Hipotensi Permisif pada Resusitasi Cairan Pasien Trauma dengan Syok Hemoragik

Oleh :
dr. Michael Sintong Halomoan

Hipotensi permisif pada resusitasi cairan pasien trauma dengan syok hemoragik dilakukan dengan menggantikan cairan dalam jumlah cukup untuk menjaga mean arterial pressure (MAP) dalam kisaran 40-50 mmHg atau tekanan darah sistolik antara 80-100 mmHg. Teknik hipotensi permisif pada resusitasi cairan diharapkan dapat menghindari penggunaan cairan kristaloid dalam volume besar, seperti yang dilakukan dalam resusitasi cairan agresif.[1]

Resusitasi cairan agresif menggunakan cairan kristaloid volume besar telah dikaitkan dengan gangguan pembentukan bekuan darah, pengenceran faktor pembekuan, dan penurunan suhu yang menghambat aktivitas enzim yang berperan dalam proses pembekuan darah.[1]

Resuscitation,,Palliative,Care,,B&w,Medical,Concept,,Iv,Bag,Fluid,,2

Permasalahan dalam Resusitasi Cairan Agresif pada Pasien Syok Hemoragik

Syok hemoragik merupakan kondisi tersering yang ditemukan pada pasien dengan trauma dan menjadi penyebab utama kematian dalam 24 jam pasca kejadian. Kondisi syok yang terus menerus dapat mengganggu aliran darah dan oksigenasi jaringan, menyebabkan kegagalan multiorgan hingga kematian. Kontrol perdarahan dan resusitasi cairan menjadi terapi utama untuk kondisi ini.

Sebelumnya, resusitasi cairan yang rutin dilakukan pada pasien trauma dengan syok hemoragik adalah pemberian cairan secara dini dan agresif untuk menormalkan tanda vital pasien secepatnya. Diharapkan pemberian cairan secara dini dan agresif dapat mengembalikan volume darah di sirkulasi dan mempertahankan perfusi jaringan. Namun, konsep ini tidak didasari dengan bukti yang adekuat.[2,3]

Konsep Resusitasi Cairan Agresif VS Resusitasi Metode Hipotensi Permisif

Konsep resusitasi cairan agresif dapat meningkatkan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah yang rusak, melepas gumpalan darah, merangsang koagulopati dilusi, hingga menyebabkan hipotermia. Manajemen terhadap pasien syok hemoragik perlu mempertimbangkan tujuan menjaga kemampuan hemostatik, bukan lagi terfokus hanya kepada mengembalikan perfusi jaringan.

Untuk mencapai tujuan baru dalam manajemen syok hemoragik, konsep hipotensi permisif menjadi salah satu upaya yang mulai digunakan. Metode hipotensi permisif pada resusitasi cairan tidak hanya bertujuan untuk mengembalikan perfusi jaringan, namun juga menjaga vasokonstriksi yang adekuat, menghindari terjadinya koagulopati yang tidak diinginkan, serta menghindari kerusakan jaringan yang lebih parah akibat tekanan hidrostatik yang terlalu tinggi.[2-5]

Konsep Fisiologi yang Mendasari Hipotensi Permisif

Pemberian terlalu banyak cairan dalam waktu singkat akan menyebabkan peningkatan cardiac preload yang diikuti dengan peningkatan cardiac output. Peningkatan cardiac output juga meningkatkan rerata tekanan arteri (mean arterial pressure) sehingga terjadi penurunan vasokonstriksi pada area perifer. Penurunan vasokonstriksi justru menyebabkan efek kehilangan darah yang lebih banyak pada pasien yang sebelumnya telah mengalami syok hemoragik.[2,3]

Peningkatan rerata tekanan arteri juga memperparah kerusakan pembuluh darah yang terjadi pada pasien trauma akibat tingginya tekanan hidrostatik. Konsep hipotensi permisif merupakan pembatasan jumlah cairan yang diberikan selama proses resusitasi pada pasien trauma yang mengalami perdarahan dengan target mempertahankan tekanan darah di bawah normal. Kondisi ini dipertahankan selama masih terjadi perdarahan aktif pada fase akut trauma.[2,3]

