Perkembangan Terkini pada Penyakit Ginjal Diabetik

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Penyakit ginjal diabetik (diabetic kidney disease/DKD) merupakan komplikasi diabetes mellitus yang memberi pengaruh bermakna bagi mortalitas dan morbiditas pasien.  Diabetes mellitus merupakan penyebab utama penyakit ginjal kronis (PGK) di seluruh dunia. Diperkirakan sebanyak 422 juta orang dewasa menderita diabetes di seluruh dunia dan 40% di antaranya mengalami PGK. Kondisi inilah yang disebut dengan penyakit ginjal diabetik.[1,2]

Penyakit ginjal diabetik dapat didiagnosis secara klinis jika menemukan albuminuria persisten, penurunan konsisten pada estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR), atau kombinasi keduanya pada pasien diabetes mellitus. Pedoman The Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) dan The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan semua pasien diabetes untuk melakukan skrining tahunan eGFR dan tes urin untuk mendeteksi albuminuria.[3]

Perkembangan Terkini pada Penyakit Ginjal Diabetik-min

Yang Telah Diketahui Mengenai Patogenesis Penyakit Ginjal Diabetik

Hiperaminoasidemia, hiperfiltrasi glomerulus, hipoperfusi, dan hiperglikemia merupakan abnormalitas metabolik mayor yang mempengaruhi ginjal dan bertanggung jawab terhadap inflamasi maupun fibrosis ginjal pada pasien diabetes. Sekuens klasik dari perjalanan alami penyakit ginjal diabetik (diabetic kidney disease/DKD) dipicu oleh hiperglikemia bersama-sama dengan atau tanpa hipertensi. Efek buruk dimulai oleh hiperfiltrasi glomerulus yang berujung pada albuminuria progresif dan lama-kelamaan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.

Gangguan Fungsi Ginjal Akibat Peningkatan Reabsorpsi Glukosa

Satu hipotesis mekanis menyatakan bahwa penurunan distal delivery natrium klorida ke makula densa diakibatkan oleh peningkatan reabsorpsi glukosa pada tubular proksimal via sodium-glucose cotransporter 2. Hal tersebut akan mengurangi tubuloglomerular feedback. Selain itu, dapat menyebabkan dilatasi pada arteriol aferen dan meningkatkan perfusi glomerulus. Di sisi lain, peningkatan produksi angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi pada arteriol eferen. Efek keseluruhan dari rangkaian kejadian di atas adalah peningkatan tekanan intraglomerulus yang berujung pada hiperfiltrasi glomerulus.[4,5]

Peranan Hiperglikemia dan Stres Oksidatif

Stres oksidatif juga berperan signifikan terhadap patogenesis penyakit ginjal diabetik (diabetic kidney disease/DKD). Aktivasi reseptor advanced glycation endproducts (AGE) pada berbagai tipe sel di ginjal akan memicu produksi sitokin. Hiperglikemia sendiri bertanggung jawab pada peningkatan formasi AGE dan mengaktivasi protein kinase C. Hal ini kemudian menyebabkan penurunan produksi sintesis nitrit oksida endotel dan meningkatkan kadar endotelin 1, angiotensin II, dan vascular endothelial growth factor.

Lebih lanjut, kondisi hiperglikemia bersama dengan peningkatan kadar angiotensin II, dan AGE dapat mengaktivasi makrofag (yang kaya sitokin maupun tumor necrosis factor). Efek keseluruhan dari berbagai pathway ini akan menyebabkan instabilitas endotel, meningkatkan proliferasi vaskuler, hipertrofi ginjal, kerusakan podosit, cedera sel epitel tubular, dan peningkatan sitokin proinflamasi.[6]

Pilihan Terapi Penyakit Ginjal Diabetik yang Tersedia Saat ini

Sejalan dengan pemahaman patogenesis penyakit ginjal diabetik (diabetic kidney disease/DKD), kontrol glikemik intensif amat penting untuk mencegah DKD pada tahap awal. Pedoman KDIGO merekomendasikan target HbA1c di bawah 6,5% hingga 8% pada pasien diabetes dan penyakit ginjal kronis (PGK), dimana target terapi tersebut hendaknya dicapai dengan mempertimbangkan risiko hipoglikemia pada masing-masing pasien.[7]

Kontrol Glikemik

Untuk kontrol glikemik pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan DKD, pedoman KDIGO saat ini menyarankan penggunaan  metformin jika eGFR ≥30 ml/menit/1,73 m2 dan inhibitor sodium-glucose cotransporter 2 seperti empagliflozin jika eGFR ≥ 20 ml/menit/1,73 m2. Agonis reseptor glucagon like peptide-1 (GLP-1 RA), seperti liraglutide, dapat ditambahkan jika belum mencapai target glikemik.

