Penatalaksanaan Atrial Flutter
Prinsip penatalaksanaan atrial flutter yang optimal memiliki empat komponen penting, yaitu pengendalian laju ventrikel, pengembalian irama sinus, pencegahan tromboembolisme, dan pemeliharaan irama sinus.
Hingga kini pedoman penatalaksanaan atrial flutter masih menjadi bagian dari pedoman klinis takikardi supraventrikuler (SVT). [1] Pada pedoman klinis lainnya, komponen pencegahan stroke dan tromboembolisme pada atrial flutter masih dianggap sama dengan atrial fibrilasi (AF). [5,31] Di sisi lain, bukti mutakhir menunjukkan bahwa risiko trombosis intraatrial dan stroke pada pasien atrial flutter lebih rendah dibandingkan pada pasien dengan AF namun tetap lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. [1,30,43] Hal ini mengisyaratkan bahwa kepatutan regimen antitrombotik dan metode skoring risiko tromboembolisme pada pasien dengan atrial flutter mungkin perlu dilakukan dengan pendekatan yang berbeda.
Pengendalian Laju Ventrikuler
Pengendalian laju ventrikuler pada atrial flutter bertujuan untuk mencegah gangguan hemodinamik, memperbaiki gejala, serta mencegah kardiomiopati imbas aritmia (arrhythmia-induced cardiomyopathy/AIC). Keberhasilan pengendalian laju ventrikuler pada atrial flutter biasanya tidak sebaik seperti yang diharapkan pada atrial fibrilasi (AF). Namun, hal ini tetap perlu dipertimbangkan dengan pemberian obat oral maupun intravena dengan efek langsung terhadap nodus atrioventrikular. [1]
Penghambat Reseptor Beta dan Penghambat Kanal Kalsium Non Dihidropiridin
Jika kondisi hemodinamik pasien stabil, penghambat reseptor beta atau penghambat kanal kalsium non dihidropiridin (verapamil, diltiazem) dapat dipertimbangkan untuk mencapai pengendalian laju ventrikuler. Kedua obat ini memiliki efektivitas yang sebanding.
Pemilihan salah satu dari kedua golongan obat ini ditentukan dari komorbiditas yang dialami pasien. Penghambat reseptor beta lebih tepat diberikan pada pasien dengan iskemia miokard, infark miokard, hipertiroidisme, dan kondisi pascaoperasi. Namun harus dihindari pada pasien dengan penyakit jalan napas reaktif seperti asthma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). [44,45]
Sementara itu, diltiazem dan verapamil sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan gagal jantung tahap lanjut, atrial flutter disertai blokade jantung, dan disfungsi nodus sinus tanpa pemakaian terapi pacu jantung. [1,46]
Digoxin
Pada pasien dengan atrial flutter yang disertai AF atau respons penurunan laju ventrikuler yang kurang optimal dengan pemberian penghambat beta atau penghambat kanal kalsium, digoxin dapat ditambahkan sebagai terapi lini kedua.
Tinjauan sistematik mutakhir yang dilakukan Sethi et al menunjukkan bahwa digoxin memang lebih baik dibandingkan plasebo dalam mencapai kendali laju ventrikuler, namun tidak lebih dibandingkan penghambat beta, penghambat kanal kalsium, maupun amiodarone. [47]
Amiodarone
Jika penggunaan penghambat beta dan kanal kalsium tidak efektif atau pasien memiliki penyakit penyerta yang berat, gagal jantung akut, atau instabilitas hemodinamik, pemberian amiodarone intravena dapat dipertimbangkan. Sebelum penggunaan amiodarone dimulai, pasien harus dipastikan tidak memiliki riwayat preeksitasi. Pertimbangan risiko serta manfaat pemberian antikoagulan sebaiknya.