Resusitasi dengan hipotensi permisif ini menjadi bagian dalam konsep damage-control resuscitation yaitu kontrol perdarahan secara definitif atau operatif segera, pencegahan atau terapi hipotermia, asidosis dan hipokalsemiaDamage-control resuscitation bertujuan untuk mencegah terjadinya jejas iatrogenik, perburukan syok, dan mencapai kondisi hemostasis yang definitif segera. Walaupun dapat mencegah terjadinya efek samping akibat terapi cairan agresif, hipotensi permisif juga berisiko menyebabkan hipoperfusi jaringan.[4-6]

Populasi Pasien Resusitasi dengan Hipotensi Permisif

Resusitasi dengan hipotensi permisif ditujukan untuk pasien dengan trauma yang mengalami syok hemoragik, baik akibat trauma tajam maupun cedera tumpul, tanpa adanya cedera kepala. Pasien tanpa riwayat hipertensi maupun penyakit kardiovaskuler dan endokrin lainnya biasanya akan menunjukkan respon yang lebih baik terhadap metode ini. Metode resusitasi ini dilakukan dengan tujuan utama memperbaiki dan menstabilkan status hemodinamik pasien sebelum tindakan definitif damage-control dapat dilakukan terhadap sumber perdarahan.[4-6]

Metode hipotensi permisif tidak dilanjutkan setelah tindakan definitif kontrol perdarahan dilakukan, juga tidak untuk pasien trauma kepala. Hal ini karena kondisi tersebut memerlukan mean arterial pressure >80 mmHg, untuk menjaga perfusi otak pada pasien dengan cedera kepala. Penurunan tekanan perfusi otak pada pasien cedera kepala dapat meningkatkan mortalitas, terutama pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, di mana penurunan perfusi otak menjadi dasar patofisiologi utama yang menyebabkan kejadian iskemi.[4,5]

Teknik Resusitasi Cairan dengan Hipotensi Permisif

Terdapat 4 fase resusitasi cairan pada pasien dengan syok hemoragik, yaitu rescue, optimalisasi, stabilisasi, dan deeskalasi. Metode hipotensi permisif hanya dapat digunakan pada dua fase awal resusitasi, yaitu fase rescue dan optimalisasi. Fase rescue merupakan fase di mana resusitasi cairan ditujukan untuk mengatasi kegawatdaruratan dalam kondisi syok yang mengancam nyawa, sedangkan fase optimalisasi ditujukan untuk menghindari dekompensasi yang dapat terjadi setelah perbaikan syok yang mengancam nyawa.[2-4]

Hingga saat ini, terdapat berbagai perbedaan target mean arterial pressure dalam resusitasi cairan dengan hipotensi permisif. Namun, sebagian besar penelitian menganjurkan resusitasi cairan dengan hipotensi permisif sebesar 60–80 ml/kgBB/jam untuk menjaga tekanan sistolik 80–90 mmHg atau mean arterial pressure pada 40–60 mmHg.

Pemberian resusitasi cairan juga dapat dilakukan dengan infus cairan secara bertahap sebanyak 100–200 ml tiap kali pemberian, sembari memantau respon pasien terhadap resusitasi menggunakan tekanan sistolik atau mean arterial pressure hingga target tercapai.[4,5,7-9]

Bukti Ilmiah Hipotensi Permisif Dibandingkan dengan Resusitasi Konvensional

Albreiki, et al (2018) melakukan tinjauan terhadap 10 studi yang meneliti penggunaan metode hipotensi permisif dibandingkan dengan resusitasi cairan konvensional. Terdapat total 4.677 pasien trauma, baik tumpul maupun tajam, dengan rentang usia antara 15 sampai 55 tahun. Tinjauan ini menemukan bahwa mortalitas pasien yang mendapatkan resusitasi cairan dengan jumlah rendah melalui metode hipotensi permisif berada pada 21,5%, sedangkan pada jumlah tinggi melalui metode konvensional berada pada 28,6%.[3]

