Penatalaksanaan Tifoid
Masalah dalam penatalaksanaan tifoid adalah pasien yang terinfeksi bakteri Salmonella typhi, yang datang ke ruang gawat darurat, atau ke klinik praktek dokter bisa jadi sudah dalam keadaan fase lanjut, dan kemungkinan sudah memasuki minggu ke-2 demam tifoid.
Perawatan Di Rumah
Di daerah endemik, lebih dari 60-90 persen kasus demam tifoid bisa dirawat di rumah saja. Dokter akan memberikan antibiotika, dengan anjuran tirah baring, menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan, dan menghindari menyajikan makanan untuk keluarga atau orang lain. Penderita juga dianjurkan untuk menjaga kebersihan saat buang air besar dan kecil sehingga tidak menularkan penyakit kepada orang lain.
Perawatan di rumah dapat dilakukan apabila keadaan umum dan kesadaran pasien lumayan baik, serta gejala dan tanda klinis tidak menunjukkan infeksi tifoid berlanjut. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.
Rujukan Ke Rumah Sakit
Pada keadaan tertentu, pasien tifoid perlu menjalani perawatan di rumah sakit. Perawatan dapat dilakukan di bangsal umum maupun ICU, tergantung pada keadaan klinis pasien.
Perawatan Di Bangsal Umum
Perawatan inap di bangsal umum diperlukan pada keadaan :
- Pasien yang masih demam tinggi dan tidak ada perbaikan dengan berobat jalan
- Keadaan umum penderita yang tampak toksik
- Kesadaran apatis, atau somnolen
- Dengan gejala dan tanda klinis tidak menunjukkan infeksi tifoid lanjut
Perawatan di ICU
Pasien tifoid dengan kesadaran menurun atau dengan gejala dan tanda klinis tifoid berat, dimasukkan ke dalam ruang ICU untuk observasi ketat terhadap tanda-tanda vital dan komplikasi. Posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu ke waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
Diet
Pada pasien tifoid, sebaiknya diberikan makanan dengan gizi yang baik, mudah dicerna, dan lunak. Penderita tifoid juga harus minum air yang cukup dan bisa ditambah dengan sup atau jus untuk mencegah dehidrasi dan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.[2]
Antibiotika
Penggunaan antibiotika di Indonesia sebagai negara endemis tifoid sangat merajalela dan dapat dikonsumsi masyarakat secara luas sehingga marak terjadi resistensi antibiotika. [2,21,22] Hingar bingar resistensi antibiotika terhadap banyak penyakit termasuk tifoid didengungkan di berbagai hasil penelitian di seluruh dunia.
Pengobatan demam tifoid semestinya berdasarkan kepastian bahwa obat tersebut tidak resisten terhadap bakteri Salmonella typhi yang berada dalam tubuh pasien. Hal ini dapat diketahui dari pemeriksaan kultur dan resistensi.
Azitromisin
Azitromisin efektif dan aman diberikan pada anak-anak dan dewasa yang mengidap demam tifoid tanpa komplikasi. [23,24] Dosis yang diberikan secara oral adalah 10 mg/kgBB per hari selama 7 hari, dengan dosis maksimal 500 mg.
Belum pernah dilaporkan adanya adverse effect kecuali mual, muntah dan ikterus. Demam turun sekitar dua hari setelah terapi, dengan angka keberhasilan pengobatan (clinical cure rate) 94%.
Fluorokuinolon
Generasi pertama obat ini pada mulanya sangat efektif menyembuhkan tifoid tapi beberapa waktu kemudian menjadi resisten secara luas di berbagai tempat di Asia, disusul generasi ketiga.[1,21] Walau demikian, generasi ke-2 masih berguna dan efektif.[2,24]
Obat fluorokuinolon generasi kedua yang dapat digunakan misalnya Ofloksasin, diberikan oral 20 mg/kgBB per hari, maksimum 400 mg/hari, diberikan selama 7-10 hari.
Fluorokuinolon generasi 4 juga efektif untuk pengobatan tifoid walau demikian, obat ini potensial berefek toksik pada anak-anak dan juga memiliki harga yang mahal.[2]
Cephalosporin
Generasi ke-3, seperti cefixime, ceftriaxone, cefotaxime dan cefoperazone masih dianggap efektif sebagai pengobatan demam tifoid.[2,24] Dosis yang diberikan biasanya adalah cefixime 15-20 mg/kgBB per hari selama 5 – 7 hari untuk dewasa dan anak-anak, diberikan per oral dalam dosis terbagi.
Kloramfenikol
Meski terdapat laporan mengenai resistensi dan kemungkinan relaps dengan obat ini, kloramfenikol masih tetap diberikan oleh petugas medis di berbagai tempat di Indonesia karena dianggap masih efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral. Namun, obat ini ditakuti karena berefek samping berupa supresi sumsum tulang dan anemia aplastik, juga menyebabkan grey baby syndrome bila dikonsumsi oleh wanita hamil. [1,2,17]
Penggunaannya kepada anak-anak usia 6-13 tahun tanpa komplikasi masih efektif dalam mengobati demam tifoid ini. Perbaikan klinis biasanya akan nampak dalam waktu 72 jam, dan suhu akan kembali normal dalam waktu 3-6 hari, dengan lama pengobatan antara 7-14 hari. Dosis yang biasa diberikan adalah 50-100 mg/kgBB/hari. [1,12,17]
Walaupun penggunaan kloramfenikol memerlukan kehati-hatian, namun penggunaannya masih lebih baik pada tifoid dibandingkan antibiotika lain yang dilaporkan sudah resistensi, seperti ampisilin, amoksisilin, kotrimoksasol, nalidixic acid, ciprofloxacin.
Tiamfenikol
Pilihan lain yang analog dengan kloramfenikol, yang masih digunakan di Indonesia dan masih dianggap efektif untuk menyembuhkan demam tifoid adalah tiamfenikol. [17] Efek samping hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada kloramfenikol. Pada penggunaan tiamfenikol 75 mg/kgBB/hari, demam pada tifoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
Proses pemulihan
Penderita yang survive akan masuk ke dalam minggu keempat di mana demam, status mental dan distensi abdomen secara perlahan membaik untuk beberapa hari selanjutnya. Penderita harus tirah baring sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus. Berat badan dan kelemahan fisik akan berangsur membaik setelah berbulan-bulan kemudian. Mobilisasi penderita dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Penderita yang sembuh dari tifoid biasanya akan menjadi carrier asimptomatik Salmonella typhi dan berpotensial untuk mentransmisikan bakteri ini sepanjang hidupnya dalam waktu yang tidak terbatas.