Terapi Cairan Intravena pada Anak

Oleh :
dr. Joko Kurniawan, M.Sc., Sp.A

Terapi cairan intravena pada anak terdiri dari cairan rumatan, cairan defisit, dan cairan pengganti. Cairan rumatan adalah cairan dan elektrolit yang dibutuhkan dalam 24 jam dengan memperhitungkan cairan yang keluar, baik dalam bentuk uap air saat bernapas, keringat, dan urine. Sedangkan cairan defisit adalah cairan yang hilang pada anak dehidrasi, misalnya karena diare, muntah atau perdarahan.[1]

Terapi cairan pengganti merupakan istilah untuk mengganti cairan yang hilang karena penanganan medis, seperti pada kondisi pemasangan pipa selang dada; muntah yang tidak terkontrol, atau diare terus-menerus. Perbedaan terapi pengganti dengan terapi defisit adalah pada proses kehilangan cairan, dimana kehilangan cairan pada terapi pengganti masih berlangsung dan umumnya sudah dalam masa perawatan.[1]

terapi cairan, terapi cairan anak, syok pada anak, alomedika

Cairan dalam Tubuh Anak

Tubuh anak lebih banyak mengandung cairan dibanding orang dewasa. Pada saat usia gestasi 24 minggu komposisi cairan tubuh mencapai 80% dari berat badan. Komposisi ini menurun perlahan, sampai anak berusia 1 tahun akan mencapai 60% dari berat badan. Sedangkan komposisi cairan pada tubuh orang dewasa adalah 50–60% dari berat badan.

Fisiologis anak yang masih mengalami proses bertumbuh menyebabkan kebutuhan cairan lebih tinggi daripada orang dewasa. Selain itu luas permukaan tubuh anak yang lebih luas dan frekuensi napas yang lebih tinggi juga memegang peranan pada kebutuhan cairan pada anak.[2]

Pada kondisi klinis tertentu, volume cairan ekstraseluler termasuk volume darah akan berkurang karena diare, muntah, luka bakar atau kejadian lain yang mengakibatkan hipovolemia. Cairan ekstraseluler terdiri dari 3 kompartemen yaitu cairan di pembuluh darah atau intravaskular, cairan interstitial, dan cairan limfa.[2,9]

Masing–masing kompartemen tersebut memiliki tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik untuk menjaga keseimbangan cairan. Oleh karena itu, pemberian cairan perlu diperhitungkan betul untuk mencegah peningkatan tekanan intravaskular yang dapat mengakibatkan komplikasi selanjutnya.[2]

Terapi Cairan Resusitasi pada Anak

Pada kasus gawat darurat, pemberian cairan resusitasi perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum memikirkan terapi cairan lainnya. Pemberian cairan resusitasi ini ditujukan untuk mengisi cairan intravaskular yang hilang baik karena kehilangan cairan berlebih atau meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga cairan masuk ke ruang ketiga.

Pemberian cairan resusitasi menggunakan cairan isotonis atau larutan salin normal. Selain itu, pemantauan tanda vital dan jumlah cairan yang masuk dan keluar perlu dilakukan agar tidak terjadi kelebihan cairan.[3]

Pada umumnya cairan resusitasi bisa diberikan sebesar 10–20 ml/kgBB dan bisa diulang sampai 3 kali, maksimal 40–60 ml/kgBB pada jam pertama tergantung kondisi klinis anak. Perbaikan tanda vital anak dan diuresis menjadi indikator keberhasilan resusitasi cairan. Kelebihan cairan intravaskular dapat menyebabkan tekanan hidrostatik di dalam kapiler meningkat, sehingga berdampak terjadinya edema organ, seperti edema paru, otak, ginjal, dan jantung. Jika hal tersebut terjadi, maka angka mortalitasnya akan meningkat.[3,7]

Terapi Cairan Defisit dan Cairan Pengganti pada Anak

Setelah dilakukan penanganan kegawatan, pemberian cairan dilanjutkan untuk terapi defisit, pengganti, maupun rumatan. Pada gangguan gastroenteritis, pemberian terapi defisit atau pengganti dapat dengan jenis cairan isotonis seperti cairan salin normal (NaCl 0,9%) atau ringer laktat sebanyak jumlah cairan yang keluar.

Kemudian setelah jumlah cairan yang keluar tergantikan, diberikan cairan hipotonis sebagai terapi rumatan. Pemberian cairan isotonis untuk terapi rumatan tidak disarankan karena berisiko untuk terjadi hipernatremia pada anak.[5]

Pada kondisi dehidrasi, kebutuhan cairan anak diperhitungkan berdasarkan derajat dehidrasi, yaitu:

  • Dehidrasi ringan terjadi defisit cairan sebesar 1–5% dari berat badan
  • Dehidrasi sedang terjadi defisit cairan sebesar 6–9% dari berat badan
  • Dehidrasi berat terjadi defisit cairan sebesar 10–15% dari berat badan[4]

Terapi Cairan Rumatan pada Anak

Perhitungan cairan rumatan biasa menggunakan formula Holiday–Segar dimana untuk 10 kg pertama sebesar 100 ml/kgBB, untuk 10 kg kedua sebesar 50 ml/kgBB, dan setelah 20 kg sebesar 20 ml/kBB, jumlah cairan adalah untuk kebutuhan 24 jam. Cairan rumatan dapat diberikan secara intravena jika pemberian cairan enteral tidak cukup, misalnya karena gangguan saluran cerna ataupun kondisi medis lainnya.