Salah satu studi yang ikut ditinjau menemukan bahwa mortalitas kelompok resusitasi konvensional lebih tinggi secara statistik bila dibandingkan dengan metode hipotensi permisif.[3]

Tinjauan lain (2021) menemukan bahwa resusitasi hipotensif aman dan memberikan manfaat penurunan mortalitas bila dibandingkan dengan resusitasi konvensional pada pasien dengan syok hemoragik. Resusitasi hipotensif juga menyebabkan penurunan jumlah darah yang hilang, hemodilusi, iskemi, dan hipoksia jaringan. Selain itu, transfusi produk darah pada pasien yang menerima resusitasi hipotensif juga lebih sedikit.[7]

Tinjauan serupa dilakukan oleh Tran, et al (2018) terhadap 5 uji klinis acak terkontrol yang membandingkan metode resusitasi secara hipotensi permisif dan konvensional. Terdapat total 1.158 pasien trauma tajam dan tumpul yang menjadi subjek penelitian. Terdapat 4 studi yang menemukan manfaat terhadap mortalitas bagi pasien yang menerima metode resusitasi dengan hipotensi permisif bila dibandingkan dengan konvensional.[8]

Pasien yang menerima metode hipotensi permisif juga membutuhkan produk darah dan mengalami kehilangan darah yang lebih sedikit. Namun, studi yang diikutkan dalam tinjauan ini memiliki kualitas bukti yang cukup rendah.[8]

Penerapan Hipotensi Permisif dalam Beberapa Pedoman Resusitasi Cairan

American College of Surgeons melalui Advanced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2018 menyarankan pemberian resusitasi awal sebanyak 1 liter pada pasien trauma, baik trauma tumpul maupun tajam, dengan syok hemoragik. Pedoman tersebut menyarankan pemberian 1–2 liter cairan kristaloid pada resusitasi awal sebelum kontrol perdarahan secara definitif. Pedoman ATLS tidak menyebutkan target tekanan darah ataupun mean arterial pressure secara jelas.[10]

Produksi urine merupakan salah satu parameter yang disarankan untuk memantau keberhasilan resusitasi dan kecukupan perfusi organ dengan target 0,5 ml/kg/jam. Meski demikian, perlu diketahui bahwa ATLS cukup lambat dalam memperbarui rekomendasinya berdasarkan bukti ilmiah terbaru.[10]

Pedoman dari Task Force for Advanced Bleeding Care in Trauma di Eropa, European guideline on management of major bleeding and coagulopathy following trauma edisi kelima, merekomendasikan pandangan kritis dari klinisi sebelum melakukan rekomendasi fluid challenge dari ATLS terhadap respon individu pasien, Pedoman ini mendorong penggunaan metode hipotensi permisif, namun tidak menyebutkan target tekanan darah maupun mean arterial pressure.[11]

Korean Society of Traumatology merekomendasikan resusitasi cairan secara terbatas terhadap pasien yang mengalami syok akibat trauma hingga hemostasis tercapai. Resusitasi cairan pada pasien syok hipovolemik ini dilakukan dengan target tekanan sistolik 80–90 mmHg. Namun, pada pasien dengan cedera kepala, tekanan sistolik yang direkomendasikan berada pada 100–110 mmHg.[12]

Kesimpulan

Konsep hipotensi permisif merupakan alternatif metode resusitasi cairan yang perlu dipertimbangkan oleh klinisi dalam manajemen pasien trauma dengan syok hemoragik. Hipotensi permisif dapat menghindari efek resusitasi konvensional, seperti peningkatan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah yang rusak, terlepasnya gumpalan darah, terjadinya koagulopati dilusional, hingga hipotermia.

Hipotensi permisif berperan sebagai bagian dari damage-control resuscitation, di mana resusitasi memiliki tujuan utama mencegah kerusakan yang lebih parah akibat trauma dan mempertahankan hemodinamik pasien hingga mendapatkan tata laksana definitif. Berbagai studi telah menemukan bahwa metode hipotensi permisif meningkatkan luaran pasien trauma.

 

Penulisan pertama oleh: dr. Della Puspita Sari

Referensi