Penatalaksanaan Luka Bakar Pada Anak
Tata laksana luka bakar pada anak terdiri dari pertolongan pertama, penatalaksanaan kegawatdaruratan, sistem rujukan, perawatan luka, dan tata laksana nyeri. Penanganan kegawatdaruratan luka bakar merupakan topik yang cukup luas dan mendalam. Australia and New Zealand Burn Association (ANZBA) mengadakan pelatihan bernama Emergency Management of Severe Burns (EMSB) secara khusus untuk membahas dan mensimulasikan topik ini kepada praktisi medis di berbagai negara. Dalam beberapa tahun terakhir, kursus ini telah rutin diadakan di Indonesia sehingga pelatihan tersebut dapat diikuti dengan lebih mudah. [9]
Pertolongan Pertama
Pertolongan pertama yang harus dilakukan pada anak-anak dengan luka bakar adalah segera menghentikan proses terjadinya cedera luka bakar. Pada pasien dengan api yang masih menyala pada pakaian atau tubuh, hal yang harus dilakukan adalah berhenti berlari, menjatuhkan diri ke tanah/lantai, berguling-guling, dan ditutupi tubuhnya dengan selimut agar api cepat padam. Pada pasien dengan luka bakar listrik, sumber arus listrik harus dimatikan. Penolong harus memastikan situasi aman bagi diri sendiri sebelum melakukan pertolongan kepada pasien. [6,12]
Tindakan yang harus dilakukan selanjutnya adalah melepaskan pakaian atau aksesoris yang terbakar atau terkena panas. Hal ini harus segera dilakukan karena panas yang masih tersimpan pada pakaian dan aksesoris (misalnya baju yang terkena tumpahan air panas, gelang logam yang ikut terkena api saat kejadian) dapat menyebabkan cedera luka bakar terus berlanjut. [6,12,13]
Irigasi Air pada Luka Bakar
Luka selanjutnya di irigasi menggunakan air sejuk dan bersih (bisa menggunakan air keran yang bersih) selama 20 menit. Metode pendinginan ini efektif untuk mengurangi dampak kerusakan jaringan akibat luka bakar bila dilakukan dalam 3 jam pertama sejak kejadian. Risiko yang perlu diwaspadai dalam proses pendinginan ini adalah hipotermia. Bagian tubuh yang tidak didinginkan dengan air mengalir sebaiknya ditutup dengan selimut. Ruangan harus dijaga dalam suhu yang hangat dan tidak berangin. Setelah proses pendinginan selesai, kulit dikeringkan dan ditutup dengan selimut atau kain bersih. [6,12,13]
Metode yang tidak dianjurkan untuk proses pendinginan pada pertolongan pertama luka bakar adalah dengan menggunakan es atau air es. Metode ini meningkatkan risiko terjadinya hipotermia dan meningkatkan derajat iskemik pada kulit akibat vasokonstriksi. Mengompres luka bakar dengan kain basah juga dapat meningkatkan risiko terjadinya hipotermia, di samping proses pendinginan luka yang tidak terlalu efektif. Pertolongan pertama luka bakar dengan menggunakan bahan-bahan lain yang dapat ditemukan di rumah, seperti mentega, odol, kecap, atau bahan lainnya tidak memiliki landasan ilmiah. Metode ini tidak dianjurkan karena berisiko menyebabkan iritasi, alergi, atau bahkan luka bakar kimia. [1,6,12]
Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Penanganan kegawatdaruratan luka bakar merupakan topik yang cukup luas dan mendalam. Saat ini terdapat banyak guideline yang berbeda di seluruh dunia. Australia and New Zealand Burn Association (ANZBA) membuat sebuah guideline bernama Emergency Management of Severe Burns (EMSB) yang telah diaplikasikan di berbagai negara. Dalam beberapa tahun terakhir, kursus ini telah rutin diadakan di Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan keseragaman prinsip penatalaksanaan kegawatdaruratan luka bakar. Penatalaksanaan kegawatdaruratan luka bakar anak yang dijelaskan dalam artikel ini mengacu pada guideline EMSB. [14]
