Diagnosis Atrial Flutter
Diagnosis atrial flutter ditegakkan berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan gejala aritmia serta didukung oleh hasil elektrokardiogram yang khas berupa gelombang berbentuk gigi gergaji. Pada pasien yang dicurigai mengalami atrial flutter, evaluasi skoring akan sangat berguna dalam menentukan strategi antikoagulan ketika tindakan kardioversi atau ablasi kateter menjadi pilihan pengobatan.
Anamnesis
Informasi yang didapat dari anamnesis pasien yang dicurigai mengalami atrial flutter tidak terlalu spesifik untuk membedakan kondisi tersebut dari aritmia atrium lainnya. Selain itu, belum ada suatu algoritma klinis spesifik yang dikembangkan untuk mengarahkan tanda dan gejala klinis yang dapat membantu meningkatkan probabilitas diagnosis atrial flutter.
Manifestasi Klinis
Pasien dengan atrial flutter dapat muncul tanpa gejala atau dengan gejala. Gejala yang mungkin berkaitan dengan atrial flutter antara lain berdebar-debar, rasa melayang, mudah lelah, penurunan toleransi aktivitas, sesak, dan nyeri dada.
Bila atrial flutter telah berlangsung lama dan tidak mendapat penanganan segera, gejala komplikasi kardiovaskuler akut seperti gagal jantung dan sindrom koroner akut dapat muncul. Sebagai bagian dari takikardia supraventrikuler (SVT), atrial flutter jarang sekali sampai menyebabkan sinkop walaupun keluhan berupa rasa melayang dapat ditemukan. [1]
Faktor Risiko
Faktor risiko yang meningkatkan probabilitas pasien terhadap atrial flutter juga harus digali. Pasien perlu ditanyakan apakah pernah mengalami riwayat kelainan irama jantung atau keluhan yang sesuai atrial flutter dan aritmia lainnya. Riwayat pengobatan yang pernah didapatkan, durasi pengobatan, serta prosedur invasif jantung yang pernah dijalani juga perlu ditanyakan. [1,29]
Komplikasi
Sekitar 7% pasien dengan atrial flutter dapat mengalami trombosis aurikel yang berpotensi meningkatkan risiko tromboembolisme sehingga evaluasi risiko perlu dilakukan saat anamnesis. [30] Skor CHADS2 dan CHA2DS2-VASc merupakan sistem skoring yang dapat membantu stratifikasi risiko stroke iskemik pada pasien atrial flutter. [1,31] Skor CHADS2 menggunakan karakteristik klinis berupa gagal jantung kongestif, hipertensi, usia ≥ 75 tahun, diabetes mellitus, stroke atau serangan iskemik transien atau tromboembolisme sebagai pembeda risiko stroke pada pasien dengan NVAF. Sementara itu, skor CHA2DS2-VASc menambahkan kategori usia 65-74 tahun, jenis kelamin wanita, dan riwayat penyakit vaskuler sebagai komponen sistem skoring. [5]
Tabel 1. Skor CHADS2 dan CHA2DS2-VASc
Komponen Skor | Stratifikasi Risiko Stroke Menurut Hasil Skor CHADS2 dan CHA2DS2-VASc | ||
Skor | Total Skor | Persentase Stroke/Tahun | |
CHADS2 | |||
Gagal jantung kongestif Hipertensi Usia ≥ 75 tahun Diabetes melitus Stroke/TIA/Tromboembolisme | 1 1 1 1 2 | 0 1 2 3 4 5 6 | 1,9 2,8 4,0 5,9 8,5 12,5 18,5 |
Skor maksimal | 6 | ||
CHA2DS2-VASc | |||
Gagal jantung kongestif Hipertensi Usia ≥ 75 tahun Diabetes melitus Stroke/TIA/Tromboembolisme Penyakit vaskuler (infark miokard, penyakit arteri perifer, plak aorta) Usia 64-75 tahun Jenis kelamin (wanita) | 1 1 2 1 2 1 1 1 | 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 | 0 1,3 2,2 3,2 4,0 6,7 9.8 9,6 6,7 15,2 |
Skor maksimal | 9 |
