Masuk atau Daftar

Alo! Masuk dan jelajahi informasi kesehatan terkini dan terlengkap sesuai kebutuhanmu di sini!
atau dengan
Facebook
Masuk dengan Email
Masukkan Kode Verifikasi
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan melalui SMS ke nomor
Kami telah mengirim kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Kami telah mengirim ulang kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Terjadi kendala saat memproses permintaan Anda. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Selanjutnya

Tidak mendapatkan kode? Kirim ulang atau Ubah Nomor Ponsel

Mohon Tunggu dalam Detik untuk kirim ulang

Nomor Ponsel Sudah Terdaftar

Nomor yang Anda masukkan sudah terdaftar. Silakan masuk menggunakan nomor [[phoneNumber]]

Masuk dengan Email

Silakan masukkan email Anda untuk akses Alomedika.
Lupa kata sandi ?

Masuk dengan Email

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk akses Alomedika.

Masuk dengan Facebook

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk verifikasi akun Alomedika.

KHUSUS UNTUK DOKTER

Logout
Masuk
Download Aplikasi
  • CME
  • Webinar
  • E-Course
  • SKP
  • Diskusi Dokter
  • Penyakit & Obat
    Penyakit A-Z Obat A-Z Tindakan Medis A-Z
Diagnosis Strongyloidiasis general_alomedika 2022-10-20T11:54:50+07:00 2022-10-20T11:54:50+07:00
Strongyloidiasis
  • Pendahuluan
  • Patofisiologi
  • Etiologi
  • Epidemiologi
  • Diagnosis
  • Penatalaksanaan
  • Prognosis
  • Edukasi dan Promosi Kesehatan

Diagnosis Strongyloidiasis

Oleh :
dr. Michael Sintong Halomoan
Share To Social Media:

Diagnosis infeksi akut strongyloidiasis dapat dicurigai pada pasien dengan manifestasi kulit berupa larva currens. Pada infeksi kronis, keluhan pasien dapat berupa gejala gastrointestinal, seperti perut kembung atau diare, atau gejala pernapasan, misalnya batuk kering kronis. Baku emas diagnosis adalah dengan pemeriksaan mikroskopik tinja untuk menemukan larva Strongyloides stercoralis.

Anamnesis

Anamnesis diperlukan untuk mengetahui gejala klinis, baik pada fase akut maupun kronis. Pada anamnesis, penting untuk mencari tahu faktor risiko pasien terinfeksi Strongyloides.

Infeksi Akut

Pada infeksi akut, masuknya larva cacing ke dalam kulit dapat menyebabkan keluhan gatal dan kemerahan pada kulit. Lesi kulit awal dapat diikuti dengan timbulnya edema dan urtikaria yang mungkin bertahan selama 3 minggu.

Setelah sekitar 1 minggu, batuk kering dapat terjadi. Pada minggu ke-3, dapat muncul keluhan saluran pencernaan, antara lain diare, nyeri abdomen, konstipasi, dan anoreksia.[6,7,12]

Infeksi Kronis

Strongyloidiasis kronis biasanya tidak disertai gejala atau hanya bergejala ringan. Gejala yang dialami dapat berupa gejala gastrointestinal, kulit, dan pernafasan. Gejala gastrointestinal yang dapat terjadi pada infeksi kronis berupa nyeri perut, nyeri ulu hati, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, gatal pada anus, dan penurunan berat badan.

Gejala kulit dapat berupa rasa gatal, serta munculnya lesi pada kulit. Lesi kulit patognomonik pada strongyloidiasis disebut sebagai larva currens, yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas akibat migrasi larva.

Gejala pernafasan dapat berupa nyeri dada, batuk kering kronis, hingga sesak. Gejala strongyloidiasis akut dan kronis dapat ditemukan pada strongyloidiasis berat, yang diikuti oleh gejala neurologis seperti nyeri kepala, kejang fokal, hingga penurunan kesadaran, serta dapat melibatkan multiorgan.[6,7,12]

Faktor Risiko

Riwayat faktor risiko infeksi Strongyloides perlu ditanyakan pada pasien. Pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV), maupun infeksi T-lymphotropic virus 1 berisiko  lebih tinggi untuk terkena infeksi berat, seperti hiperinfeksi dan diseminasi.

