Diagnosis Abses Paru
Diagnosis abses paru patut dicurigai pada pasien dengan keluhan demam dan batuk, serta memiliki faktor risiko atau bukti adanya konsolidasi paru. Rontgen dada akan menunjukkan gambaran kavitas dengan air-fluid level. Namun, sejumlah diagnosis banding seperti tuberkulosis, neoplasma berkavitas, granulomatosis Wegener, dan aspergilloma tetap perlu dibedakan dari abses paru.
Anamnesis
Batuk dan demam merupakan dua gejala utama yang dapat ditemukan pada penderita abses paru. [9] Gejala batuk dan demam lebih sering dijumpai pada pasien dengan abses paru akut dibandingkan kronik. Abses paru kronik biasanya bersifat indolen dan mungkin hanya ditandai gejala berupa penurunan berat badan. Demam yang dialami pasien dengan abses paru dapat disertai menggigil. Batuk yang dialami dapat berupa batuk kering yang tidak produktif jika belum terdapat keterlibatan bronkus. Jika sudah ada keterlibatan bronkus, maka batuk biasanya produktif dan dapat disertai dengan hemoptisis. [2]
Gejala lainnya yang dapat ditemukan pada abses paru akut antara lain hemoptisis, keringat malam hari, penurunan berat badan, sesak nafas, dan nyeri dada pleuritik. [9,12] Selain itu, pada 50% kasus, pasien dapat mengeluhkan sputum yang berbau busuk disertai dengan bau mulut. [13]
Pada anamnesis juga perlu ditanyakan mengenai faktor risiko abses paru, seperti riwayat penyakit yang dapat menjadi penyebab sekunder dari abses paru, penggunaan alkohol atau obat-obatan, dan riwayat merokok.
Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik pada pasien dengan abses paru dapat bervariasi dari tidak adanya temuan fisik yang khas, hingga adanya sejumlah temuan fisik yang mendukung diagnosis abses paru. Beberapa temuan pemeriksaan fisik yang mungkin didapatkan pada penderita abses paru antara lain demam, takipnea, penurunan berat badan, dan jari tabuh. [2,6]
Pada auskultasi paru dapat ditemukan suara nafas amforik atau cavernous breathing. [12] Temuan klinis yang menandakan adanya konsolidasi seperti penurunan suara napas pokok, pekak pada perkusi, suara napas bronkial, dan ronki basah kasar pada sisi paru yang terlibat juga bisa muncul. [14] Selain pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis abses paru, beberapa pemeriksaan fisik untuk mengonfirmasi faktor risiko juga perlu diperhatikan, seperti penurunan kesadaran dan oral hygiene yang buruk.
Diagnosis Banding
Mengingat abses paru merupakan salah satu bentuk infeksi pada paru-paru, diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah infeksi lain, seperti tuberkulosis. Selain itu, beberapa diagnosis banding lainnya yang perlu dipertimbangkan antara lain karsinoma berkavitas, granulomatosis Wegener, kista atau bulla terinfeksi, dan aspergiloma. [2,6]
Tuberkulosis
Membedakan tuberkulosis dari abses paru dapat diawali dengan menggali adanya riwayat kontak dengan pasien yang terinfeksi M. tuberculosis. Selain itu, riwayat penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, mudah lelah, penurunan nafsu makan, batuk lama, keringat malam, dan demam lebih mungkin ditemukan pada pasien dengan tuberkulosis dibandingkan abses paru. [15]
Pada abses, gambaran rontgen dada ditandai adanya suatu densitas atau massa dengan kavitas yang umumnya disertai air-fluid level. Pada pasien dengan tuberkulosis, kavitas biasanya terletak di lobus atas salah satu lapang paru dengan infiltrat parenkimal dan pola tree-in-bud pada gambaran CT scan. [16,17]
Neoplasma Berkavitas
Neoplasma berkavitas biasanya dapat ditandai oleh suhu tubuh subfebris, gejala sistemik yang minimal, tidak ada leukositosis, serta tidak adanya faktor risiko abses paru. Keluhan batuk darah mungkin ditemukan, khususnya pada pasien dengan karsinoma bronkogenik. [19]
Pada gambaran rontgen dada, neoplasma dapat terlihat sebagai suatu nodul soliter berkavitas, berbentuk bulat atau ireguler dengan ketebalan dinding yang bervariasi. Kavitas dengan ketebalan dinding di atas 24 mm yang disertai adanya konsolidasi lebih mengarahkan diagnosis pada neoplasma dibandingkan abses paru. [20] Petunjuk lain dari rontgen dada yang dapat membantu membedakan abses paru infektif dari suatu lesi keganasan adalah lokasi lesi di segmen paru anterior dan adanya tanda erosi tulang atau metastasis. [7]
Granulomatosis Wegener