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien dengan atrial flutter asimptomatik biasanya tidak terlalu khas selain menunjukkan suatu takikardi reguler saja. Walaupun demikian, evaluasi sistem kardiovaskuler menyeluruh tetap diperlukan. [32]
Mengingat atrial flutter cukup sering ditemukan bersama atrial fibrilasi, pemeriksaan fisik yang menunjang diagnosis atrial fibrilasi (AF) juga harus dilakukan. Hal ini mencakup adanya pulsasi ireguler, pulsasi vena jugularis ireguler, dan intensitas bunyi jantung pertama yang bervariasi akibat perubahan preload ventrikel. Walaupun denyut nadi ireguler lebih sering ditemukan pada kasus AF, pulsasi reguler juga dapat terjadi pada pasien dengan AF dan blokade jantung total yang disertai irama lolos (junctional/ventricular escape rhythm). Adanya murmur biasanya mengindikasikan bahwa terdapat kelainan katup sebagai penyebab dasar atrial flutter dan AF. Distensi vena jugular, edema perifer, ronki basah halus, dan adanya bunyi jantung ketiga mengisyaratkan suatu kondisi gagal jantung. [5,29,33]
Diagnosis Banding
Pada mayoritas kasus atrial flutter, gambaran elektrokardiogram menjadi penentu daftar diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan.
Takikardia Atrium
Diagnosis banding atrial flutter tidak selalu dengan mudah ditentukan sebab pada beberapa kasus, gelombang P pada suatu takikardia atrium sulit dibedakan dari gelombang kepak milik atrial flutter. Pada situasi tersebut, laju atrium < 250 kali/menit, adanya garis isoelektrik antar gelombang P, dan variabilitas siklus atrium menandakan bahwa takikardia mungkin berasal dari suatu takikardia atrium unifokal alih-alih disebabkan oleh atrial flutter.
Atrioventricular Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT)
Pada atrial flutter, gelombang kepak sering tersamarkan dengan kompleks QRS dan gelombang T. Sedangkan pada atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT) gelombang P tidak terlihat karena tertindih kompleks QRS yang muncul akibat aktivasi atrium dan ventrikel secara bersamaan. Namun, pada atrial flutter, analisis EKG mungkin menunjukkan gambaran gelombang F pada sandapan inferior dan V1. Selain itu, pada atrial flutter, manuver vagal biasanya memicu penurunan laju ventrikuler menjadi hampir separuh dari sebelumnya, sedangkan pada AVNRT manuver vagal dapat secara mendadak menghentikan takikardia atau bahkan tidak memicu respons apapun.
Atrioventricular Reciprocating Tachycardia
Pada atrioventricular reciprocating tachycardia (AVRT) gelombang P masih dapat terlihat jelas walaupun kadang tersamarkan oleh gelombang T.
Junctional Tachycardia
Junctional tachycardia (JT) biasanya ditemukan pada individu dewasa muda dengan gambaran EKG berupa gelombang P yang sulit diidentifikasi. [34]
Atrial Fibrilasi
Atrial fibrilasi (AF) biasanya muncul sebagai takikardi iregular pada EKG tanpa disertai adanya gelombang P. Namun, bila gelombang kepak terdeteksi dan interval RR tidak terlalu berbeda pada sandapan II panjang, maka gambaran tersebut mungkin dihasilkan oleh suatu atrial flutter dengan konduksi atrioventrikular yang bervariasi. [34,35]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis atrial flutter yang utama adalah EKG dimana akan didapatkan gambaran gigi gergaji.
Elektrokardiogram
Elektrokardiogram (EKG) 12 sandapan pada saat takikardia dapat menunjukkan gambaran gigi gergaji yang merupakan temuan EKG khas pada atrial flutter.