Penurunan imunitas yang disebabkan oleh konsumsi obat, misalnya kortikosteroid, seperti dexamethasone, atau antikanker, seperti chlorambucil , serta kondisi medis lain, misalnya diabetes, malnutrisi, alkoholisme, juga dapat meningkatkan risiko infeksi strongyloidiasis berat.[6,10]

Pemeriksaan Fisik

Pada strongyloidiasis akut, pemeriksaan fisik dapat memberikan gambaran edema, urtikaria, dan petekie di lokasi masuknya larva Strongyloides stercoralis, biasanya pada kaki. Gambaran bronkopneumonia dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik saat masa larva bermigrasi di saluran pernapasan. Pasien dapat terlihat anemis saat larva masuk ke dalam mukosa usus.

Pada strongyloidiasis kronik, lesi kulit yang dapat ditemukan berupa larva currens. Larva currens merupakan lesi linear serpiginosa disertai urtikaria sebagai gambaran pergerakan cacing intradermal. Kecepatan pergerakan larva yang mencapai 5–10 cm/jam dan lokasi lesi biasanya pada bokong, selangkangan, perut, dan batang tubuh. Lesi akan hilang setelah 12–48 jam, tetapi dapat bersifat rekuren akibat autoinfeksi.[2,6,13]

Diagnosis Banding

Diagnosis banding strongyloidiasis dipikirkan berdasarkan kemiripan manifestasi klinis, baik pada saluran gastrointestinal, pernapasan, atau kulit. Beberapa diagnosis banding, antara lain asma, kolitis ulseratif, dan cutaneous larva migrans. Untuk membedakan strongyloidiasis dari diagnosis banding lain, dapat dilakukan pemeriksaan tinja secara mikroskopik, untuk mencari larva rhabditiform.

Asma

Pada pasien strongyloidiasis terkadang ditemukan gejala dispnea dan wheezing, sehingga menyerupai asma. Namun, asma biasanya sudah terjadi sejak pasien masih kanak-kanak. Selain itu pada penderita asma biasa ditemukan riwayat dermatitis atopik atau rhinitis alergi yang menyertai, baik pada pasien atau keluarganya.[15]

Kolitis Ulseratif

Beberapa gejala kolitis ulseratif serupa dengan strongyloidiasis, antara lain diare, nyeri abdomen, dan demam. Namun, biasanya ulseratif kolitis juga disertai dengan gejala lain, misalnya perdarahan per rektum, dehidrasi akibat keluarnya cairan purulen pada rektum, kram perut, dan distensi abdomen. Diagnosis kolitis ulseratif dikonfirmasi dengan endoskopi dan biopsi untuk melihat mukosa kolon yang abnormal.[16]

Cutaneous Larva Migrans

Cutaneous Larva Migrans (CLM) merupakan lesi kulit akibat infeksi cacing tambang, yang memiliki efloresensi serupa dengan larva currens. Lesi sama-sama berbentuk serpiginosa, berwarna merah, dan terasa gatal. Namun, berbeda dengan larva currens, pertumbuhan lesi CLM lebih lambat, yaitu kurang dari 1–2 cm/hari, dan lesi banyak ditemukan pada ibu jari kaki. Selain itu, ada pasien CLM, biasanya tidak terjadi eosinofilia.[12,17]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam penegakan diagnosis strongyloidiasis adalah pemeriksaan tinja dan serologi.[6]

Sampel Tinja

Penemuan larva pada tinja, cairan duodenum, atau pada cairan jaringan lain dapat menegakkan diagnosis strongyloidiasis secara definitif. Tetapi, karena densitas larva umumnya rendah, pemeriksaan disarankan untuk dilakukan berulang. Beberapa metode yang dianjurkan untuk memeriksa sampel tinja secara mikroskopis adalah :

  • Microscopy after concentration, dengan teknik Baermann funnel dan formalin-ether concentration technique (FECT)

  • Microscopy after culture, dengan teknik yang disarankan adalah Harada-Mori filter paper culture dan kultur agar Koga

  • Mikroskopi direk, dengan melihat apusan tinja dalam salin dan pewarnaan Lugol iodin secara langsung di bawah mikroskop [1,6]

Pemilihan penggunaan teknik di atas didasarkan atas ketersediaan di masing-masing fasilitas kesehatan. World Gastroenterology Organisation (WGO) merekomendasikan teknik Baermann funnel dan agar Koga karena memiliki sensitivitas yang lebih baik dibanding teknik lain.[1,6]

Serologi

Dibandingkan pemeriksaan tinja, tes serologi memiliki sensitivitas yang lebih besar. Namun, beberapa ahli masih meragukan spesifisitasnya karena adanya reaksi silang dengan parasit filarial, schistosomiasis, dan askariasis, serta sulit untuk membedakan antara kasus aktif dan infeksi terdahulu, karena antibodi bisa bertahan selama beberapa waktu.

