Keamanan Tindakan Intubasi pada Pasien COVID-19 dengan Gagal Napas

Oleh :
dr.Krisandryka

Keamanan tindakan intubasi pada pasien COVID-19 dengan gagal napas harus diwaspadai. Prosedur medis tersebut menempatkan petugas kesehatan berada sangat dekat dengan jalan napas pasien, sehingga berisiko terkena sekret dan aerosol yang sangat infeksius.[1,2]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Intubasi merupakan salah satu tantangan terbesar pada penanganan pasien COVID-19 dengan gagal napas. Viral load pada jalan napas pasien diperkirakan sangat tinggi dan sangat infeksius, sehingga menimbulkan risiko tinggi penularan kepada petugas kesehatan yang melakukan intubasi dan ventilasi. Oleh karena itu, harus melakukan tindakan pencegahan untuk menghindari transmisi kepada petugas kesehatan, termasuk pemakaian alat pelindung diri/APD yang benar, serta kondisi ruangan rawat maupun ruang tindakan.[2,3]

Tindakan Pencegahan Penularan Infeksi

Menurut HICPAC/CDC (Healthcare Infection Control Practices Advisory Committee/Centers for Disease Control and Prevention), terdapat dua tingkat tindakan pencegahan transmisi patogen, yakni tindakan pencegahan standar untuk semua pasien dan tindakan pencegahan transmission-based untuk pasien suspek atau terkonfirmasi infeksius.[4]

shutterstock_683111209-min

Tiga kategori tindakan pencegahan transmission-based adalah tindakan pencegahan kontak, droplet, dan airborne. Pada infeksi saluran napas dengan beberapa rute transmisi, dapat dilakukan lebih dari satu macam tindakan pencegahan sebagai tambahan tindakan pencegahan standar.[4]

Tindakan Pencegahan Kontak/Contact Precautions

Tindakan pencegahan kontak bertujuan mencegah transmisi patogen yang menyebar melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan pasien atau lingkungan pasien. Pada infeksi saluran napas, sekret dari saluran napas meningkatkan risiko kontaminasi lingkungan dan transmisi patogen. Pada pasien yang memerlukan tindakan pencegahan kontak, direkomendasikan satu kamar hanya untuk satu pasien. Jika tidak memungkinkan, perlu diberi jarak lebih dari 1 meter antara tempat tidur pasien. Ketika berinteraksi dengan pasien atau area sekitar pasien yang berpotensi terkontaminasi, petugas kesehatan harus mengenakan APD gown dan sarung tangan.[4]

Tindakan Pencegahan Droplet/Droplet Precautions

Tindakan pencegahan droplet bertujuan mencegah transmisi patogen yang menyebar melalui kontak mukosa membran atau saluran napas jarak dekat dengan sekret saluran napas pasien. Patogen penyebab infeksi saluran napas yang memerlukan tindakan pencegahan droplet antara lain COVID-19, SARS, MERSB. pertussis, virus influenza, adenovirus, rhinovirus, N. meningitidis, dan streptokokus grup A pada 24 jam pertama terapi antibiotik. Pada pasien yang memerlukan tindakan pencegahan droplet, direkomendasikan satu kamar hanya untuk satu pasien. Jika tidak memungkinkan, perlu diberi jarak lebih dari 1 meter dan tirai antara tempat tidur pasien. Pasien mengenakan masker dan mengikuti etika batuk ketika harus keluar ruangan. Pada kontak jarak dekat dengan pasien, petugas kesehatan harus mengenakan masker bedah di samping APD lainnya. Masker harus dikenakan sebelum memasuki ruangan rawat pasien.[4]

Tindakan Pencegahan Airborne/Airborne Precautions

Tindakan pencegahan airborne bertujuan mencegah transmisi patogen yang tetap infeksius ketika berada di udara, misalnya M. tuberculosis dan kemungkinan SARS-CoV. Pasien yang memerlukan tindakan pencegahan airborne sebaiknya ditempatkan dalam ruangan isolasi infeksi airborne, yaitu kamar untuk satu pasien yang dilengkapi kapasitas ventilasi dan air handling khusus, dengan tekanan negatif. Jika tidak tersedia ruangan khusus, pasien ditempatkan dalam ruangan tertutup biasa dan mengenakan masker. Pada intubasi, petugas kesehatan harus menggunakan masker khusus respirator (N95) di samping APD lainnya.[4]