Pasien dengan luka bakar harus diperlakukan sebagai pasien trauma dalam penatalaksanaannya di unit gawat darurat. Oleh karena itu, skema penilaian awal yang harus dilakukan serupa dengan pasien trauma lain, yaitu penilaian dan penanganan masalah airway, breathing, circulation, disability, dan exposure. [6,13]
Penanganan Jalan Napas dan Pernapasan
Secara garis besar, masalah yang sering dijumpai pada luka bakar fase akut dan berpotensi mengancam nyawa adalah gangguan airway dan sirkulasi. Pada pasien anak-anak, trauma inhalasi dan edema jaringan di sekitar jalan napas dapat menyebabkan obstruksi airway. Pasien dengan obstruksi atau ancaman obstruksi jalan napas, harus diintubasi untuk mempertahankan patensi jalan napas. Intubasi sebaiknya dilakukan oleh tenaga medis yang ahli dan berpengalaman karena tingkat kesulitannya cukup tinggi akibat kondisi anatomis dan adanya edema pada saluran napas. [1,6,13]
Pasien luka bakar pada anak disertai inhalasi karbon monoksida dapat memiliki gejala gelisah, sakit kepala, mual, koordinasi buruk, pemburukan memori, disorientasi, bahkan koma. Kondisi ini membutuhkan suplementasi oksigen menggunakan non-rebreathing mask dengan flow oksigen 15 liter per menit. Seandainya terdapat eskar melingkar pada rongga dada atau abdomen anak-anak yang mengakibatkan restriksi respirasi, maka perlu dilakukan tindakan eskarotomi untuk menghilangkan hambatan ekspansi rongga dada dan rongga abdomen. [6]
Penanganan Sirkulasi dan Cairan Resusitasi
Masalah sirkulasi yang dapat dijumpai pada pasien luka bakar adalah syok akibat kebocoran kapiler darah yang bersifat sistemik. Untuk mengantisipasi gangguan sirkulasi ini perlu dilakukan resusitasi cairan apabila luas luka bakar melebihi 10% total body surface area (TBSA) pada anak-anak. Kebutuhan cairan resusitasi dalam 24 jam pertama dihitung dengan menggunakan rumus modified Parkland, yaitu 3 cc x BB (dalam kg) x % TBSA. [6,12,13]
Total cairan yang didapatkan melalui perhitungan ini, setengahnya diberikan dalam 8 jam pertama sejak kejadian. Setengah sisa cairan resusitasi tersebut diberikan dalam 16 jam berikutnya. Kecepatan dan jumlah cairan yang diberikan pada akhirnya harus disesuaikan dengan respon tubuh pasien terhadap cairan resusitasi. Kedua variabel tersebut disesuaikan dengan produksi urin pasien setiap jam untuk menghindari over atau under resuscitation. Pasien anak juga memerlukan pemberian cairan rumatan intravena yang diberikan bersamaan dengan cairan resusitasi. Untuk melakukan perhitungan cairan resusitasi, maka tenaga medis harus mampu menilai kedalaman dan menghitung luas luka bakar. [1,6,13]
Kriteria Rujukan
Setelah penatalaksanaan kegawatdaruratan selesai dilakukan, dokter perlu menentukan apakah pasien luka bakar anak yang ditangani perlu dirujuk ke pusat perawatan luka bakar (burn center). Kriteria untuk merujuk ke burn center pada pasien anak dengan luka bakar menurut ANZBA adalah sebagai berikut:
- Semua luka bakar pada anak usia < 1 tahun
- Pasien anak usia 1-2 tahun, dengan luka bakar TBSA > 5%
- Pasien anak usia > 2 tahun dengan luka bakar partial-thickness, dan TBSA > 10%
- Semua pasien luka bakar derajat tiga, dengan ukuran berapa pun
- Luka bakar pada area khusus: wajah, tangan, sendi besar, perineum, genital, serta luka bakar pada jalan napas (trauma inhalasi)
- Luka bakar listrik, kimia, atau luka bakar bukan kecelakaan (child abuse, kejahatan) [6]
Persiapan Rujukan