Pada pasien dengan eGFR kurang dari 30 ml/menit/1,73 m2 atau yang sudah menggunakan kidney replacement therapy, kontrol glikemik bisa menggunakan insulin atau GLP-1 RA kerja panjang. Sementara itu, untuk pasien diabetes mellitus tipe 1 dengan DKD direkomendasikan untuk tetap menggunakan insulin.[7]

Kontrol Tekanan Darah

Hipertensi yang tidak terkontrol dapat memperburuk DKD dan meningkatkan risiko progresi ke gagal ginjal tahap akhir (ESRD). Pedoman KDIGO merekomendasikan penggunaan angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEi) seperti ramipril atau angiotensin receptor blocker (ARB) seperti irbesartan untuk mempertahankan tekanan darah di bawah 130/80 mmHg pada semua pasien dengan PGK dan albuminuria tanpa memandang status diabetes. Obat antihipertensi dapat dititrasi hingga dosis maksimum yang bisa ditolerir pasien.

Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa baik ACEi maupun ARB memberikan efek proteksi ginjal dengan mengurangi proteinuria dan mampu memperlambat laju progresi PGK. Tetapi perlu diperhatikan bahwa pemberian kombinasi regimen ACEi dengan ARB atau dengan direct renin inhibitor seperti aliskiren tidak direkomendasikan karena meningkatkan risiko cedera ginjal akut (AKI) dan hiperkalemia.

Bagi pasien dengan kontraindikasi ataupun yang belum terkontrol dengan ACEi atau ARB, dapat ditambahkan dihydropyridine Calcium Channel Blocker seperti amlodipine dengan atau tanpa diuretic seperti furosemideMineralocorticoid receptor antagonist (MRA) nonsteroid dapat ditambahkan seperlunya pada kasus hipertensi yang belum terkontrol dengan dosis maksimum ACEi atau ARB, selama eGFR di atas 25 ml/menit/1,73 m2.[7]

Pengelolaan pada Pasien dengan Risiko Kardiovaskular

DKD tidak hanya memberi efek buruk pada ginjal, tapi juga dapat meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular. Bagi pasien DKD dengan risiko atherosclerotic cardiovascular disease (ASCVD) dan dislipidemia, disarankan untuk menggunakan antiplatelet profilaksis dan terapi statin intensitas moderat atau tinggi tergantung besaran risiko ASCVD. Ezetimibe dapat ditambahkan seperlunya jika belum mencapai target kadar kolesterol sesuai risiko ASCVD pasien.[7]

Penatalaksanaan Nonfarmakologi

Dari sisi nonfarmakologi, pedoman KDIGO merekomendasikan implementasi perubahan gaya hidup pada pasien DKD.

  • Asupan rendah natrium, yaitu kurang dari 2g natrium atau 5g natrium klorida per hari
  • Mempertahankan asupan protein sebanyak 0,8 g/kg/hari bagi pasien nondialisis atau 1-1,2 g/kg/hari untuk pasien dialisis
  • Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas moderat, misalnya jalan cepat, berenang, dan bersepeda, dengan total durasi sekurang-kurangnya 150 menit per minggu sebanyak yang bisa ditolerir

Pada pasien yang merokok, dokter dapat melakukan intervensi untuk menghentikan kebiasaan merokok. Minta pula pasien untuk mengonsumsi makanan yang tinggi serat, seperti sayur dan buah, serta mengurangi asupan lemak tidak jenuh, processed meat, karbohidrat refinasi, ataupun minuman dengan pemanis. Pasien DKD dengan overweight atau obesitas diedukasi dan diberi program untuk menurunkan berat badan.[7]

Tantangan pada Pengelolaan Penyakit Ginjal Diabetik

Hingga saat ini, sudah ada kemajuan pada opsi terapi dalam memperlambat penyakit ginjal diabetik (diabetic kidney disease/DKD), tetapi belum ada kemajuan bermakna dalam hal reversing DKD. Selain itu, berbagai efek samping seperti hiperkalemia, cedera ginjal akut, atau risiko penurunan GFR membatasi penerapan pilihan terapi yang tersedia, khususnya bagi pasien DKD dengan eGFR di bawah 30 ml/menit/1,73 m2.[8]

Kesimpulan

Penyakit ginjal diabetik (diabetic kidney disease/DKD) akan meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas pasien, termasuk meningkatkan kejadian kardiovaskuler. Saat ini, pengetahuan mengenai patogenesis dari DKD telah banyak mengalami kemajuan. Hal ini tentunya memperluas khasanah klinisi dalam memilih terapi pada pasien DKD. Skrining tahunan DKD pada semua pasien diabetes, kontrol glikemik, kontrol tekanan darah, kontrol risiko kardiovaskuler, dan perubahan gaya hidup merupakan intervensi yang dapat dilakukan dalam mengelola pasien dengan DKD. Meski demikian, belum ada terapi yang terbukti dapat memperbaiki fungsi ginjal hingga kembali normal pada pasien DKD. Pilihan terapi yang ada juga terkendala berbagai potensi efek samping, termasuk pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus yang terganggu.

Referensi