Jenis cairan untuk terapi cairan rumatan pada anak sebenarnya dapat digunakan cairan isotonis maupun cairan hipotonis. Pemilihan cairan tersebut dapat dipertimbangkan berdasarkan kondisi penyakit dari setiap anak.[1,4,8]

Berdasarkan studi analisis, penggunaan cairan isotonis untuk terapi rumatan akan menurunkan risiko hiponatremia pada kasus bedah anak dengan berbagai derajat keparahannya. Kejadian hiponatremia memang jarang terjadi pada anak tetapi pada kondisi berat dapat menyebabkan kejang, ensefalopati, dan bahkan kematian.[6,9]

Studi lain menunjukan penggunaan cairan rumatan pada kondisi deplesi cairan untuk kasus non bedah adalah dengan menggunakan cairan hipotonis seperti dextrose campuran, yaitu D5–1/4NS atau D5–1/2NS. Perlu diperhatikan bahwa cairan dengan glukosa tidak direkomendasikan untuk resusitasi, karena berisiko hiperglikemia.[4,7,9]

Pada kondisi deplesi cairan, tubuh anak akan menstimulasi pengeluaran hormon antidiuretic hormone (ADH) yang akan menstimulasi reabsorbsi cairan dan sodium di tubulus ginjal. Maka dari itu, pemberian cairan isotonis pada kondisi deplesi cairan ini justru dapat berisiko meningkatkan kejadian hipernatremia.[4]

Terapi Cairan pada Anak dengan Ketoasidosis Diabetikum

Terapi cairan pada anak dengan ketoasidosis diabetikum juga terdiri dari terapi bolus sebagai terapi resusitasi, terapi defisit, dan terapi rumatan. Pemberian terapi bolus adalah dengan cairan isotonik seperti larutan salin sebanyak 10–20 ml/kgBB selama 30–60 menit, jika anak datang dalam kondisi syok.

Setelah syok teratasi, pemberian terapi defisit cairan dilakukan dengan menilai derajat dehidrasinya. Terapi rumatan dihitung menggunakan formula Holiday–Segar dengan cairan D5–1/2NS. Penggunaan cairan hipotonis ini untuk mencegah terjadinya hiperkloremia, gagal ginjal akut dan edema otak.[3,8]

Hipokalemia pada ketoasidosis diabetikum dapat terjadi akibat poliuria osmotik, dimana terjadi ekskresi kalium berlebih pada urine dan cadangan kalium yang rendah, khususnya pada anak dengan gizi buruk. Saat dilakukan terapi insulin, kadar kalium serum akan semakin turun, karena insulin akan menyebabkan ion kalium masuk ke intraseluler.

Oleh karena itu, pemantauan ion kalium dan irama jantung harus dilakukan berkala. Kadar kalium serum dipertahankan antara 4–5 mEq/L. Koreksi kalium dilakukan jika terdapat hipokalemia dengan cairan yang mengandung 40 mmol/L kalium setelah jumlah urine output cukup.[3]

Cairan Rumatan pada Anak dengan Ketoasidosis Diabetikum

Pemilihan cairan rumatan pada kasus ketoasidosis diabetikum pada anak menjadi penting, karena saat pemberian insulin akan terjadi penurunan kadar glukosa darah secara cepat atau hipoglikemia. Target laju penurunan glukosa adalah antara 50–75 mg/dL, jika terlalu cepat akan berisiko terjadi perubahan osmotik tiba-tiba yang akan membahayakan anak.

Pemberian cairan rumatan yang mengandung dextrose 5% dilakukan saat kadar gula darah sudah mencapai 250–300 mg/dL. Pemantauan kadar glukosa dan elektrolit dalam darah perlu dilakukan untuk menentukan jenis cairan yang digunakan selanjutnya pada kasus ini.[3]

Kesimpulan

Terapi cairan pada anak sangat penting untuk memenuhi kebutuhan cairan pada anak. Pemilihan jenis cairan yang digunakan tergantung pada tujuan terapi apakah itu untuk resusitasi, terapi defisit, terapi pengganti, atau terapi rumatan. Pada anak terapi cairan rumatan dapat menggunakan cairan isotonis maupun cairan hipotonis tergantung pada kondisi penyakit yang diderita. Pemantauan tanda-tanda kelebihan cairan, gula darah, dan elektrolit perlu dilakukan berkala, khususnya untuk pasien anak yang berisiko tinggi.

 

 

Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli

 

Referensi