Persiapan rujukan dimulai dengan re-evaluasi primary dan secondary survey untuk memastikan bahwa semua kegawatdaruratan telah benar-benar teratasi. Langkah berikutnya adalah melakukan komunikasi antara pusat kesehatan yang merujuk dengan pusat kesehatan yang dituju. Hal yang perlu dikomunikasikan adalah identitas pasien, diagnosis serta kondisi saat ini, masalah pada pasien, dan tatalaksana yang telah dilakukan terhadap pasien. Hal lain yang perlu didiskusikan adalah metode transfer (jalur dan fasilitas transportasi) serta tenaga medis yang mendampingi pasien. Dokumentasi pasien perlu dilengkapi dalam proses merujuk. Data dokumentasi ini meliputi kondisi medis pasien serta penatalaksanaan yang telah diberikan pada periode sebelum pasien dirujuk hingga selama pasien dalam perjalanan. Data ini akan memudahkan petugas medis di fasilitas rujukan untuk mengevaluasi dan merencanakan penatalaksanaan lanjutan. [6]
Perawatan Luka
Target yang harus dicapai dalam perawatan luka bakar adalah membuang jaringan mati, mengontrol eksudat, memfasilitasi proses penyembuhan luka, mencegah infeksi, dan meminimalkan nyeri serta trauma psikologis pada pasien saat penggantian balutan. Modalitas utama perawatan luka bakar sangat bergantung pada kedalaman luka bakar. [12]
Debridement dan Skin Graft
luka bakar full thickness dan deep dermal ditatalaksana dengan surgical debridement untuk membuang jaringan mati, dan skin graft (tandur kulit) untuk menutup luka. Saat ini, tindakan pembedahan yang dilakukan segera, kurang dari 3 hari, sejak kejadian luka bakar telah menjadi standar tatalaksana luka bakar full thickness di seluruh dunia. Teknik ini terbukti dapat menurunkan angka mortalitas, sepsis, dan lama perawatan di rumah sakit. [6,13]
Perawatan dengan Balutan
Perawatan konservatif menggunakan balutan digunakan untuk luka bakar yang lebih dangkal. Balutan yang ideal adalah balutan yang dapat mempertahankan kelembaban luka, menyerap eksudat yang berlebih, mencegah infeksi, tidak nyeri atau menyebabkan kerusakan jaringan saat penggantian balutan, tidak perlu sering diganti, mudah untuk diaplikasikan, dan murah. Saat ini tersedia berbagai produk perawatan luka yang dapat digunakan untuk merawat luka bakar. Tidak ada produk perawatan luka yang dapat memenuhi seluruh target perawatan luka bakar pada semua jenis luka dan pasien. Oleh karena itu, pemilihan modalitas balutan harus didasarkan pada penilaian luka dan kondisi pasien.
Kasa Parafin:
Modalitas yang paling banyak digunakan untuk membalut luka bakar adalah dengan menggunakan kasa parafin dengan atau tanpa antimikroba. Kasa parafin ini digunakan sebagai balutan pertama yang menempel langsung pada luka. Kasa steril dapat ditambahkan di atas kasa parafin untuk berperan sebagai penyerap eksudat dan pelindung luka. Jenis balutan ini merupakan pilihan yang paling murah dan mudah didapatkan. [15]
Kelemahan utama balutan ini adalah walaupun telah dilapisi parafin, kasa masih sering melekat pada permukaan luka pada saat penggantian balutan. Ketika balutan diangkat, epitel muda dapat ikut terangkat sehingga menyebabkan perdarahan dan nyeri pada pasien. Meskipun demikian, modalitas balutan ini seringkali menjadi satu-satunya pilihan perawatan yang tersedia. Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi masalah ini adalah dengan menebalkan balutan kasa untuk menyerap lebih banyak eksudat, sehingga frekuensi penggantian balutan dapat dikurangi. Selain itu, kassa dapat dibasahi dengan cairan NaCl fisiologis saat penggantian balutan agar tidak terlalu lengket dengan permukaan luka. [12,15]
Silicone Dressing:
Sediaan perawatan luka berlapiskan silikon memiliki keunggulan karena tidak melekat pada permukaan luka saat penggantian balutan sehingga hanya menimbulkan nyeri yang minimal. Sediaan ini dapat dikombinasikan dengan kasa steril biasa atau foam dressing untuk mendapatkan efek adsorben eksudat.
