Diagnosis Konstipasi
Diagnosis konstipasi dapat ditegakkan menggunakan kriteria Rome III, pemeriksaan fisik abdomen dan anorektal, serta pemeriksaan penunjang seperti endoskopi.
Anamnesis
Pada umumnya gejala konstipasi berdasarkan anamnesis tidak dapat membedakan konstipasi fungsional atau konstipasi kronik. [11]
Berdasarkan kriteria Rome III diagnosis konstipasi dapat ditegakkan jika terdapat 2 keluhan dari gejala berikut yang dialami selama tiga bulan:
- Buang air besar kurang dari 3 kali dalam seminggu
- Mengejan
- Kotoran yang keras atau berbenjol-benjol
- Perasaan seperti ada sumbatan di anorektal
- Rasa tidak lampias setelah buang air besar
- Memerlukan pengeluaran feses secara manual saat buang air besar
Selain dari gejala di atas, Rome III juga mengharuskan pasien untuk memenuhi kriteria berikut :
-
Gejala tidak memenuhi kriteria irritable bowel syndrome
- Konsistensi feses jarang lunak kecuali jika menggunakan laksatif [12,13]
Riwayat penyakit pasien sebelumnya sering digunakan untuk menyingkirkan adanya konstipasi sekunder. Hal-hal yang harus digali dalam anamnesis adalah:
- Adanya tanda bahaya, seperti penurunan berat badan, buang air besar berdarah, anemia, pasien dengan riwayat keluarga menderita keganasan kolon
- Kondisi atau keadaan klinis yang berhubungan dengan konstipasi seperti diet rendah serat, aktivitas fisik yang berkurang, penggunaan obat yang merangsang konstipasi seperti obat untuk mengatasi gangguan metabolik, gangguan saraf, dan gangguan psikiatri.
- Efek samping dari operasi ginekologi dan operasi abdomen [1,11]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang menunjang diagnosa konstipasi antara lain pemeriksaan abdomen dan daerah anorektal. Pada pemeriksaan abdomen, perlu dilihat apakah teraba massa intra abdomen, apakah terjadi peningkatan atau penurunan bising usus, dan adanya nyeri tekan.
Pada pemeriksaan anorektal, digali adanya kelainan yang menimbulkan konstipasi sekunder seperti keganasan anorektal, prolaps rektum, fisura anal, kompresi intrinsik dan ekstrinsik.
Dapat pula dilakukan pemeriksaan rectal toucher untuk mengidentifikasi adanya hipertonus sfingter, massa anorektal, rectocele, enterocele, dan fecal impaction. Pemeriksaan ini juga dapat memeriksa kekuatan sfingter anus dan otot puborektal, serta melihat adanya darah pada feses, fisura anal, dan stenosis anal. [4,10,11]
Diagnosis Banding
Konstipasi sering sekali menjadi gejala penyerta pada beberapa penyakit tertentu, sehingga diagnosis konstipasi fungsional dan konstipasi kronik sering dipikirkan pada beberapa keadaan seperti :
- Hernia abdomen: didapatkan massa yang hilang timbul pada abdomen atau inguinal, terutama jika batuk atau mengejan
-
Appendicitis: dapat menyebabkan konstipasi karena adanya obstruksi Pada appendicitis juga ditemukan nyeri tekan Mc Burney, demam, leukositosis, dan gejala saluran cerna lain seperti anoreksia dan mual-muntah.
-
Kelainan Chagas: infeksi Trypansoma cruzi dapat menimbulkan megakolon yang bermanifestasi sebagai konstipasi. Apabila dilakukan apusan darah tebal dan tipis akan ditemukan gambaran parasit.
- Keganasan kolorektal: kanker kolorektal juga dapat menimbulkan konstipasi kronik. Biasanya gejala lebih berat misalnya terjadi hematoschezia.
-
Ileus obstruktif: pada pemeriksaan fisik akan ditemukan metallic sound, dan apabila dilakukan BNO 3 posisi akan ditemukan gambaran step ladder dan herringbone appearance
-
Crohn’s disease: walaupun pada beberapa pasien penyakit ini dapat bermanifestasi sebagai konstipasi, namun keluhan yang paling sering adalah diare kronik. Apabila dilakukan kolonoskopi akan ditemukan penebalan dinding usus dan gambaran cobblestone.
-
Gangguan motilitas usus: ditandai dengan abnormalitas kontraksi usus, misalnya spasme atau paralisis. Istilah ini mewakili berbagai penyakit, misalnya irritable bowel syndrome, Oglivie syndrome, dan inkontinensia fekal. [2,4]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada konstipasi dilakukan untuk mencari penyebab yang mendasari dan menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan menentukan penyebab konstipasi antara lain:
Endoskopi
Prosedur endoskopi yang disarankan adalah sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Melalui prosedur ini penyebab konstipasi, penggunaan laksatif dalam jangka waktu lama, dan lesi pada mukosa kolon dapat ditentukan. Konstipasi yang timbul akibat penggunaan obat-obatan tidak dapat dipastikan melalui pemeriksaan ini.
Pemeriksaan ini bermanfaat pada pasien dengan tanda bahaya atau faktor risiko tinggi yang membutuhkan penapisan untuk keganasan kolon.
Manometri Anorektal
Saat ini, pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan. Prinsip dari pemeriksaan dengan teknik ini adalah menentukan fungsi sensoris dan neuromuskular melalui sensor tekanan pada kateter dan ujung balon manometri. Pemeriksaan ini juga dapat menentukan reflek inhibisi rectoanal pada penyakit seperti megakolon ataupun megarektum. Disfungsi sensoris pada anorektal ditentukan berdasarkan ambang batas tekanan pada saat adanya sensasi defekasi dan disinergi defekasi.
Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen sebaiknya tidak dilakukan secara rutin untuk mendiagnosis konstipasi. Pada foto polos abdomen dapat terlihat adanya kolon yang penuh dengan feses, impaksi feses, dan pseudo obstruksi.
Barium Enema
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan adanya abnormalitas anatomi saluran cerna melalui gambaran rontgen setelah pemberian kontras enema. Kontraindikasi apabila dicurigai ada perforasi usus.
Defekografi dan Magnetic Resonance Defecography (MRD)
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosis konstipasi karena harga yang mahal dan substandar. Prinsip pemeriksaan ini adalah teknik visualisasi radiologi rontgen dan MRI untuk menentukan kelainan struktur di dalam rektum dan organ dasar panggul.
Waktu Transit Kolon
Penentuan waktu transit kolon dapat dilakukan dengan menggunakan kapsul yang mengandung kontras radioopak dan wireless motility capsule (WMC). Penggunaan kapsul dengan kandungan kontras radioopak tidak rutin dilakukan karena efek radiasi dan cost-effectiveness. Saat ini lebih disarankan untuk menggunakan WMC dalam menentukan gangguan waktu transit gastrointestinal yang sering terjadi pada pasien konstipasi dan gangguan saluran cerna bagian bawah. [1,4,11]