses penyembuhan luka karena berperan dalam pembentukan jaringan granulasi dan proliferasi sel.[3,5-7]

Selain hidrogen peroksida konsentrasi rendah, konsentrasi tinggi 980 mM (3%) yang digunakan dalam campuran dengan cairan salin normal dengan perbandingan 50:50 atau dengan povidone iodine 10% juga telah dilaporkan mampu menurunkan angka kejadian infeksi.[3]

Dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan terhadap 53 pasien dengan luka ekstremitas bawah akut terkontaminasi dan berukuran cukup luas, penggunaan hidrogen peroksida 7% dilaporkan menghasilkan granulasi jaringan yang lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol. Meski begitu, studi ini tidak menganalisis lebih lanjut luaran luka lainnya, seperti pembentukan jaringan parut, keluhan nyeri, dan hasil estetika akhir. Studi ini juga memiliki risiko bias tinggi karena tidak dilakukan pengacakan dan blinding. Uji klinis dengan desain lebih baik masih diperlukan.[2]

Argumen yang Kontra Terhadap Penggunaan Hidrogen Peroksida

Stres oksidatif yang terjadi akibat tingginya konsentrasi reactive oxygen species (ROS) pada hidrogen peroksida akan mengganggu reaksi asam nukelat, protein, dan lipid, yang berpotensi menyebabkan hilangnya fungsi dan kerusakan jaringan. Selain itu, terhambatnya proses migrasi dan proliferasi sel juga akan mengganggu reaksi inflamasi yang berdampak pada terjadinya infeksi yang akan mengganggu proses penyembuhan luka.[7]

Dalam studi pada tikus coba yang telah disebutkan di atas, penggunaan hidrogen peroksida konsentrasi 166 mM (0,5%) ditemukan malah memperlambat proses penyembuhan luka. Hal ini diduga berkaitan dengan rendahnya formasi jaringan penghubung yang menghambat proses penutupan luka, serta tingginya aktivitas proteolisis pada jaringan.[2,3]

Selain stress oksidatif, efek sitotoksik dan risiko emboli udara akibat penggunaan hidrogen peroksida juga merupakan faktor yang menjadi pertimbangan. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa hidrogen peroksida memiliki efek toksik pada keratinosit dan fibroblas yang secara tidak langsung akan mengganggu proses re-epitelisasi. Sementara itu, risiko emboli udara terjadi pada penggunaan hidrogen peroksida di luka yang disertai robekan pada dura mater atau luka dengan rongga.[2,4,5]

Kesimpulan

Tidak ada basis bukti yang kuat, misalnya uji klinis skala besar dengan desain penelitian yang bagus dan blinding, untuk mendukung manfaat penggunaan hidrogen peroksida dalam manajemen luka. Di sisi lain, dokter perlu ingat bahwa hidrogen peroksida merupakan larutan asam yang bersifat korosif, sitotoksik, dan berpotensi menyebabkan bahaya apabila digunakan secara tidak tepat atau tidak sengaja.

Sebagai contoh, larutan hidrogen peroksida berwarna bening dan dapat salah terminum karena dikira air, yang kemudian bisa menyebabkan ulserasi maupun perforasi saluran cerna. Apabila hidrogen peroksida terciprat ke mata, maka dapat terjadi ulkus kornea.

Mengingat terdapat alternatif larutan irigasi luka lain yang lebih aman, seperti cairan salin normal, hidrogen peroksida sebaiknya tidak lagi digunakan dalam manajemen luka. Apabila alternatif yang lebih aman tidak tersedia atau tidak dapat diberikan, hidrogen peroksida sebaiknya digunakan dalam konsentrasi kecil.

Referensi