Pendahuluan Selulitis
Berdasarkan WHO, selulitis atau dikenal juga sebagai cellulitis, adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi streptococcal ataupun staphylococcal pada jaringan subkutan, yang biasanya disebabkan oleh luka minor yang terkontaminasi. Selulitis yang tidak diobati dapat menyebabkan toksemia sistemik. Kejadian berulang dapat menyebabkan limfedema kronis yang dapat menjadi faktor predisposisi episode infeksi berulang. [1]
Diagnosis selulitis tidak memiliki baku emas. Diagnosis dapat dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan kulit. Pada pemeriksaan kulit biasanya ditemukan kemerahan, lesi unilateral, dengan nyeri tekan, disertai batas yang tidak jelas. Diagnosis banding perlu disingkirkan, terutama erisipelas, yang juga merupakan penyakit pioderma profundal seperti selulitis. Lesi pada selulitis memiliki batas yang tidak jelas dan biasanya tidak menonjol.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan darah rutin. Pemeriksaan kultur pus dan darah serta pemeriksaan radiologi seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI), Computed Tomography Scan (CT-Scan tidak dilakukan kecuali pada kondisi khusus, misalnya terdapat kecurigaan adanya komplikasi selulitis seperti abses atau necrotizing fasciitis. USG dapat digunakan untuk menilai diagnosis banding deep vein thrombosis. Pemeriksaan histopatologi dilakukan setelah dilakukan eksplorasi terbuka, yang dilakukan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi sistemik.
Penatalaksanaan selulitis dapat dilakukan menggunakan antibiotik berdasarkan organisme penyebab selulitis. Antibiotik beta-laktam seperti Penisilin G, Nafcillin, Oxacillin dapat digunakan sebagai terapi lini pertama, kecuali terdapat alergi penisilin atau resistensi. Pada pasien dengan alergi penisilin, alternatif yang dapat diberikan adalah sefalosporin seperti cefazolin, makrolida seperti erithromycin, atau antibiotik glikopeptida seperti vancomycin. Durasi pemberian terapi adalah 5-10 hari pada pasien tanpa gangguan imun.
Terdapat kontroversi terhadap pilihan antibiotik untuk selulitis. Pedoman klinis umumnya menyarankan pemberian terapi intravena untuk selulitis sedang-berat tetapi studi menunjukkan pemberian terapi oral tidak inferior dibandingkan dengan terapi intravena.
Prevensi pada selulitis dimulai dari perbaikan faktor risiko. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi, seperti obesitas, diabetes, merokok, dan konsumsi alkohol harus segera diperbaiki. Apabila terdapat luka ataupun infeksi lain seperti infeksi jamur, ataupun riwayat penyakit kulit lain, seperti dermatitis kontak yang menahun, harus segera ditangani agar tidak terjadi selulitis. Pemberian antibiotik profilaksis masih dipertanyakan efektivitasnya. Studi yang ada belum mendukung pemberian antibiotik profilaksis pada populasi risiko tinggi.