Doctor icon

Masuk atau Daftar

Alo! Masuk dan jelajahi informasi kesehatan terkini dan terlengkap sesuai kebutuhanmu di sini!
atau dengan
Facebook
Masuk dengan Email
Masukkan Kode Verifikasi
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan melalui SMS ke nomor
Kami telah mengirim kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Kami telah mengirim ulang kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Terjadi kendala saat memproses permintaan Anda. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Selanjutnya

Tidak mendapatkan kode? Kirim ulang atau Ubah Nomor Ponsel

Mohon Tunggu dalam Detik untuk kirim ulang

Apakah Anda memiliki STR?
Alo, sebelum melanjutkan proses registrasi, silakan identifikasi akun Anda.
Ya, Daftar Sebagai Dokter
Belum punya STR? Daftar Sebagai Mahasiswa

Nomor Ponsel Sudah Terdaftar

Nomor yang Anda masukkan sudah terdaftar. Silakan masuk menggunakan nomor [[phoneNumber]]

Masuk dengan Email

Silakan masukkan email Anda untuk akses Alomedika.
Lupa kata sandi ?

Masuk dengan Email

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk akses Alomedika.

Masuk dengan Facebook

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk verifikasi akun Alomedika.

KHUSUS UNTUK DOKTER

Logout
Masuk
Download Aplikasi
  • CME
  • Webinar
  • E-Course
  • Diskusi Dokter
  • Penyakit & Obat
    Penyakit A-Z Obat A-Z Tindakan Medis A-Z
Diagnosis Difteri general_alomedika 2022-06-07T11:25:49+07:00 2022-06-07T11:25:49+07:00
Difteri
  • Pendahuluan
  • Patofisiologi
  • Etiologi
  • Epidemiologi
  • Diagnosis
  • Penatalaksanaan
  • Prognosis
  • Edukasi dan Promosi Kesehatan

Diagnosis Difteri

Oleh :
Bianda Pramudita MSc
Share To Social Media:

Diagnosis difteri perlu dicurigai pada pasien dengan selaput tebal berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan tonsil. Pasien juga bisa mengeluhkan sakit tenggorokan dan suara serak. Tanda dan gejala difteri biasanya muncul dalam 2-5 hari setelah seseorang terinfeksi.[1,6]

Anamnesis

Pada mulanya, penyakit difteri menimbulkan gejala tidak spesifik seperti common cold, yaitu demam, nyeri tenggorokan, dan limfadenopati servikal. Adapun gejala difteri yang tipikal adalah demam yang tidak terlalu tinggi, nyeri tenggorokan, malaise, limfadenopati servikal, sakit kepala, dan disfagia. Rerata masa inkubasi adalah 2 hingga 5 hari (rentang antara 1 hingga 10 hari). Pada kebanyakan kasus sporadik di negara maju, penderita difteri mempunyai riwayat bepergian dari daerah endemis dan tidak ada riwayat vaksinasi sebelumnya.[1]

Difteri Respiratorik

Difteri respiratorik biasanya disebabkan oleh C. diphtheriae yang memproduksi toksin, meskipun pada kasus lebih jarang dapat disebabkan oleh strain toksigenik dari spesies Corynebacterium lain. Selain gejala pernapasan, penyerapan dan penyebaran toksin difteri dapat menyebabkan kerusakan pada jantung berupa miokarditis, serta gangguan sistem saraf dan ginjal.

Timbulnya gejala biasanya bertahap. Gejala yang paling umum adalah sakit tenggorokan, malaise, limfadenopati serviks, dan demam ringan. Pasien mungkin menyadari faring eritema ringan atau terdapat bintik-bintik dengan eksudat abu-abu dan putih.

