Doctor icon

Masuk atau Daftar

Alo! Masuk dan jelajahi informasi kesehatan terkini dan terlengkap sesuai kebutuhanmu di sini!
atau dengan
Facebook
Masuk dengan Email
Masukkan Kode Verifikasi
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan melalui SMS ke nomor
Kami telah mengirim kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Kami telah mengirim ulang kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Terjadi kendala saat memproses permintaan Anda. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Selanjutnya

Tidak mendapatkan kode? Kirim ulang atau Ubah Nomor Ponsel

Mohon Tunggu dalam Detik untuk kirim ulang

Apakah Anda memiliki STR?
Alo, sebelum melanjutkan proses registrasi, silakan identifikasi akun Anda.
Ya, Daftar Sebagai Dokter
Belum punya STR? Daftar Sebagai Mahasiswa

Nomor Ponsel Sudah Terdaftar

Nomor yang Anda masukkan sudah terdaftar. Silakan masuk menggunakan nomor [[phoneNumber]]

Masuk dengan Email

Silakan masukkan email Anda untuk akses Alomedika.
Lupa kata sandi ?

Masuk dengan Email

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk akses Alomedika.

Masuk dengan Facebook

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk verifikasi akun Alomedika.

KHUSUS UNTUK DOKTER

Logout
Masuk
Download Aplikasi
  • CME
  • Webinar
  • E-Course
  • Diskusi Dokter
  • Penyakit & Obat
    Penyakit A-Z Obat A-Z Tindakan Medis A-Z
Patofisiologi Parasomnia general_alomedika 2023-06-28T10:32:57+07:00 2023-06-28T10:32:57+07:00
Parasomnia
  • Pendahuluan
  • Patofisiologi
  • Etiologi
  • Epidemiologi
  • Diagnosis
  • Penatalaksanaan
  • Prognosis
  • Edukasi dan Promosi Kesehatan

Patofisiologi Parasomnia

Oleh :
dr.Adrian Prasetio SpKJ
Share To Social Media:

Patofisiologi parasomnia berhubungan dengan gangguan transisi antara siklus tidur baik fase terjaga, non-rapid eye movement (NREM), maupun rapid eye movement (REM). Tidur merupakan proses yang dibutuhkan untuk menjaga fungsi otak. Gangguan tidur akan menyebabkan gangguan proses pikir, gangguan mood, dan gangguan fisiologis lain.[1,5]

Fisiologi Tidur

Siklus tidur yang normal terbagi menjadi fase terjaga (wakefulness), non–rapid eye movement (NREM), dan rapid eye movement (REM). Fase NREM selanjutnya dibagi menjadi fase 1, fase 2, dan fase 3, yang kemudian masuk ke fase REM.

Fase 1 merupakan fase transisi dari keadaan terjaga hingga tidur. Fase 2 adalah fase terlama dalam siklus tidur dan ditandai dengan adanya kompleks K dan sleep spindles pada elektroensefalogram. Aktivitas otak mulai menurun pada fase 3 dan mulai beraturan, kemudian meningkat lagi pada fase REM, hingga menyerupai aktivitas normal sehari–hari.[5]

Pada fase REM, aktivitas otak mirip dengan kondisi terjaga, tetapi disertai dengan hilangnya kekuatan otot volunter, kecuali pada otot mata yang bergerak dengan cepat.

Siklus tidur tersebut berlangsung selama 90 menit dan berulang terus–menerus. Pada parasomnia, terdapat gangguan pada transisi antara siklus tidur, sehingga menimbulkan karakteristik keadaan mental dan perilaku.[5]

Patofisiologi Parasomnia

Parasomnia REM dan NREM diduga terjadi, karena transisi yang tidak sempurna atau batasan antara fase tidur dan bangun yang kabur.

Parasomnia NREM

Fase tidur NREM diperantarai oleh area ventrolateral preoptik (VLPO) dan area median preoptik (MNPO). Kedua struktur ini memproduksi neurotransmitter GABA dan neuropeptida galanin, serta memproyeksikan diri kepada struktur otak yang mencetuskan kesadaran.[1,4]

Aktivasi VLPO dan MNPO akan menginhibisi struktur tersebut. VLPO dan MNPO juga menginhibisi pelepasan norepinefrin, serotonin, dan asetilkolin. Saat terbangun, neurotransmitter tersebut secara bergantian menginhibisi VLPO dan MNPO.

