Pendahuluan Tinnitus
Tinnitus adalah persepsi suara, seperti berdenging, tanpa adanya stimulus akustik eksternal yang umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistem auditorik perifer maupun sentral. Tinnitus merupakan suatu gejala dan bukan suatu diagnosis. Tinnitus bisa menyebabkan gangguan emosi, disfungsi kognitif, atau rangsangan otonom, yang mengakibatkan perubahan tingkah laku dan disabilitas fungsional.[1-3]
Tinnitus dibagi menjadi dua tipe utama, yakni subjektif dan objektif. Tinnitus subjektif adalah jenis yang paling umum, dirasakan hanya oleh pasien dan biasanya berkaitan dengan gangguan pada sistem auditorik, termasuk koklea, saraf auditorik, atau pusat pendengaran di otak. Tinnitus objektif jauh lebih jarang, dapat didengar oleh pemeriksa, dan biasanya disebabkan oleh sumber suara fisiologis internal seperti turbulensi vaskular atau kontraksi otot.[3-6]
Umumnya, tinnitus terdiri dari persepsi bunyi berdenging, namun dapat pula dijumpai persepsi suara merengek, berdengung, mendesis, bergumam, atau bersiul. Dalam hal durasi, tinnitus akut terjadi selama kurang dari tiga bulan, sub-akut jika lebih dari tiga bulan, dan menjadi kronis jika lebih dari enam bulan.[3-5]
Etiologi tinnitus subjektif paling umum yaitu tuli sensorineural (sensorineural hearing loss/SNHL), tuli konduksi (conductive hearing loss), ototoksisitas, otosklerosis, penyakit Meniere, kerusakan vaskular, cedera kepala-leher, gangguan metabolik yang mengakibatkan ketulian, dan faktor genetik. Sementara itu, tinnitus objektif dapat terjadi akibat aneurisma, penyakit sendi temporomandibular (TMJD), dan spasme otot tensor timpani.[2]
Pendekatan diagnosis tinnitus dimulai dengan evaluasi karakteristik tinnitus, faktor pencetus, serta gejala penyerta seperti gangguan pendengaran atau vertigo. Pemeriksaan fisik, termasuk otoskopi, dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab yang dapat diobati, terutama pada kasus tinnitus objektif. Evaluasi lanjutan mencakup audiometri, atau bila dicurigai etiologi sentral atau vaskular dapat dilengkapi dengan pencitraan seperti MRI atau CT scan.[3-6]
Penatalaksanaan dimulai dengan mengatasi penyebab yang dapat diidentifikasi, seperti impaksi serumen atau gangguan vaskular. Terapi suportif meliputi konseling, terapi suara, dan penggunaan alat bantu dengar bila disertai gangguan pendengaran. Pada kasus kronis atau berat, intervensi seperti terapi kognitif-perilaku (CBT), neuromodulasi, atau farmakoterapi adjuvan dapat dipertimbangkan.[2,6,7]