Penatalaksanaan Gagal Napas
Pada keadaan gawat darurat, penatalaksanaan gagal napas yang penting adalah deteksi dini keadaan gagal napas, manajemen jalan napas, dan oksigenasi. Berikut adalah strategi umum penatalaksanaan pasien dengan gagal napas. [3]
- Kenali dini kondisi gagal napas atau ancaman gagal napas saat triase
- Bila sudah menemukan, pertama-tama pastikan jalan napas paten.
- Pertimbangkan kemungkinan intubasi
- Sambil melakukan terapi, ambil sampel analisis gas darah, sebaiknya sebelum terapi oksigen diberikan bila kondisi memungkinkan.
- Koreksi hipoksemia dengan terapi oksigen
- Lakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mencari penyebab gagal napas dan penyakit penyerta lain yang dapat memperberat keadaan pasien
-
Terapi spesifik sesuai etiologi : misalnya antibiotik pada pneumonia, bronkodilator pada asma, pemasangan chest tube pada pneumothoraks
- Observasi ketat tanda vital
- Rawat intensif bila terdapat indikasi dan memenuhi kriteria rawat
Prinsip Terapi Oksigen
Indikasi terapi oksigen adalah :
- Hipoksemia yang nyata
-
Distress napas
- Hipotensi
- Trauma
- Infark miokard dengan hipoksemia
- Sesak tanpa hipoksemia (masih kontroversial) [3]
Pertimbangkan beratnya hipoksemia dan pernapasan pasien. Pada distres napas ringan atau sedang, dapat memulai terapi oksigen dengan aliran rendah (menggunakan nasal cannula atau simple mask). Pada distres napas berat, boleh langsung memberikan aliran oksigen yang banyak dengan nonrebreathing mask, pertimbangkan intubasi endotrakeal.
Umumnya target minimal terapi adalah tekanan parsial oksigen di atas 60 mmHg atau saturasi di atas 90%. Bila belum mencapai target tersebut, boleh mengganti terapi oksigen ke fraksi yang lebih tinggi secara perlahan hingga target tercapai.
Pada pasien gagal napas kronis, berikan terapi oksigen dengan sangat hati hati karena umumnya pasien telah mengalami hipoksia dan hiperkapnia kronis. Pada keadaan ini, hipoksia menjadi respiratory drive pasien. Apabila memberikan oksigen dengan dosis tinggi secara tiba-tiba, pasien berisiko mengalami depresi napas dengan gejala hipoventilasi alveolar sehingga memperparah retensi karbon dioksida.
Tabel 3. Cara pemberian oksigen dan dosisnya. [3]
Laju oksigen (dalam L/menit) | FIO2 (%) |
Nasal cannula
|
|
Simple mask
|
|
Nonrebreathing mask
|
|
Venturi mask
|
|
Pemilihan cara pemberian oksigen pada gagal napas harus berdasarkan penyebabnya. Misalnya, pada pasien dengan acute respiratory distress syndrome, oksigenasi menggunakan terapi oksigen simpleks tidak akan adekuat karena dibutuhkan bantuan ventilasi mekanik. Pada gagal napas tipe 2 dimana fungsi paru sebelumnya adalah normal, ventilasi alveolar menjadi inadekuat sehingga dibutuhkan bantuan ventilasi. Berbeda dengan pasien yang sebelumnya menderita kelainan paru, seperti pada PPOK, terapi oksigen terkontrol sangat dibutuhkan sehingga penggunaan ventilator sebaiknya dihindari.
Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik dipertimbangkan pada distres napas disertai keadaan seperti :
- Stridor
- Apnea
- Penurunan kesadaran
- Flail chest
- Kelainan neuromuskular
- Trauma pada mandibula dan jalan napas
- Hipoksemia refrakter setelah pemberian terapi oksigen[1,4,7]
Ventilasi mekanik dapat diberikan melaluI CPAP dan BiPAP. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah BiPAP memiliki dua pengaturan tekanan, yaitu pengaturan tekanan untuk inhalasi (Inhalation Positive Airway Pressure/iPAP) dan pengaturan tekanan ekspirasi (Exhalation Positive Airway Pressure/ePAP). Hal ini membuat dokter dapat mengendalikan seberapa banyak udara yang masuk dan dikeluarkan dari paru.
Pertimbangan dalam pemilihan pengaturan setting ventilator adalah 3T, yaitu :
-
Target/Limit : Merupakan batasan dalam pemberian udara untuk inspirasi. Target dapat berupa volume, maupun tekanan
-
Trigger : Pencetus siklus napas. Bisa menggunakan timer (inisiasi napas oleh ventilator) atau usaha napas dari pasien (inisiasi napas oleh pasien)
-
Termination/Cycle: Terminasi inspirasi dan perpindahan ke ekspirasi dapat berdasarkan volume, waktu, tekanan, maupun aliran udara [7]
Kelemahan ventilator yang patut diwaspadai antara lain
- Stres bagi pasien dan keluarga
- Higiene saluran napas sulit dijaga
- Tidak nyaman bagi pasien
- Dapat menyebabkan distensi lambung
- Hipoksemia muncul kembali segera saat dilepas
- Harus diawasi dengan ketat
- Salah pengaturan mode ventilasi dapat menyebabkan komplikasi, misalnya barotrauma
- Peningkatan tekanan intratorakal dapat menurunkan curah jantung
- Dapat menyebabkan infeksi nosokomial [7]