Atas pertimbangan profil toksisitasnya yang luas, penggunaan amiodarone intravena dalam jangka panjang tidak disarankan. [1,5]
Pengembalian Irama Sinus
Pengembalian irama sinus pada atrial flutter dianggap sebagai strategi yang lebih baik dibandingkan pengendalian laju. Penghentian atrial flutter dengan cara pengembalian irama sinus berkaitan dengan perbaikan gejala dan peningkatan kapasitas fungsional dan kualitas hidup, serta pencegahan tromboembolisme serta kardiomiopati imbas aritmia. [1,48] Oleh sebab itu, strategi pengembalian irama sinus diperuntukkan bagi pasien yang tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi antikoagulasi, terbukti memiliki trombus intraatrial, atau pasien dengan gejala yang berat akibat atrial flutter dan mengalami instabilitas hemodinamik akibat atrial flutter. [49]
Modalitas terapi untuk pengembalian irama sinus mencakup terapi kardioversi elektrik, kardioversi farmakologi, overdrive atrial pacing (OAP), dan ablasi kateter radiofrekuensi (radiofrequency catheter ablation/RFCA).
Pemilihan metode kardioversi dipengaruhi oleh durasi atrial flutter, keparahan gejala pasien, kecukupan pengendalian laju ventrikuler, dan risiko tromboembolisme. Kardioversi dini dipertimbangkan bagi pasien dengan atrial flutter disertai instabilitas hemodinamik dan laju ventrikel yang tinggi. Kardioversi juga diperlukan pada pasien dengan kondisi hemodinamik stabil namun simptomatik berkaitan dengan atrial flutter persisten dan pengendalian laju ventrikel yang belum optimal. Jika kondisi pasien stabil, gejala minimal, dan denyut jantung terkendali baik, pengembalian irama sinus bisa ditunda dan direncanakan tindakan ablasi kateter. [1,5,50]
Terapi Antikoagulan
Terapi antikoagulan pada atrial flutter masih sesuai dengan rekomendasi strategi antikoagulasi pada atrial fibrilasi (AF). Sebelum memberikan terapi antikoagulasi, stratifikasi risiko dengan menggunakan skor CHADS2 dan CHA2DS2-VASc.
-
Jika pasien mengalami AF non valvular atau atrial flutter dengan skor CHA2DS2-VASc adalah 0, pemberian terapi antitrombotik dapat ditunda
-
Jika pasien memiliki riwayat stroke atau skor CHA2DS2-VASc ≥ 2, pemberian antikoagulan disarankan dengan pilihan berupa warfarin, dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban
- Pada pasien dengan skor CHA2DS2-VASc ≥ 2 dan gagal ginjal stadium akhir (bersihan kreatinin < 15 ml/menit) atau dalam terapi hemodialisis, pilihan obat antikoagulan yang disarankan adalah warfarin oral
- Jika pasien memiliki gagal ginjal derajat sedang-berat, dabigatran atau rivaroxaban masih dapat diberikan namun dosisnya diturunkan. [5]
Bila Atrial Flutter Berlangsung > 48 jam
Pada pasien dengan atrial flutter yang telah berlangsung minimal 48 jam atau durasinya tak diketahui, terapi antikoagulasi dengan warfarin selama minimal 3 minggu sebelum hingga 4 minggu setelah kardioversi patut dipertimbangkan. Namun, bila pasien dengan atrial flutter > 48 jam memerlukan kardioversi dini, pemberian antikoagulan harus segera dimulai sebelum tindakan kardioversi dan diteruskan selama minimal 4 minggu pasca kardioversi.