Hydrocolloid:
Modalitas perawatan luka ini memiliki keunggulan dalam hal frekuensi penggantian yang tidak perlu terlalu sering selama tidak ditemukan adanya rembesan atau tanda-tanda infeksi. Balutan juga relatif tidak terlalu melekat pada permukaan luka. Balutan ini dapat dikombinasikan dengan agen antimikroba lainnya.
Hydrogel:
Hydrogel digunakan untuk menciptakan efek lembab pada luka sehingga dapat meningkatkan kecepatan penyembuhan luka. Modalitas ini tidak cocok digunakan pada luka yang eksudatif karena tidak memiliki kemampuan absorpsi eksudat, maka penggunaannya pada luka eksudatif perlu dikombinasikan dengan modalitas lain.
Polyurethane film:
Sediaan film dressing sangat efektif untuk melindungi luka dari lingkungan luar. Sediaan ini tidak melekat pada permukaan luka dan dapat menciptakan suasana lembab pada luka. Kelemahannya adalah bahan ini tidak memiliki fungsi absorpsi. Proses pengaplikasian balutan pada luka lebih sulit dibandingkan modalitas lain.
Biosynthetic dressing:
Biosynthetic dressing adalah material yang diciptakan menyerupai kulit untuk menggantikan fungsi epidermis atau dermis. Material ini memiliki keunggulan karena dapat menyatu dengan permukaan luka sehingga tidak perlu dilakukan penggantian balutan selama tidak terdapat masalah infeksi. Namun, modalitas ini biasanya mahal dan tidak mudah didapatkan. Pengaplikasiannya cukup sulit dan memerlukan persiapan dasar luka yang baik.
Obat Antimikroba Topikal
Obat antimikroba topikal yang paling populer digunakan dalam kasus luka bakar adalah krim silver sulfadiazine. Antimikroba topikal ini dianggap memiliki kemampuan penetrasi eskar sehingga cocok untuk digunakan pada kasus luka bakar full thickness. Bergesernya paradigma penatalaksanaan luka bakar full thickness yang mengutamakan tindakan eksisi dan skin grafting dini, menyebabkan berkurangnya peran obat ini pada kasus luka bakar full thickness. [16]
Sedangkan penggunaannya pada partial thickness burns tidak didukung oleh hasil-hasil penelitian terbaru. Silver sulfadiazine menghambat proses epitelisasi dan membutuhkan penggantian balutan yang sering sehingga tidak nyaman bagi pasien. Untuk menghindari masalah ini, silver yang digunakan dalam berbagai sediaan perawatan luka modern dibuat dalam bentuk nano-crystalline atau bentuk terikat lainnya. Sediaan perawatan luka modern ini dapat melepaskan ion silver secara perlahan sehingga tidak menimbulkan efek toksisitas terhadap jaringan. Selain itu, sediaan-sediaan tersebut telah dibuat dalam bentuk hidrokoloid, hidrofiber, dan bahan lainnya sehingga memiliki manfaat lain seperti menyerap eksudat dan mencegah menempelnya balutan pada luka. [15]
Tata Laksana Nyeri
Pasien anak-anak harus mendapatkan penatalaksanaan nyeri yang adekuat selama penggantian balutan. Bahkan, pasien anak-anak dengan luka bakar yang cukup luas perlu mendapatkan sedasi selama penggantian balutan. Penatalaksanaan nyeri dan ansietas yang adekuat penting untuk menghindarkan pasien anak dari trauma psikososial. Analgesik yang diberikan disesuaikan dengan tingkat nyeri pasien. Analgesik ringan seperti paracetamol atau ibuprofen dapat diberikan untuk nyeri ringan. Pada kondisi akut atau nyeri hebat, pasien dapat diberi morfin bolus intravena dimulai dengan dosis paling rendah (0,05 - 0,1 mg/kg) lalu dititrasi hingga mencapai dosis dengan efek analgesik yang adekuat. [1,6,13,17]