Penatalaksanaan Hiperemesis Gravidarum
Penatalaksanaan untuk hiperemesis gravidarum dilakukan dengan target untuk:
- Menentukan apakah terjadi dehidrasi atau tidak
- Mengurangi gejala dengan cara mengubah diet serta lingkungannya dan memulai obat dengan pendekatan yang bijak
- Melakukan rehidrasi jika terjadi dehidrasi
- Mencegah komplikasi yang serius dari muntah yang persisten termasuk di antaranya gangguan elektrolit, defisiensi vitamin (mis. ensefalopati Wernicke), dan kehilangan berat badan yang ekstrem
- Meminimalisasi efek fetal baik karena kondisi mual dan muntah ibu maupun karena pengobatannya
Muntah tanpa Dehidrasi
Terdapat empat lini terapi untuk muntah tanpa dehidrasi. Selain itu, terdapat juga terapi tambahan berupa obat yang mengurangi asam lambung.
Lini Pertama: Modifikasi Gaya Hidup dan Piridoksin
Untuk kondisi mual yang disertai muntah tetapi tanpa dehidrasi, penerapan modifikasi diet dan menghindari pencetus juga dilakukan seperti pada kondisi mual tanpa muntah. Namun bedanya untuk terapi obat awal yang diberikan langsung dengan kombinasi doksilamin-piridoksin karena pemberian piridoksin tunggal terbukti kurang efektif untuk mengurangi muntah (hanya efektif mengurangi mual saja). Namun, jika kombinasi doksilamin-piridoksin juga tidak bisa mengurangi gejala mual dan muntah harus dipikirkan pemberian obat selanjutnya yakni obat lini kedua, ketiga, dan keempat. Di Indonesia, doksilamin tidak tersedia sehingga obat yang disarankan adalah piridoksin saja. Selain itu, piridoksin juga dapat dikombinasikan dengan suplemen jahe.
Dosis yang digunakan adalah 10-25 mg setiap 6-8 jam untuk piridoksin oral dengan dosis maksimum 200 mg/hari.
Lini Kedua: Antihistamin
Obat lini kedua yang dapat diberikan berupa antihistamin (antagonis H1) selain doksilamin. Dengan alasan keamanan untuk janin terdapat 3 obat yang direkomendasikan yakni difenhidramin, meclizin, dan dimenhidrinat. Meclizin tidak tersedia di Indonesia.
Dosis difenhidramin oral yang dipakai yakni 25 sampai 50 mg setiap 4 sampai 6 jam sesuai kebutuhan. Selain dalam bentuk oral, difenhidramin juga dapat diberikan secara IV dengan dosis 10 sampai 50 mg setiap 4 sampai 6 jam sesuai kebutuhan.
Dosis dimenhidrinat oral yang dipakai yakni 25 sampai 50 mg setiap 4 sampai 6 jam sesuai kebutuhan. Untuk dimenhidrinat, sebagai catatan, jika pasien diberikan doksilamin juga, dosis maksimal dimenhidrinat adalah 200mg/hari.
Efek samping dari obat-obatan golongan ini di antaranya sedasi, mulut kering, dan konstipasi.
Lini Ketiga: Antagonis Dopamin
Obat lini ketiga berupa antagonis dopamin. Obat golongan ini yang direkomendasikan untuk perempuan hamil dengan mual muntah adalah metoklopramid, fenotiazin (prometazin dan proklorperazin), dan butirofenon (droperidol). Proklorperazin tidak tersedia di Indonesia.
Dosis metoklopramid yang dipakai yakni 10 mg, dapat diberikan secara oral, IV, atau IM (idealnya diberikan 30 menit sebelum makan dan saat akan tidur) setiap 6 sampai 8 jam per hari.
Dosis prometazin yang dapat diberikan yakni 12.5 sampai 25 mg, dapat diberikan secara oral, rektal, atau IM setiap 4 jam. Pemberian secara oral atau rektal lebih disarankan. Pemberian prometazin secara IV, intraarterial, dan subkutan dikontraindikasikan karena dapat menyebabkan gangren pada ekstremitas dan nekrosis jaringan.
Dosis proklorperazin yang dapat diberikan yakni 5 mg sampai 10 mg secara oral, IV atau IM setiap 6 jam atau 25 mg per rektal 2 kali sehari.
Efek samping yang umum terjadi pada pemberian proklorperazin ini di antaranya mengantuk, pusing, sakit kepala, dan retensi urin.
Lini Keempat: Antagonis Serotonin
Obat lini keempat yang digunakan adalah antagonis serotonin. Obat golongan ini yang bisa dipakai untuk mual dan muntah pada kehamilan yakni ondansetron, granisetron, dan dolasetron.
