Diagnosis Tetanus
Diagnosis tetanus yang utama adalah melalui anamnesis dan gejala klinis. Masa inkubasi tetanus berkisar antara 3-21 hari sejak inokulasi spora pada luka. Interval median dari kejadian luka dan timbulnya gejala tetanus adalah 7 hari. Pada beberapa kasus gejala dapat timbul paling cepat <2 hari dari kejadian luka.[7]
Anamnesis
Anamnesis terhadap pasien yang dicurigai menderita tetanus meliputi riwayat kejadian luka yang meliputi kapan terjadinya, mekanisme terjadinya luka, dan perawatan luka yang telah dilakukan. Selain daripada itu, hal yang perlu ditanyakan adalah kapan gejala pertama kali muncul sejak terjadinya luka, riwayat operasi atau prosedur medis (misalnya: sirkumsisi, pencabutan gigi, persalinan, dan sebagainya), dan port d’entree lain seperti penggunaan jarum suntik atau otitis media supuratif kronis berulang.
Riwayat vaksinasi tetanus sebelumnya juga penting ditanyakan untuk menentukan apakah pasien memiliki imunitas yang adekuat terhadap tetanus.
Pada kasus dicurigai tetanus neonatorum, tanyakan dimana persalinan dilakukan, siapa penolong persalinan, dan apa alat yang digunakan untuk memotong dan mengikat tali pusat bayi. Pada kasus tetanus neonatorum, tanda klinis yang muncul pertama kali adalah kemampuan menghisap yang buruk (sebelumnya normal). Tanda klinis tersebut dapat muncul di usia bayi 3-10 hari.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien tetanus umumnya tanda vital normal, kecuali jika sudah terjadi gangguan sistem saraf otonom. Demam tidak selalu ada pada pasien tetanus.
Pemeriksaan fisik yang terutama untuk tetanus adalah penemuan salah satu tanda klinis yakni trismus atau risus sardonikus atau spasme otot yang nyeri.
Trismus adalah kekakuan pada daerah rahang dan leher yang menyebabkan pasien sulit membuka mulut.
Risus sardonikus adalah gambaran yang khas pada tetanus berupa spasme pada otot wajah dimana otot bibir mengalami retraksi, mata tertutup sebagian, elevasi alis yang membuat wajah pasien tampak seperti sedang menyeringai. Saat mengalami spasme otot, kesadaran pasien tetap baik dan dapat merasakan nyeri.
Tes spatula dapat dilakukan dengan memasukkan spatula lidah ke dalam mulut pasien untuk memicu refleks muntah. Hasil negatif jika pasien berusaha mengeluarkan spatula. Pada pasien tetanus tes ini akan merangsang spasme otot masseter, sehingga pasien akan menggigit spatula yang dimasukkan.
Pada pemeriksaan fisik tetanus neonatorum dapat ditemukan refleks hisap yang lemah. Kelainan lain yang dapat ditemukan adalah bayi gelisah, menangis terus menerus, risus sardonikus, rigiditas, dan opistotonus.[2]
Berdasarkan gejala klinis tetanus diklasifikasikan menjadi tetanus lokal, tetanus generalisata, dan tetanus sefalik.[2,8]
Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk tetanus yang paling ringan. Gejala klinis yang muncul biasanya adalah spasme atau kedutan pada otot di sekitar luka. Pasien akan mengeluhkan nyeri setiap terjadi spasme otot tersebut. Keluhan dapat bertahan selama beberapa minggu hingga beberapa bulan. Kematian akibat tetanus lokal sangat rendah, namun tetap memiliki kemungkinan untuk berkembang menjadi tetanus generalisata.[6-8]
Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata adalah bentuk tetanus yang paling banyak ditemukan (>80% kasus). Tetanus generalisata bisa diawali dengan tetanus lokal selama beberapa hari. Gejala klinis yang muncul pertama kali biasanya adalah trismus (±90% kasus). Gejala klinis lain yang sering muncul di awal kejadian tetanus adalah spasme dan rasa nyeri pada daerah leher atau kaku kuduk. Pada lansia keluhan awal yang muncul dapat berupa disfagia (kesulitan menelan).
