Penatalaksanaan Konstipasi
Penatalaksanaan konstipasi adalah dengan terapi komprehensif untuk mengembalikan fungsi defekasi yang fisiologis dan mempertimbangkan penyebab dari konstipasi. Pada pasien konstipasi kronik yang tidak menunjukkan tanda bahaya, usia<40 tahun, tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan colok dubur, dan diduga tidak ada konstipasi sekunder, terapi empirik dapat dilakukan dengan rawat jalan yaitu terapi farmakologis dan nonfarmakologis.
Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi untuk konstipasi adalah modifikasi gaya hidup. Hal ini penting untuk ditanamkan agar mencegah keluhan berulang.
Konsumsi Serat
Pasien diminta untuk meningkatkan konsumsi makanan berserat hingga 25 gram serat/hari dan minum air yang cukup ( sekitar 1,5-2,0 L/hari). Serat bisa didapatkan dari sayur-sayuran dan buah-buahan.
Pada CIC (Chronic Idiopathic Constipation) serat yang disarankan adalah serat yang larut dibandingkan serat tidak larut. Contoh makanan yang tinggi serat larut adalah kubis, kedelai, alpukat, ubi jalar, brokoli, dan pir.
Konsumsi Probiotik
Pasien disarankan mengkonsumsi probiotik. Sudah banyak bukti ilmiah mengenai probiotik yang menyatakan bahwa penggunaan probiotik bermanfaat dalam mengurangi konstipasi, diare, dan mencegah irritable bowel syndrome.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang regular, tiga kali seminggu, selama 60 menit, dengan target 40-60% dari target heart rate (THR) ditemukan dapat mengurangi gejala konstipasi.
Kebiasaan Defekasi
Pasien diedukasi agar tidak menahan buang air besar, menghindari mengejan, membiasakan buang air besar setelah makan (melatih reflek post-prandial bowel movement) atau saat waktu yang dianggap sesuai, dan menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi. [13]
Terapi Farmakologis
Tatalaksana farmakologis untuk konstipasi di antaranya adalah bulk-forming agent, stool softener, laksatif lubrikan, prokinetik, agen osmotik, dan laksatif stimulan.
Bulk Forming Agent
Golongan ini merupakan golongan laksatif yang bekerja dengan menyerap cairan di intestinal, sehingga konsistensi feses menjadi lebih lunak dan lebih mudah dikeluarkan. Contoh dari golongan ini adalah psyllium dan methylselulosa. Secara teoritis, methylselulosa akan memproduksi lebih sedikit gas dan lebih mudah di toleransi. [2] Sayangnya, obat ini belum tersedia di Indonesia.
Stool Softener
Golongan obat ini lebih mudah digunakan, tetapi efektivitasnya menurun seiring dengan pemakaian. Golongan obat ini lebih direkomendasikan sebagai profilaksis atau pada pasien yang harus menghindari mengejan saat defekasi.
- Docusate : 240 mg per oral per hari, atau 120-200 mg diberikan sebagai enema.
Laksatif Lubrikan
Laksatif berupa lubrikan berperan dalam tatalaksana konstipasi dengan cara melubrikasi usus dan mencegah absorpsi air di usus. Contoh dari obat ini adalah paraffin oil yang dimasukkan ke dalam anus. Bisa juga diberikan sediaan mineral oil, namun sayangnya belum ada di Indonesia.
Agen Osmotik
Golongan ini direkomendasikan untuk terapi jangka panjang pasien konstipasi dengan waktu transit kolon yang lambat dan keluhan yang berulang walaupun sudah diberikan suplementasi serat.
- Laktulosa : 10-20 gram diberikan dalam satu dosis atau dibagi menjadi dua dosis per hari.
- Sorbitol : 30-150 mL sebagai larutan 70% diberikan satu kali secara oral, atau 120 mL sebagai larutan 25-30% diberikan satu kali sebagai enema
- Polyethylen glycol : 19 gram dilarutkan dalam 100-250 mL air digunakan sekali sehari, selama maksimal 7 hari.
Laksatif Stimulan
Golongan laksatif stimulan adalah yang paling sering digunakan dan mudah didapat. Golongan ini juga termasuk obat-obat prokinetik yang meningkatkan motilitas usus.
- Tegaserod : 2 x 6 mg digunakan selama 4-6 minggu
- Bisacodyl : 5-10 mg diberikan saat malam hari, maksimal 20 mg
- Sennoside : 15-30 mg per oral 1-2 kali/hari
Terapi Farmakologis pada Keadaan Khusus
Pada slow transit constipation, dianjurkan menggunakan terapi kombinasi laksatif stimulan dan prokinetik selain terapi non-farmakologis.
Pasien dengan disfungsi anorektal (disfungsi dasar panggul), selain dengan pengobatan non farmakologis dan laksatif, dapat dianjurkan untuk diberikan terapi biofeedback atau injeksi toksin botulinum tipe A ke dalam otot pubo rektalis.
Pada konstipasi sekunder, selain mengatasi konstipasi, terapi ditujukan terhadap penyakit yang mendasarinya.
Terapi operatif dapat dipertimbangkan pada konstipasi yang tidak respons terhadap berbagai terapi medikamentosa, dengan syarat tanpa kelainan anorektal. [2,14,15]