Bentuk difteri yang berat akan menyebabkan pembengkakan pada tonsil, uvula, kelenjar getah bening serviks, daerah submandibular, dan leher anterior. Pasien akan menyadari adanya bentukan "leher banteng" atau bull neck. Hal ini dapat mengganggu pernapasan.[2,4,5,16]

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik biasanya cukup untuk menentukan kecurigaan terhadap penyakit difteri, untuk selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan Gram dan kultur. Pasien difteri umumnya mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, tampilan klinis tampak sakit, dan dapat menunjukkan leher yang bengkak. Pembengkakan ini akibat membengkaknya jaringan lunak sekitar faring disertai pembesaran kelenjar getah bening servikal submandibular dan anterior yang membentuk gambaran bull-neck. Difteri kutaneus menunjukkan ulkus kronik yang diawali dengan lesi vesikel atau pustula eritematosa yang berisi cairan.[2,16]

Difteri Respiratorik

Presentasi klasik dari difteri adalah faringitis pseudomembranosa ekstensif, pembengkakan masif tonsil, uvula, limfonodi servikal, regio submandibularis dan leher anterior (bull neck). Setelah fase inkubasi, manifestasi akan muncul secara bertahap dengan manifestasi awal berupa demam tidak terlalu tinggi, malaise, limfadenopati servikal, dan nyeri tenggorokan.[16]

Temuan faring paling awal adalah eritema ringan, yang dapat berkembang menjadi bintik terisolasi eksudat abu-abu dan putih. Pada sepertiga kasus, terjadi pembentukan pseudomembran yang melekat erat pada jaringan di bawahnya dan mudah berdarah. Membran dapat meluas, baik ke arah hidung ataupun area trakeobronkial.

Pada pemeriksaan leher dapat didapatkan gambaran bull neck, yaitu pembengkakan tonsil, uvula, kelenjar getah bening serviks, daerah submandibular, dan leher anterior. Hal ini dapat menimbulkan stridor pernapasan yang menyebabkan insufisiensi pernapasan hingga kematian. Aspirasi membran juga dapat terjadi dan menyebabkan asfiksia.[1,2,16]

Difteri Kutaneus

Pada difteri kutaneus, tanda dan gejalanya adalah lesi kulit berupa ulserasi yang tertutupi membran keabuan, yang diawali dengan lesi sangat nyeri menyerupai vesikel atau pustul eritematosa berisi cairan. Selanjutnya, lesi ini akan berkembang menjadi punched-out ulcer (atau ulkus multiple) dengan ukuran bervariasi dan tepi yang meninggi. Lesi ini terasa nyeri di awal dan tertutupi eskar (pseudomembran berwarna gelap) selama 2 minggu pertama.

Selanjutnya, lesi menjadi tidak nyeri, pseudomembran meluruh dan memunculkan dasar kemerahan dengan disertai eksudat serosa atau serosaguinosa. Jaringan di sekeliling menjadi edematosa dan berwarna merah muda, ungu, atau gelap.

Ulkus difteri berupa ulkus kronis tidak kunjung sembuh (non-healing) yang muncul dan bertahan dalam hitungan minggu dan bulan. Lokasi predileksinya adalah di ekstremitas bawah dan tangan, yaitu pada lokasi kulit yang pernah terkena trauma sebelumnya atau mengalami lesi kulit dermatologis, seperti impetigo dan dermatitis. Lesi ini tidak menyebar atau menginvasi jaringan di sekitarnya.[1,2,16]

Komplikasi Difteri

Pada beberapa kasus, bisa terdapat perburukan atau komplikasi pada penderita difteri, yaitu komplikasi pada saraf dan kardiovaskuler.

Komplikasi Kardiologi:

Manifestasi kardiak difteri berupa miokarditis, umumnya terjadi setelah 1-2 minggu fase faringeal penyakit. Miokarditis dapat menimbulkan tanda berupa takikardia yang tidak sebanding dengan peningkatan suhu, gagal sirkulasi, dispnea progresif, melemahnya suara jantung, serta gangguan irama jantung.[2]

Komplikasi Neurologi:

Komplikasi neurologis umumnya sebanding dengan keparahan infeksi pada faring. Walau demikian, komplikasi neurologis ini umumnya bersifat menetap dan akan menghilang ketika penyakit diobati. Sebagian besar pasien dengan infeksi berat akan mengalami neuropati, seperti:

  • Hiperestesi dan paralisis lokal palatum lunak, terjadi pada minggu kedua-ketiga setelah inflamasi orofaring
  • Defisit nervus kranialis, biasa terjadi pada minggu kelima
  • Disfungsi nervus fasialis, faringeal, atau laringeal yang dapat menyebabkan suara sengau, kesulitan menelan, dan meningkatnya risiko terjadi aspirasi
  • Neuropati sensorik perifer dengan pola stocking and glove

  • Neuritis perifer berupa defek motorik otot-otot proksimal ekstremitas yang kemudian meluas ke bagian distal
  • Dapat juga terjadi disfungsi vasomotor sentral setelah 2-3 minggu yang dapat menyebabkan hipotensi dan gagal jantung[2,17]

Diagnosis Banding

Penyakit difteri mempunyai presentasi klinis menyerupai infeksi saluran pernapasan atas lainnya. Oleh karena itu, dalam menegakkan diagnosis difteri perlu mempertimbangkan diagnosis banding, seperti epiglotitis, abses retrofaringeal, dan mononukleosis.[1]

Epiglotitis

Epiglotitis merupakan peradangan akut pada regio supraglotis di orofaring, yaitu epiglottis dan struktur di sekitarnya. Pasien mengalami 4D, yaitu dysphagia, dysphonia, drooling, dan distress. Diagnosis dilakukan dengan visualisasi langsung epiglotis menggunakan nasofaringoskopi atau laringoskopi.[1]

Abses Retrofaringeal

Abses retrofaringeal merupakan kondisi mengancam jiwa dan memerlukan tindakan drainase emergensi. Penyakit ini paling sering terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun.

Pada pasien di bawah usia 5 tahun, abses retrofaringeal umumnya didahului infeksi saluran pernapasan atas yang menyebabkan limfadenitis serviks supuratif. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, abses retrofaringeal dapat disebabkan oleh trauma pada faring posterior, sehingga terjadi inokulasi ruang retrofaring.[1]

Mononukleosis Infeksius

Mononukleosis infeksius memiliki tanda dan gejala berupa kelelahan, malaise, nyeri tenggorokan, demam, mual, anoreksia, dan batuk. Trias klinis penyakit ini pada anak-anak adalah demam, faringitis, dan batuk.[1]

Faringitis

Faringitis biasanya muncul secara tiba-tiba dan disertai nyeri telan, demam, dan batuk. Jika dicurigai penyebabnya adalah Group A Streptococcus β-haemolyticus (GAS), dapat dilakukan pemeriksaan rapid antigen ataupun kultur.[1]

Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosis C. diphtheriae, diperlukan isolat C. diphtheriae pada media kultur. Hal ini juga berfungsi untuk mengidentifikasi adanya produksi toksin. Jika regimen antibiotik sudah diberikan pada pasien dan hasil kultur negatif, alternatif konfirmasi diagnosis bisa melalui hasil positif PCR atau isolat C. diphtheria pada kultur sampel kontak erat.[1,2,6]

Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan bakteriologis bisa dilakukan dengan melakukan pengecatan Gram dan methylene blue pada sampel apusan tenggorokan. Pengecatan dengan Gram menunjukkan kelompok bakteri berbentuk batang yang tidak motil, tidak berkapsul, dan berbentuk menyerupai tongkat baton. Pengecatan dengan methylene blue menunjukkan typical metachromatic granules.[1,2]

Kultur

Pada apusan dari hidung, pseudomembran, kripta tonsilar, ulserasi dan diskolorasi, dapat mendiagnosis difteri melalui inokulasi pada media Loffler, media Tindale, plat telluride dan agar darah. Identifikasi bakteri ini didapatkan melalui pengamatan morfologi koloni, tampakan mikroskopik dan reaksi fermentasi. Temuan bakteri ini pada berbagai media adalah sebagai berikut:

  • Pada media Tindale, dapat ditemukan koloni berwarna hitam dengan halo
  • Pada media Loffler dapat ditemukan metachromatic granules

