Pendahuluan Demam Tifoid
Demam tifoid adalah penyakit bakterial sistemik dengan karakteristik utama berupa demam dengan pola khas "step-ladder" disertai dengan manifestasi gastrointestinal yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi. Demam tifoid adalah penyakit yang menular dengan jalur fekal-oral.[1]
Bakteri salmonella serotipe lain, yaitu Salmonella paratyphi (tipe A, B dan C) juga dapat menyebabkan manifestasi klinis demam mirip demam tifoid yang dikenal dengan istilah demam paratifoid. Secara klinis demam paratifoid tidak dapat dibedakan dengan demam tifoid, namun umumnya demam paratifoid memiliki gambaran klinis yang lebih ringan. Biasanya kedua jenis penyakit ini biasa disebut secara satu kesatuan dengan istilah “demam enterik”.[1,2]

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit penyebab mortalitas dan morbiditas tertinggi di daerah pemukiman padat penduduk dengan sanitasi yang buruk. Diagnosis utama demam tifoid ditegakkan dengan pemeriksaan kultur darah. Dari anamnesis penting digali mengenai riwayat bepergian ke daerah endemik demam tifoid, tinggal di daerah padat penduduk dan sulit air bersih. Pemeriksaan fisik secara umum sulit membedakan demam tifoid dengan penyakit lainnya. Penegakan diagnosis demam tifoid dilakukan dengan bantuan pemeriksaan penunjang.[1,3]
Saat ini penatalaksanaan utama demam tifoid adalah dengan terapi antibiotik yang disesuaikan dengan profil resistensi antibiotik untuk setiap daerah endemik yang bisa saja sangat berbeda untuk masing-masing daerah. Secara umum, terapi empiris utama pada demam tifoid pasien dewasa adalah antibiotik golongan fluorokuinolon (contoh: ciprofloxacin) dan chloramphenicol untuk pasien anak-anak.[1,4,5]
Prognosis demam tifoid saat ini telah jauh lebih baik sejak pengenalan terapi antibiotik sebagai lini utama penatalaksanaan demam tifoid yang secara signifikan menurunkan mortalitas dan morbiditas demam tifoid. Namun saat ini dunia kembali mengalami permasalahan baru dalam terapi demam tifoid, yaitu munculnya bakteri salmonella resisten obat.[1]