Urutan aktivasi sirkuit atrial flutter tipikal murni menghasilkan gelombang kepak dengan defleksi negatif pada sandapan II, III, dan aVF serta defleksi positif lambat pada sandapan V1. Biasanya, laju atrium dapat mencapai 300 detak per menit, dengan panjang siklus 200 ms, namun dapat menurun seiring dengan penggunaan obat antiaritmia atau adanya jaringan parut di atrium. [1,36]
Gambaran EKG pada atrial flutter tipikal terbalik berlawanan dengan gambaran EKG pada atrial flutter tipikal murni. Pada atrial flutter tipikal terbalik, defleksi positif gelombang kepak pada EKG terlihat pada sandapan inferior yang disebabkan oleh aktivasi atrium kiri dari arah depan dekat berkas Bachman. Perbedaan pola EKG ini tidak berpengaruh terhadap laju atrium dan ventrikel pada kedua tipe atrial flutter tipikal. [37]
Ekokardiografi Transesofageal
Ekokardiografi transesofageal (transesophageal echocardiography/TEE) merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat baik dalam mendeteksi trombus di atrium pada kasus atrial flutter. Sekitar 6% pasien dengan atrial flutter dapat mengalami trombus di atrium kiri dan risiko ini semakin meningkat khususnya pada pasien yang disertai atrial fibrilasi dengan onset >48 jam. [30] Canadian Cardiovascular Society (CCS) merekomendasikan TEE sebagai pemeriksaan penunjang untuk memastikan adanya trombus atrium kiri, khususnya pada pasien yang berpotensi memerlukan kardioversi dini, sebagai alternatif terhadap terapi antikoagulan selama 3 minggu sebelum kardioversi. [31]
Uji Elektrofisiologi
Jika EKG saat takikardia telah menunjukkan pola yang sesuai dengan atrial flutter, pemeriksaan lanjutan berupa uji elektrofisiologi harus dilakukan untuk meningkatkan kesuksesan ablasi kateter radiofrekuensi. Uji elektrofisiologi dilakukan dengan pemetaan aktivasi menggunakan kateter multisandapan maupun sistem komputer pemetaan aktivasi tiga dimensi. Pemeriksaan ini sangat berguna khususnya pada kasus atrial flutter tipikal terbalik, atrial flutter yang disertai atrial fibrilasi, gambaran gelombang delta pada EKG, dan atrial fibrilasi dengan konduksi aberan. [5,37]
Rontgen Dada
Pemeriksaan rontgen dada dapat dilakukan apabila terdapat kecurigaan penyakit jantung struktural atau penyakit pada paru-paru sebagai etiologi atrial flutter. Kardiomegali, peningkatan vaskuler paru, dan efusi pleura pada gambaran rontgen dada dapat mengisyaratkan suatu gagal jantung kongestif. [38,39] Rontgen dada juga dapat bermanfaat untuk mengidentifikasi penyebab atrial flutter yang tak lazim khususnya pada populasi bayi dan anak-anak. Suatu laporan kasus dari Almeida menemukan bahwa insersi kateter vena umbilikalis yang terlalu dalam dapat menyebabkan ujung kateter berakhir di sekitar atrium kiri dan memicu kejadian atrial flutter. [40]
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah yang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan atrial flutter mencakup pemeriksaan darah perifer lengkap, elektrolit serum, fungsi ginjal, hati, dan tiroid. Pemeriksaan darah perifer lengkap, termasuk hitung jenis, menjadi penting apabila pasien datang dengan atrial flutter kompleks atau dengan keluhan utama berupa sesak napas. Sebuah penelitian yang dilakukan Scheuermeyer et al menemukan bahwa sekitar 60% pasien dengan atrial flutter atau atrial fibrilasi kompleks, memiliki penyakit penyerta berupa sepsis atau gagal jantung akut. [41]
Pemeriksaan fungsi tiroid dan hati juga diperlukan sebagai evaluasi awal jika pasien akan mendapat terapi amiodarone. Penggunaan amiodarone jangka pendek biasanya ditoleransi dengan baik oleh pasien, namun penggunaan jangka panjang berpotensi menyebabkan disfungsi tiroid, kelainan fungsi hati, dan toksisitas paru. [42]