  • Pada telluride dapat ditemukan warna abu kehitaman yang tipikal

Setiap bakteri difteri yang terisolasi perlu diperiksa produksi toksinnya.[1,2]

Pemeriksaan Toksin

Pemeriksaan toksin dilakukan untuk menentukan adanya produksi toksin, Hal ini bisa turut membedakan tipe toksigenik dengan non-toksigenik. Pemeriksaan toksin mencakup pemeriksaan Elek, PCR dan Enzyme immunoassay (EIA). Pemeriksaan Elek dilakukan menggunakan kertas saring yang berisi antitoksin lalu diletakkan di kultur agar.[1,2]

Pemeriksaan Laboratorium Lain

Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan leukositosis moderat. Pemeriksaan serum Troponin I berkorelasi dengan keparahan miokarditis.[1,2]

EKG

Pemeriksaan EKG dapat menunjukkan gangguan pada otot jantung, yaitu perubahan gelombang ST-T, variasi blok jantung, dan disritmia.[2]

Pencitraan

Pemeriksaan rontgen toraks dan leher dapat menunjukkan pembengkakan pada struktur jaringan lunak pada faring, epiglotis, dan rongga dada.[1,2]

 

 

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Fredy Rodeardo Maringga

Referensi

1. Lamichhane A, Radhakrishnan S. Diphtheria. StatPearls, Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022.
2. Lo BM. Diphtheria. Medscape, 2019.
4. WHO. Operational protocol for clinical management of Diphtheria. 2017. https://www.who.int/publications-detail-redirect/operational-protocol-for-clinical-management-of-diphtheria
5. Sharma NC, Efstratiou A, Mokrousov I, Mutreja A, Das B, Ramamurthy T. Diphtheria. Nat Rev Dis Primers, 2019;5:1–18. https://doi.org/10.1038/s41572-019-0131-y.
6. CDC. Pinkbook: Diphtheria. 2021. https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html
15. WHO. Indonesia: WHO supports lifesaving diphtheria programmes during COVID-19 pandemic. 2020. https://www.who.int/news-room/feature-stories/detail/indonesia-who-supports-lifesaving-diphtheria-programmes-during-covid-19-pandemic
16. NICD. Diphtheria: Recommendations for Diagnosis, Management, and Public Health Response. 2018. https://www.nicd.ac.za/diseases-a-z-index/diphtheria/

Epidemiologi Difteri
Penatalaksanaan Difteri

Artikel Terkait

  • Red Flag Nyeri Tenggorokan
    Red Flag Nyeri Tenggorokan
Diskusi Terkait
dr. Nurul Falah
Dibalas 13 September 2021, 12:17
Pasien wanita usia 17 tahun mengeluhkan nyeri dan gatal tenggorokan sejak 3 hari terakhir
Oleh: dr. Nurul Falah
3 Balasan
Alo dokter, izin bertanya, seorang wanita usia 17 tahun mengeluhkan nyeri dan gatal tenggorokan sejak 3 hari terakhir, terasa nyeri juga saat menelan...
dr. Alya Hananti
Dibalas 27 November 2019, 14:11
Efek dari imunisasi tetanus dan difteri yang diberikan dengan selang waktu hanya 1 tahun
Oleh: dr. Alya Hananti
9 Balasan
Alo, Dok. Izin bertanya, saya mendapatkan user yg anaknya diberikan booster imunisasi tetanus dan difteri terlalu dekat, yaitu saat TK dan kelas 1 SD, jadi...
dr. Riko Saputra
Dibalas 13 Agustus 2019, 14:40
Penanganan kontak erat difteri
Oleh: dr. Riko Saputra
4 Balasan
Alodokter, ijin bertanya jika kita menemui pasien difteri maka apa saja yang perlu kita minum sebagai profilaksis?? Apakah ckup dengan antibiotik seperti...

Download Aplikasi Alomedika & Ikuti CME Online-nya!
Kumpulkan poin SKP sebanyak-banyaknya!

  • Tentang Kami
  • Advertise with us
  • Syarat dan Ketentuan
  • Privasi
  • Kontak Kami

© 2024 Alomedika.com All Rights Reserved.