Sistem inhibisi yang terjadi bekerja sama untuk memastikan fase tidur dan terjaga bersifat komplit, serta tidak tumpang tindih satu sama lain. Pada parasomnia NREM, terjadi gangguan transisi dari tidur dan terjaga yang tidak sempurna, sehingga pasien “terperangkap” di tengah–tengah fase transisi.[1,4]

Parasomnia REM

Parasomnia REM ditandai dengan peningkatan aktivitas motorik saat fase REM. Parasomnia REM dibagi menjadi idiopatik dan sekunder. Parasomnia REM idiopatik terjadi tanpa adanya penyakit penyerta yang diketahui, sedangkan parasomnia REM sekunder berkaitan dengan penyakit neurologis lain seperti penyakit neurodegeneratif, gangguan tidur lain, atau kondisi putus obat.[8]

Dalam kondisi tidur normal, pada fase REM terjadi hipopolarisasi dari motor neuron alfa dan gamma, sehingga terjadi paralisis atau atonia intermitten. Hal ini diperantarai oleh mekanisme aktif dan pasif yang diibaratkan sebagai “REM–on” dan “REM–off” pada saklar.

Ketika tidur fase REM, gerakan dengan amplitudo tinggi tidak terjadi, karena terdapat “REM–on” pada medula oblongata yang tidak terinhibisi, sehingga menimbulkan atonia. Gangguan pada mekanisme “REM–on” dan “REM–off” ini yang menimbulkan parasomnia REM.[8]

Pada keadaan ini, tidak terjadi atonia yang lazim, sehingga pasien melakukan hal yang dimimpikan, seperti berteriak, meloncat, atau berlari dari ranjang. Pasien dengan parasomnia REM tidak sadar akan kondisi sekitar dan bertindak sesuai dengan mimpi. Cedera rentan terjadi sebagai akibat dari tindakan yang berbahaya.[8]

Confusional Arousal

Confusional arousal adalah gangguan kesadaran parsial pada NREM fase 3. Episode ini sering dimulai dengan pasien terduduk atau berdiri di ranjang dengan mata terbuka dan melihat sekeliling. Bagi orang lain, pasien terlihat sudah terbangun, hingga pasien diajak berkomunikasi.

Pasien menjawab dengan laju bicara yang lambat, disorientasi, kurang responsif, dan dapat disertai perilaku otomatisasi, seperti bergumam tanpa hiperaktivitas simpatis. Episode confusional arousal terjadi selama beberapa menit hingga jam, dan pasien tidak ingat sama sekali mengenai kejadian tersebut. Gangguan ini bersifat ringan dan lebih banyak pada populasi anak dibanding dewasa.[1,4]

Sleepwalking

Sleepwalking atau somnabulisme adalah perilaku kompleks yang ditandai dengan pergerakan pasien dari ranjang dan dapat disertai perilaku agresif terhadap individu yang berusaha membangunkan pasien. Pasien dengan somnabulisme bisa melakukan tindakan yang kompleks dan bertujuan seperti mengatur furnitur, bermain musik, berpakaian, dan mandi.

Dapat terjadi perilaku yang membahayakan dan dapat menimbulkan cedera, contohnya berkendara atau memanjat keluar jendela. Pasien biasanya menunjukkan ketahanan tinggi terhadap rasa nyeri, seperti luka bakar atau laserasi. Perilaku agresif umumnya lebih banyak ditemukan pada laki–laki dibandingkan perempuan.[1,4]

Terror Tidur

Pada terror tidur, pasien mengalami aktivitas otonom yang jelas. Terror tidur ditandai dengan vokalisasi seperti berteriak atau menangis ketakutan dan diikuti aktivitas otonom seperti berkeringat, takikardia, takipnea, dan midriasis.