Ondansetron adalah obat yang paling umum digunakan dari golongan ini. Dosis ondansetron yang dipakai yakni 4 mg, dapat diberikan secara oral setiap 8 jam sesuai kebutuhan atau dapat juga diberikan secara IV dengan injeksi secara bolus setiap 8 jam sesuai kebutuhan. Dosis dapat dinaikkan jika dibutuhkan dan dibatasi sampai 16 mg/dosis (per satu kali pemberian). Sakit kepala, kelelahan, konstipasi, dan mengantuk adalah efek samping yang paling sering terjadi. Ondansetron juga dapat menyebabkan pemanjangan interval QT, khususnya pada pasien-pasien dengan faktor risiko aritmia (riwayat pemanjangan interval QT sebelumnya, hipokalemia atau hipomagnesemia, gagal jantung, pemberian obat bersamaan dengan obat yang menyebabkan perpanjangan interval QT, dan penggunaan dosis ondansetron intravena multipel). EKG dan pengawasan elektrolit direkomendasikan pada pasien tersebut.
Terapi Tambahan: H2 Blocker
Selain keempat lini obat tersebut, terdapat terapi tambahan yang dapat diberikan yakni golongan obat-obatan yang mengurangi asam lambung. Pada perempuan hamil dengan GERD atau mual muntah, sebuah studi observasional menunjukan bahwa penggunaan obat-obatan pengurang asam lambung (mis. antasid, H2 blocker, dan PPI) yang dikombinasikan dengan terapi antiemesis secara signifikan memperbaiki gejala dalam 3 sampai 4 hari setelah dimulainya terapi. Namun, di antara semua golongannya, obat pengurang asam lambung yang paling aman dan direkomendasikan untuk diberikan pada ibu hamil adalah golongan H2 blocker yakni ranitidin dan simetidin dengan dosis oral dua kali 150 mg sehari.[2,12-14]
Muntah dengan Dehidrasi
Terapi rehidrasi merupakan kunci dari terapi pada perempuan hamil yang mengalami muntah dengan dehidrasi. Pemberian cairan awal dapat dilakukan dengan pemberian larutan RL 2L selama 3 sampai 5 jam. Selanjutnya cairan diganti dengan cairan dekstrosa 5% dalam cairan saline 0.45%. Sebagai alternatifnya cairan yang diberikan dapat berupa perbandingan dekstrosa 5% atau 10% dengan RL yakni 2:1 dengan jumlah tetesan 40 tetesan per menit.
Selain pemberian cairan tersebut, ditambahkan juga dengan pemberian vitamin seperti thiamin (vitamin B1) secara intravena dengan dosis 100mg yang dilarutkan ke dalam 100 cc NaCl 0.9% (pemberian thiamin IV 100 mg sampai tiga hari ke depan). Pemberian thiamin ini penting untuk mencegah terjadinya ensefalopati Wernicke.
Obat-obatan antiemesis yang diberikan pada kondisi ini adalah obat-obatan antiemesis dalam bentuk IV. Koreksi magnesium dan kalsium juga dapat diberikan jika ada indikasi. Diet yang diberikan pada kondisi ini adalah diet tinggi protein untuk mengurangi mual. Selain diet tinggi protein, pisang dan roti kering juga dapat diberikan. Namun, jika muntah sangat hebat, pasien disarankan untuk dipuasakan terlebih dahulu selama 24-48 jam.[3,14]
Mual Muntah yang Persisten
Pada kasus mual dan muntah pada kehamilan yang persisten dapat diberikan terapi glukokortikoid. Namun, pemberiannya harus diberikan di atas trimester pertama kehamilan karena efek sampingnya pada janin (risiko terjadinya celah palatum pada janin sedikit meningkat). Cara kerja obat golongan ini dalam mengurangi gejala mual dan muntah yang berat pada perempuan hamil masih belum diketahui pasti, tetapi dari penelitian terbukti efektif.
Obat glukokortikoid yang biasa dipakai yakni metilprednison IV dengan dosis 16 mg setiap 8 jam selama 48 sampai 72 jam. Sebagai alternatifnya dapat diberikan hidrokortison IV 100 mg 2 kali sehari.
Glukokortikoid ini dapat dihentikan secara tiba-tiba pada pasien yang tidak menunjukan perbaikan sementara pada pasien yang menunjukan perbaikan obat oini harus di-tapering off selama 2 minggu. Pemberian obat ini harus diwaspadai pada perempuan hamil dengan diabetes gestasional.
Setelah pemberian obat secara IV, terapi dilanjutkan dengan pemberian prednison oral 40 mg per hari selama 1 hari, diikuti dengan 20 mg per hari selama 3 hari, lalu 10 mg per hari selama 3 hari, terakhir 5 mg per hari selama 7 hari. Regimen ini dapat diulang sampai 3 kali dalam rentang waktu 6 minggu.