Patofisiologi Tinnitus
Patofisiologi tinnitus melibatkan aktivitas abnormal pada jalur auditorik, baik perifer maupun sentral, yang menyebabkan persepsi suara tanpa stimulus eksternal. Kehilangan input sensorik dari koklea dapat memicu reorganisasi plastis pada korteks auditorik dan peningkatan aktivitas neuron spontan. Mekanisme tambahan termasuk disregulasi pada sistem limbik dan pusat perhatian.[1-3]
Paparan Bising
Paparan bising, baik akut maupun kronis, berperan signifikan dalam patofisiologi tinnitus melalui kerusakan pada struktur sensorik koklea, khususnya sel rambut dalam dan luar. Suara keras dapat menyebabkan trauma akustik yang merusak sel rambut koklea, mengganggu fungsi amplifikasi dan transmisi sinyal auditorik ke saraf aferen, serta menyebabkan perubahan ambang pendengaran, baik temporer maupun permanen.
Bila paparan bising berlanjut, dapat terjadi sinaptopati koklear, yaitu kerusakan pada sinaps saraf aferen I yang menghubungkan sel rambut dalam dengan sistem saraf pusat, sehingga memicu reorganisasi jalur auditorik dan berkontribusi pada timbulnya tinnitus.
Selain itu, kerusakan sel rambut luar akibat bising juga dapat mengaktivasi serabut aferen II melalui pelepasan glutamat dan ekspresi protein nosiseptor, yang berperan dalam persepsi nyeri auditorik. Aktivasi serabut ini diduga memicu hipereksitabilitas jalur auditorik, menghasilkan kondisi hiperakusis, yaitu intoleransi terhadap suara dengan intensitas normal.
Hiperakusis sering ditemukan bersama tinnitus, terutama pada kasus yang berat, dan memperkuat keterkaitan antara disfungsi perifer akibat bising dengan perubahan neuroplastik di pusat pendengaran.[2]
Tuli Konduksi
Selain tuli sensorineural, tuli konduksi akibat obstruksi atau disfungsi telinga tengah yang mencegah suara ditransmisikan ke telinga dalam juga dapat menyebabkan tinnitus. Misalnya tuli konduksi akibat infeksi telinga tengah, tumor glomerik, mioklonus, dan tonic tensor tympani syndrome.[2]
Mekanisme Sentral
Pada mekanisme sentral, tinnitus terjadi akibat perubahan neuroplastisitas di jalur auditorik pusat, khususnya setelah kehilangan input pendengaran dari perifer. Salah satu lokasi penting adalah dorsal cochlear nucleus (DCN), yang menunjukkan peningkatan spontaneous firing rate (SFR) neuron fusiform akibat disfungsi kanal kalium KCNQ2/3 dan penurunan inhibisi GABA dan glisin.
Selain itu, perubahan di inferior colliculus (IC) sebagai pusat integrasi informasi pendengaran menunjukkan hasil yang bervariasi, namun diduga melibatkan peningkatan eksitasi dari korteks dan gangguan pengkodean temporal suara. Di tingkat thalamus, khususnya pada medial geniculate body (MGB), peningkatan inhibisi GABA justru memicu burst firing melalui mekanisme hiperpolarisasi dan aktivasi kanal kalsium tipe T.
Mekanisme tersebut didukung oleh hipotesis thalamocortical dysrhythmia (TCD), yang menyatakan bahwa hilangnya input perifer menyebabkan disritmia antara thalamus dan korteks, menghasilkan gelombang otak gamma yang dikaitkan dengan persepsi tinnitus. Di korteks auditorik, perubahan mencakup peningkatan SFR, sinkronisasi neuron, dan reorganisasi peta tonotopik, yang sebagian besar disebabkan oleh penurunan aktivitas inhibitorik GABA.[1-3]