Anak dengan terror tidur sulit ditenangkan dan tidak sadar selama episode berlangsung. Episode terror tidur umumnya berlangsung selama beberapa menit dan diakhiri dengan pasien yang tenang dan kembali tidur.[1,4]

Gangguan Makan Terkait Tidur

Gangguan ini ditandai dengan episode makan rekuren yang dilakukan secara involunter tanpa disadari. Individu biasanya mengonsumsi makanan berkarbohidrat tinggi atau makanan dengan kombinasi tidak biasa atau zat yang toksik, seperti kue dengan rokok, makanan binatang peliharaan, atau daging mentah.[1,4]

Gangguan makan terkait tidur lebih umum terjadi pada perempuan, dengan onset tersering pada dewasa muda. Pasien dengan gangguan makan terkait tidur berisiko mengalami peningkatan berat badan, dislipidemia, karies gigi, atau cedera karena salah mengonsumsi makanan.

Komorbid yang banyak menyertai meliputi insomnia, kecemasan, rasa mengantuk di siang hari, riwayat somnabulisme, dan riwayat gangguan makan.[1,4]

Mimpi Buruk

Mimpi buruk merupakan mimpi yang kompleks dan menakutkan. Mimpi buruk dapat menimbulkan aktivasi simpatis dan berakibat terbangunnya pasien secara mendadak dengan disertai ingatan samar terhadap mimpi tersebut. Mimpi buruk terjadi pada fase REM dan biasanya dimulai dengan mimpi yang panjang dan kompleks yang kemudian berkembang menjadi sesuatu yang menyeramkan.

Beberapa mimpi bersifat rekuren serta berhubungan dengan kejadian traumatik dan penggunaan obat seperti penyekat beta, inhibitor asetilkolin esterase, L–dopa, dan penghentian obat yang mensupresi REM mendadak. Mimpi buruk yang terus menerus dan mengganggu bisa menyebabkan insomnia karena pasien takut untuk tidur.[1,7]

Paralisis Tidur Rekuren Terisolasi

Pada paralisis tidur ini, pasien tidak dapat bergerak saat terbangun. Gangguan ini terjadi akibat pemanjangan fase REM yang mengakibatkan atonia saat terbangun. Beberapa kondisi yang bisa menimbulkan paralisis tidur adalah kurang tidur atau gangguan irama sirkadian.[1]

Gangguan Perilaku Terkait Fase REM

Gangguan perilaku ini disebut juga REM behavior disorder atau RBD. Pada gangguan ini, terjadi episode rekuren gerakan motorik kompleks atau vokalisasi pada fase REM.

Pasien bergerak sesuai dengan mimpi, kemudian terbangun dan dapat mengingat mimpi tersebut dengan baik. Perilaku yang terjadi meliputi berteriak, tertawa, menendang, atau berlari. Perilaku ini berpotensi menimbulkan cedera pada pasien atau pasangan tidur.[1,4]

Exploding Head Syndrome

Sindroma ini merupakan gangguan yang ditandai dengan suara keras atau meledak yang terjadi secara mendadak di kepala saat fase transisi antara terjaga dan tidur. Gangguan ini ringan, tidak menimbulkan nyeri, tetapi dapat menakutkan bagi pasien dan menyebabkan insomnia. Exploding head syndrome bisa diikuti dengan gerakan mioklonus atau melihat kilatan cahaya.[1,7]

Halusinasi Terkait Tidur

Halusinasi yang terjadi umumnya berupa visual dan terjadi saat tidur (hipnagogik) dan terbangun (hipnopompik). Halusinasi visual cenderung jelas, tidak bergerak, dan jarang menakutkan. Gangguan ini umum terjadi pada pasien dengan narkolepsi.[7]

Enuresis

Enuresis adalah gangguan di mana pasien berkemih saat tidur. Enuresis dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Enuresis pada dewasa berkaitan dengan obstructive sleep apnea. Enuresis yang tidak ditangani menyebabkan trauma psikologis pada pasien, seperti rasa bersalah dan malu.[7]

Parasomnia Overlap Disorder (POD)

Parasomnia overlap disorder (POD) merupakan jenis parasomnia dimana terdapat parasomnia REM dan NREM pada satu pasien. Umumnya sulit menentukan kelainan mana yang lebih dulu terjadi atau apakah kedua parasomnia terjadi bersamaan.