Gejala klinis lain yang dapat muncul pada tetanus generalisata antara lain risus sardonicus, opistotonus (spasme beberapa kelompok otot yang menyebabkan gambaran punggung yang melengkung, lengan adduksi, fleksi pada siku dan pergelangan tangan, serta ekstensi tungkai bawah), dan gangguan pernapasan akibat spasme otot dinding dada, faring, ataupun laring.
Spasme otot yang bersifat episodik dapat timbul akibat rangsangan berupa sentuhan, cahaya, dan suara. Pada perkembangan penyakit, spasme dapat terjadi secara spontan. Spasme otot yang terjadi dapat menyerupai konvulsi, namun dengan kesadaran yang intak. Spasme otot yang hebat dapat menyebabkan ruptur tendon hingga fraktur tulang. Tetanus generalisata dapat juga diikuti dengan gangguan sistem saraf otonom, yang menimbulkan takikardia atau bradikardia, instabilitas tekanan darah, diaforesis, flushing, dan aritmia.[6-8]
Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk tetanus yang paling jarang terjadi. Biasanya disebabkan karena otitis media kronis atau trauma kepala. Berbeda dengan tetanus lokal dan generalisata yang ditandai dengan spasme, pada tetanus sefalik gejala klinis yang muncul berupa paralisis nervus kranial. Nervus yang paling sering terkena adalah N.VII. Tetanus yang diakibatkan karena trauma penetrasi mata dapat menyebabkan paralisis N.III dan ptosis. Nervus lain yang sering terkena pada tetanus sefalik adalah N.IV, IX, X, dan XII. Pada kasus tetanus sefalik dapat juga timbul trismus, disfagia, dan kaku kuduk. Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus generalisata. [2,8]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding tetanus tergantung dari tanda klinis yang muncul pada pemeriksaan fisik pasien.
Tanda klinis trismus selain ditemukan pada pasien tetanus dapat pula muncul pada kasus infeksi intraoral, keracunan striknin, penggunaan obat distonik seperti metoklopramid atau fenotiazin, dan hipokalsemia.
Meningoensefalitis dapat menjadi diagnosis banding tetanus saat tanda klinis kaku kuduk muncul. Namun, pada meningoensefalitis biasanya ditemukan penurunan kesadaran, demam tinggi, dan kejang.
Rigiditas abdomen yang ditemukan pada tetanus, dapat didiagnosis banding dengan akut abdomen atau kelainan lain intraabdomen (peritonitis, perdarahan intraabdomen, kehamilan ektopik terganggu).
Bell’s Palsy dan neuritis trigeminal bisa menjadi diagnosis banding pada tetanus sefalik. Namun, tetanus sefalik seringkali disertai dengan disfagia, trismus, dan kaku kuduk.[2,6,7]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya tidak dibutuhkan untuk penegakkan diagnosis tetanus. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk tetanus.[7]
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium darah biasanya normal pada pasien tetanus, walaupun dapat ditemukan sedikit leukositosis. Pemeriksaan elektrolit dapat digunakan untuk menyingkirkan spasme otot akibat hipokalsemia. Pemeriksaan kadar striknin dalam darah atau urin dapat dilakukan untuk menyingkirkan spasme akibat keracunan striknin, bila pada pasien tidak ditemukan port d’entree dan ada riwayat penggunaan pestisida.
Kultur sekret luka belum tentu memberikan hasil yang positif. Di lain pihak, hasil kultur yang positif Clostridium Tetani juga dapat ditemukan pada pasien yang tidak menderita tetanus. [6-8]
Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan lain seperti lumbal pungsi tidak diperlukan karena biasanya hasilnya normal. Pemeriksaan radiologis juga tidak perlu dilakukan.[2,6]