Saluran napas atas dan bawah serta ginjal merupakan dua organ yang sering terkena dampak granulomatosis Wegener. Gejala batuk dan sesak yang ditemukan pada hampir 95% pasien dengan granulomatosis Wegener dapat menyerupai gejala yang dialami oleh pasien dengan abses paru. Namun, granulomatosis Wegener dapat dibedakan dari abses paru melalui adanya kondisi penyerta lain seperti rinosinusitis, epistaksis, dan hemoptisis. Selain itu, manifestasi ekstra paru seperti glomerulonefritis, mononeuritis multipleks, neuropati sensorimotorik, lesi mukokutan, pioderma gangrenosum lebih mungkin ditemukan pada kasus granulomatosis Wegener dibandingkan abses paru. [20-22]
Pada pemeriksaan penunjang, diagnosis granulomatosis Wegener dapat didukung dengan adanya hematuria dan proteinuria pada urinalisis serta antibodi sitoplasmik antineutrofil. [22,23]
Kista Terinfeksi
Kista paru ditandai oleh adanya gambaran radiolusen berbentuk bulat di dalam parenkim paru dengan dinding tipis berbatas tegas (< 2 mm). [24] Sementara itu, bula adalah rongga berisi udara berukuran lebih dari 1 cm yang muncul akibat kerusakan emfisematosa pada parenkim paru. Kedua kondisi ini dapat disertai dengan adanya gambaran air-fluid level yang dapat mengisyaratkan infeksi di dalam kista atau bula. Namun, gambaran tersebut tidak selalu didukung oleh adanya hasil pertumbuhan kuman pada pemeriksaan biakan dari sampel cairan bula. [25,26]
Penyakit bula pada paru biasanya berkaitan dengan riwayat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), penggunaan kokain, sarkoidosis, sindrom Marfan, dan paparan kadmium. [26] Pasien dengan bula atau kista yang terinfeksi dapat mengeluhkan sesak napas maupun tidak bergejala sama sekali. [27] Tampilan klinis yang berat berupa adanya sepsis dan biakan kuman yang positif juga bisa ditemukan. [26]
Kista atau bula yang terinfeksi dengan mudah didiagnosis bila rontgen dada pasien pada saat sebelum adanya air-fluid level dimiliki sebagai pembanding. Bila rontgen dada pembanding tidak tersedia, kecurigaan terhadap diagnosis bula yang terinfeksi akan semakin tinggi bila gambaran kavitas dengan air-fluid level yang besar tidak sebanding dengan gejala yang dialami pasien. [25]
Aspergilloma
Aspergilloma merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada pasien dengan infeksi jamur Aspergillus. Aspergilloma muncul pada suatu kavitas yang telah ada sebelumnya dan terdiri dari komponen hifa jamur, sel inflamasi, fibrin, mukus, dan debris jaringan. Aspergilloma biasanya disebabkan oleh A. fumigatus dan cukup sering ditemukan pada kavitas paru pasien dengan tuberkulosis.
Pada rontgen dada, aspergilloma terlihat sebagai opasitas berbentuk bulat dalam suatu kavitas dan CT scan biasanya menunjukkan batasan lesi aspergilloma secara lebih jelas dengan adanya ruang udara berbentuk sabit. Namun, dinding kavitas pada aspergilloma juga dapat terlihat menebal dengan gambaran air-fluid level di dalam kavitas. Untuk membantu membedakan abses paru bakterial dari suatu aspergilloma, deteksi antibodi terhadap Aspergillus dengan serum presipitin dapat digunakan.[28,29]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang memiliki peran yang amat penting pada penegakan diagnosis abses paru, terutama pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan Radiologi
Pada rontgen dada, temuan kavitas dapat menunjang diagnosis abses paru. Meskipun demikian, CT Scan dada tetap merupakan pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis abses paru. [6]
Sebuah studi yang dilakukan di India melaporkan bahwa gambaran radiologis yang dapat ditemukan pada kasus abses paru antara lain kavitas dengan karakteristik air-fluid level (74%), diikuti dengan kavitas kosong (17%), dan kavitas dengan konsolidasi (9%). Kebanyakan abses paru ditemukan pada paru kanan lobus atas (52,17%), paru kanan lobus bawah (19,56%), dan paru kiri lobus atas (13,1%). [9]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah tidak spesifik untuk diagnosis abses paru. Hasil pemeriksaan darah dapat menunjukkan adanya anemia akibat penyakit kronik dan leukositosis. [12]
Pada penderita efusi atau empyema yang dicurigai menderita abses paru, pemeriksaan aspirat cairan pleura dapat memperkuat diagnosis. [6]
Pemeriksaan invasif seperti bronkoskopi, mungkin diperlukan pada pasien yang dicurigai menderita keganasan, aspirasi benda asing, atau sulit mengeluarkan sputum. [6,30] Bronkoskopi juga disarankan untuk pasien yang telah diketahui mengalami kegagalan pengobatan. [30] Pada kasus-kasus tersebut, kultur aspirat bronkial dari lavase bronkoalveolar dapat membantu mengkonfirmasi patogen penyebab. [6]
Pemeriksaan sputum perlu dilakukan untuk mengetahui patogen penyebab pada kasus abses paru. Pemeriksaan sputum yang dimaksud mencakup pemeriksaan mikroskopis, kultur dan sensitivitas, serta bakteri tahan asam (BTA). [30]