Beberapa subtipe POD adalah POD idiopatik, POD simptomatik, RBD subklinis tanpa atonia dengan parasomnia NREM, RBD dengan gangguan makan terkait tidur, RBD dengan seksomnia, dan RBD dengan gangguan gerakan ritmik. Kebanyakan kasus POD adalah idiopatik.[6]

 

 

Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli

Referensi

1. Singh S, Muacevic A, Adler J. Parasomnia: A Comprehensive Review. Cureus. 2018. 10(12): e3807. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6402728/
4. Rodriguez CL, Foldvary-Schaefer N, Clinical neurophysiology of NREM parasomnias. Handbook of Clinical Neurology. 2019. Volume 161, Pages 397-410
5. Waters F, Moretto U, Dang-Vu TT. Psychiatric Illness and Parasomnias: a Systematic Review. Curr Psychiatry Rep. 2017;19(7):37. doi:10.1007/s11920-017-0789-3.
6. Schenck C.H., Howell M.J. Parasomnia Overlap Disorder: RBD and NREM Parasomnias. In: Schenck C., Högl B., Videnovic A. (eds) Rapid-Eye-Movement Sleep Behavior Disorder. Springer, Cham (2019). https://doi.org/10.1007/978-3-319-90152-7_27.
7. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 10th Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer. 2017.
8. Porter VR, Avidan AY. Clinical Overview of REM Sleep Behavior Disorder. Semin Neurol. 2017. https://escholarship.org/content/qt3755j32d/qt3755j32d.pdf

Pendahuluan Parasomnia
Etiologi Parasomnia

Artikel Terkait

  • Menjaga Performa Dokter dengan Sleep Hygiene
    Menjaga Performa Dokter dengan Sleep Hygiene
  • Suplemen Magnesium Untuk Insomnia pada Dewasa - Telaah Jurnal Alomedika
    Suplemen Magnesium Untuk Insomnia pada Dewasa - Telaah Jurnal Alomedika
  • Efikasi Farmakoterapi Gangguan Tidur pada Penderita Dementia
    Efikasi Farmakoterapi Gangguan Tidur pada Penderita Dementia
  • Risiko Pemberian Benzodiazepine dalam Penanganan Insomnia pada Lansia
    Risiko Pemberian Benzodiazepine dalam Penanganan Insomnia pada Lansia
  • Perbandingan Lemborexant dengan Obat Insomnia Lain
    Perbandingan Lemborexant dengan Obat Insomnia Lain

Lebih Lanjut

Diskusi Terkait
Anonymous
Dibalas 29 Oktober 2024, 07:58
Ketika tidur, sulit dibangunkan kembali
Oleh: Anonymous
2 Balasan
Alo dokter.Saya memiliki pasien anak remaja 16 tahun datang dengan dibawa dengan keadaan seperti tidur,sebelumnya pasien pagi hari aktivitas seperti biasa...
Anonymous
Dibalas 15 November 2022, 10:17
Penanganan awal pasien insomnia - Jiwa Ask the Expert
Oleh: Anonymous
2 Balasan
Alo dok, dr. Irwan spkjIzin bertanya, apa yg dpt sarankan ke pada pasien dgn insomnia, selain obat?Di faskes hanya ada ctm, apakah boelh di berikan ?
Anonymous
Dibalas 09 Oktober 2022, 17:37
Pasien usia >80 tahun dengan sulit tidur
Oleh: Anonymous
1 Balasan
Alo dok. Pada lansia >80th yg datang dengan keluhan sulit tidur baiknya diberi apa ya? (Ttv, lab dal batas normal) btk dok

Lebih Lanjut

Download Aplikasi Alomedika & Ikuti CME Online-nya!
Kumpulkan poin SKP sebanyak-banyaknya!

  • Tentang Kami
  • Advertise with us
  • Syarat dan Ketentuan
  • Privasi
  • Kontak Kami

© 2024 Alomedika.com All Rights Reserved.