Tes serologi yang paling mudah dan banyak digunakan adalah enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Tes ini dapat mendeteksi kadar serum imunoglobulin G terhadap larva filariformis.[6]

Polymerase Chain Reaction

Polymerase chain reaction (PCR) berpotensi membantu diagnosis strongyloidiasis. Namun, belum terstandarisasi, dan studi yang ada masih menunjukkan sensitivitas yang beragam. Pada PCR, akan ditemukan DNA cacing di sampel tinja.[6]

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi

1. CDC. Strongyloidiasis. Resources for Health Professional. 2022. https://www.cdc.gov/parasites/strongyloides/health_professionals/index.html
2. Mora Carpio AL, Meseeha M. Strongyloides Stercoralis. StatPearls Publishing; 2022. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK436024/
6. WGO Review Team. Management of Strongyloidiasis. World Gastroenterology Global Guidelines, 2018. http://www.worldgastroenterology.org/UserFiles/file/guidelines/management-of-strongyloidiasis-english-2018.pdf
7. Gonzales DJ, Chakraborty RK, Climaco A. Strongyloidiasis. StatPearls Publishing. 2022 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430775/
10. Viney ME, Lok JB. The Biology of Strongyloides spp. WormBook, 2015. http://dx.doi.org/10.1895/wormbook.1.141.2
12. Krolewiecki A, Nutman TB. Strongyloidiasis: A Neglected Tropical Disease. Infect Dis Clin North Am. 2019 Mar;33(1):135-151. doi: 10.1016/j.idc.2018.10.006.
13. Chandrasekar PH. Strongyloidiasis. Medscape. 2022 https://emedicine.medscape.com/article/229312-overview#a3
14. Page W, Judd JA, Bradbury RS. The Unique Life Cycle of Strongyloides stercoralis and Implications for Public Health Action. Trop Med Infect Dis. 2018 May 25;3(2):53. doi: 10.3390/tropicalmed3020053.
15. Hashmi MF, Tariq M, Cataletto ME. Asthma. StatPearls Publishing. 2022 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430901/
16. Basson MD. Ulcerative Colitis. Medscape. 2022 https://emedicine.medscape.com/article/183084-overview#a1
17. Maxfield L, Crane JS. Cutaneous Larva Migrans. StatPearls Publishing. 2022 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507706/

Epidemiologi Strongyloidiasis
Penatalaksanaan Strongyloidiasis
Diskusi Terbaru
dr. Gabriela Widjaja
1 hari yang lalu
Penggunaan Epinefrin dengan Anestesi Lokal di Jari Tangan dan Kaki Aman - Artikel SKP Alomedika
Oleh: dr. Gabriela Widjaja
1 Balasan
ALO Dokter!Penggunaan epinefrin sebagai tambahan anestesi lokal dulunya didogma berbahaya karena dianggap bisa menyebabkan nekrosis akibat vasokonstriksi....
Anonymous
1 hari yang lalu
Vitamin A diberikan sampai anak umur berapa
Oleh: Anonymous
1 Balasan
Dok untuk pemberian vitamin A yg rutin di bulan Febuari dan Agustus itu rutin diberikan sampai anak umur berapa? apa cukup di 1 tahun pertama saja atau harus...
Anonymous
1 hari yang lalu
Induksi persalinan di puskesmas
Oleh: Anonymous
4 Balasan
Alo dok.Izin bertanya, kapan kita bisa memutuskan induksi persalinan dg oxytocin jika setting nya di puskesmas ?Dan bagaimana prosedurnya yang tepat dlm...

Lebih Lanjut

Download Aplikasi Alomedika & Ikuti CME Online-nya!
Kumpulkan poin SKP sebanyak-banyaknya, Gratis!

  • Tentang Kami
  • Advertise with us
  • Syarat dan Ketentuan
  • Privasi
  • Kontak Kami

© 2021 Alomedika.com All Rights Reserved.