Bila Atrial Flutter Berlangsung < 48 jam
Bila atrial flutter berlangsung < 48 jam dan risiko stroke tinggi, heparin intravena atau dabigatran atau rivaroxaban dapat dipertimbangkan sebelum atau segera setelah kardioversi, dan dilanjutkan dengan pemberian antikoagulan jangka panjang. [5]
Penghentian Antikoagulan
Terapi antikoagulan dapat dihentikan apabila telah berlangsung minimal 4 minggu serta tidak terdapat bukti rekurensi atrial flutter dan tidak ada risiko stroke. [51]
Kardioversi Elektrik
Kardioversi elektrik tersinkronisasi dapat dipertimbangkan pada pasien atrial flutter) dengan kondisi stabil untuk mencegah kardiomiopati imbas aritmia. [1] Jika pasien dipertimbangkan untuk menjalani kardioversi dini namun belum pernah mendapat terapi antikoagulan adekuat, ekokardiografi transesofageal (TEE) dapat dilakukan untuk memastikan apakah terdapat trombus intraatrial, khususnya pada pasien atrial flutter yang datang setelah 48 jam sejak onset gejala. [31]
Kardioversi elektrik memiliki angka keberhasilan yang cukup tinggi (95%) dan dapat dicapai dengan tingkat energi listrik yang lebih rendah (5-50 Joule). Meskipun kardioversi elektrik lebih efektif dibandingkan kardioversi farmakologi, metode ini memerlukan persiapan yang lebih banyak terkait kebutuhan sedasi dan anestesi, serta tidak disarankan bagi pasien dengan toksisitas digitalis, hipokalemia berat, dan ketidakseimbangan elektrolit yang belum terkoreksi. [1]
Kardioversi Farmakologi
Kardioversi farmakologis tidak lebih efektif dibandingkan kardioversi tersinkronisasi dalam mengembalikan irama sinus pada kasus atrial flutter. Ibutilide dan dofetilide oral maupun intravena merupakan obat pilihan pertama untuk kardioversi farmakologi pada pasien dengan atrial flutter walaupun kedua obat ini belum tersedia di Indonesia.
Ibutilide intravena dapat mengembalikan irama sinus pada hampir 60% kasus atrial flutter. Namun, pasien yang mendapat ibutilide lebih rentan mengalami torsades de pointes (TdP) sehingga pemantauan EKG kontinyu. [1]
Pemeliharaan Irama Sinus
Pemeliharaan irama sinus biasanya tidak diperlukan pada atrial flutter yang berkaitan dengan penyakit tertentu seperti infark miokard dan hipertiroidisme. Namun, pada atrial flutter yang tak memiliki faktor pencetus reversibel yang perlu dikoreksi atau tidak berespons adekuat dengan terapi farmakologi, pemeliharaan irama sinus dengan modalitas ablasi kateter radiofrekuensi (RFCA) mungkin diperlukan. Sebagai alternatif terhadap ablasi kateter, terapi pemeliharaan irama sinus menggunakan obat antiaritmia dapat menjadi pilihan walaupun tingkat efektivitasnya lebih rendah.
Ablasi Kateter Radiofrekuensi (RFCA)
Sebagai terapi lini pertama untuk pemeliharaan irama sinus pada atrial flutter, ablasi kateter radiofrekuensi (RFCA) memiliki efektivitas yang cukup tinggi dengan tingkat keberhasilan lebih dari 90%. RFCA merupakan pilihan yang lebih baik daripada terapi antiaritmia jangka panjang pada kasus atrial flutter tipikal. Ablasi isthmus kavotrikuspid sebagai target terapi RFCA secara efektif menghambat re-entry pada sirkuit.
RFCA diindikasikan tak hanya pada atrial flutter tipikal yang simptomatik atau refrakter terhadap pemberian obat pengendali laju ventrikel saja tapi juga dapat bermanfaat pada pengobatan atrial flutter atipikal yang refrakter terhadap pemberian obat antiaritmia. [1]
Obat Antiaritmia
Beragam obat antiaritmia dapat digunakan untuk pemeliharaan irama sinus pada pasien atrial flutter yang tidak dapat menjalani ablasi kateter. Amiodarone, dofetilide, dan sotalol merupakan obat antiaritmia pilihan pada kondisi ini. Obat-obatan tersebut bekerja dengan menghambat pemicu dan mengubah substrat atrium agar tidak rentan terhadap atrial flutter yang refrakter.
Walaupun amiodarone memiliki risiko toksisitas yang cukup tinggi, pemberian obat ini masih dapat dipertimbangkan khususnya pada pasien dengan gagal jantung.
Dofetilide dapat menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan amiodarone, namun hanya boleh diberikan pada skenario rawat inap di rumah sakit. Pengaruh dofetilide terhadap fungsi ginjal dan perubahan EKG menyebabkan perlunya pemantauan interval QT dan fungsi ginjal berkala.
Sotalol belum tersedia di Indonesia. [1,5]