Tindakan Intubasi pada Pasien COVID-19

Corona Virus Disease 2019/COVID-19 disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 dan sangat menular. Viral load tertinggi SARS-CoV-2 terdapat di sputum dan sekresi saluran napas bagian atas. Sejauh ini, transmisi lebih banyak melalui droplet hingga sejauh 2 meter, dan kontak langsung dengan pasien atau permukaan yang terkontaminasi (fomite) dibandingkan transmisi secara airborne. Namun, manajemen airway dan prosedur di ICU dapat menimbulkan aerosol yang meningkatkan risiko transmisi, sehingga petugas kesehatan berisiko tertular COVID-19.[3,5]

Sebuah review sistematis mengenai risiko petugas kesehatan terinfeksi menunjukkan hasil bahwa intubasi merupakan prosedur dengan risiko tertinggi, disusul oleh trakeostomi, ventilasi non-invasif (non-invasive ventilation/NIV), dan ventilasi dengan sungkup. Karena itu, perlu dilakukan tindakan pencegahan airborne untuk keamanan petugas kesehatan.[5,6]

Sistem Pencegahan Penyebaran Infeksi Melalui Airway

Sistem pencegahan penyebaran infeksi melalui airway pada petugas kesehatan meliputi pembentukan tim manajemen, penggunaan APD, serta menempatkan pasien pada ruangan khusus.

Pembentukan Tim Manajemen Airway

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun sebuah tim manajemen airway, terutama saat melakukan tindakan intubasi, adalah sebagai berikut:

  • Batasi jumlah orang, hanya orang-orang yang terlibat dalam proses manajemen airway yang boleh berada dalam ruangan
  • Pilihlah petugas yang paling berpengalaman untuk meminimalkan kemungkinan re-intubasi
  • Gunakan teknik intubasi yang memaksimalkan keberhasilan intubasi dalam satu kali percobaan, gunakan video-laringoskopi atau gum-elastic bougie

  • Pertimbangkan untuk tidak mengikutsertakan petugas yang lebih rentan terhadap infeksi, seperti orang yang berusia di atas 60 tahun, immunosuppressed, hamil, atau memiliki komorbid serius
  • Tentukan peran yang jelas bagi masing-masing orang[9]

Safe Airway Society merekomendasikan susunan tim berikut ini:

  • Airway Operator, adalah klinisi paling berpengalaman untuk melakukan intervensi airway. Jika terdapat dokter spesialis anestesi, maka dokter tersebut yang membuat seluruh keputusan yang berkaitan dengan manajemen airway serta melakukan intubasi

  • Airway Assistant, adalah klinisi yang berpengalaman, bertugas memberikan peralatan pada operator, dan membantu menggunakan bougie serta melakukan ventilasi dengan bag-valve mask

  • Team Leader, adalah seorang klinisi berpengalaman yang bertugas mengkoordinasi tim, penggunaan obat-obatan, mengobservasi, dan membantu jika diperlukan emergency front-of-neck airway (eFONA)

  • In-Room Runner, opsional

  • Door Runner, ditempatkan di anteroom atau tepat di luar ruangan pasien, bertugas memberikan peralatan tambahan yang dibutuhkan dalam keadaan darurat pada asisten

  • Outside Room Runner, bertugas mengantar peralatan ke anteroom, atau langsung pada door runner jika tidak ada ante room[9,10]

Penggunaan Alat Pelindung Diri/APD

Prinsip penggunaan APD yang ideal adalah sebagai berikut:

  • Mudah untuk dilepas tanpa mengkontaminasi pengguna
  • Menutupi seluruh tubuh bagian atas
  • Langsung dibuang setelah dipakai
  • Direkomendasikan adanya observer atau checklist untuk memastikan APD dikenakan dan dilepaskan dengan benar[5,9]

Pada prosedur intubasi pasien yang dicurigai atau sudah terkonfirmasi COVID-19, APD yang dikenakan oleh airway operator, airway assistant, dan team leader minimal meliputi:

  • gaun lengan panjang atau coverall anti air sekali pakai
  • topi operasi
  • respirator facepiece class 3 (FFP3)/masker N95
  • visor atau face shield yang menutupi seluruh wajah
  • sarung tangan ganda[8,9]

APD yang dikenakan oleh in-room runner dan door runner adalah gaun lengan panjang, sarung tangan, masker, dan pelindung mata. Outside room runner tidak mengenakan APD. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan APD adalah sebagai berikut:

  • Hand hygiene harus dilakukan sebagai bentuk pengendalian infeksi dan tindakan pencegahan infeksi pada petugas kesehatan

  • Berlatih menggunakan APD sebelum menangani pasien sangat penting untuk keamanan pasien dan petugas kesehatan
  • Studi oleh Casanova, et al. menunjukkan bahwa penggunaan sarung tangan ganda pada intubasi dapat memberikan proteksi ekstra dan meminimalisasi transmisi melalui kontaminasi fomite pada peralatan dan lingkungan
  • Salah satu masalah saat intubasi adalah fogging/kabut pada goggles, sehingga kadang kaca goggles diperlukan diolesi iodophor atau sabun cair terlebih dahulu
  • Ikuti guideline WHO atau rumah sakit dalam mengenakan dan melepas APD
  • Melepas APD adalah tindakan yang berisiko tinggi mengakibatkan risiko transmisi pada petugas kesehatan
  • Area kulit yang terekspos, misalnya leher, harus dibersihkan dengan wipe antiviral hospital-grade setelah melepas APD[5,7,9]

Salah satu kontroversi mengenai APD adalah penggunaan powered air-purifying respirators/PAPR sebagai pengganti masker N95 ketika melakukan prosedur yang menimbulkan aerosol seperti intubasi. Meskipun PAPR lebih protektif, tetapi tidak ada bukti definitif bahwa PAPR dapat mengurangi kemungkinan transmisi virus jika ada potensi penyebaran secara airborne.[11]

Rekomendasi Ruangan

Idealnya satu pasien ditempatkan dalam satu ruangan isolasi bertekanan negatif dengan pertukaran udara baik (>12 pertukaran per jam) dan memiliki anteroom untuk meminimalisasi risiko paparan airborne dan droplet. Jika ruang isolasi negatif tidak tersedia, maka alternatifnya adalah ruangan bertekanan normal dengan pintu tertutup. Ruangan bertekanan positif seperti kamar operasi, sebaiknya dihindari. Beberapa strategi untuk mengurangi kemungkinan transmisi adalah menggunakan filter high efficiency particulate air/HEPA atau negative air flow portable di ruangan isolasi biasa. Namun pada kenyataannya, banyak ruang ICU yang tidak memenuhi standar ruang isolasi airborne, dan intubasi dilakukan di ruangan bertekanan positif atau ruangan dengan pertukaran udara yang kurang baik. Faktor-faktor tersebut dapat berakibat pada risiko transmisi dan retensi aerosol, sehingga dibutuhkan APD yang adekuat.[5,8,9,11]

Antisipasi Selama Prosedur Intubasi

Seluruh peralatan dan obat-obatan yang diperlukan harus tersedia dalam ruangan saat intubasi akan dilakukan untuk menghindari keluar-masuk orang. Beberapa hal penting sebagai antisipasi selama prosedur intubasi pada pasien yang dicurigai atau terkonfirmasi COVID-19 terdiri dari persiapan intubasi dan preoksigenasi, serta antisipasi setelah selesai intubasi.[9,11]

Persiapan Intubasi dan Preoksigenasi:

  • Sedasi yang adekuat dapat mengurangi risiko pasien teragitasi dan melepas APD
  • Ventilasi bag-mask sebelum intubasi dan pasien yang terbatuk ketika dilakukan laringoskopi dapat menimbulkan aerosol. Idealnya dengan pre-oksigenasi yang adekuat, ventilasi bag-mask sebelum laringoskopi dapat dihindari
  • Preoksigenasi dilakukan menggunakan face mask berukuran tepat untuk mencegah kebocoran udara, yang terhubung dengan alat ventilasi manual dan sumber oksigen
  • Filter virus harus disisipkan antara face mask dan alat ventilasi manual untuk mencegah kontaminasi sirkuit dan mencegah aerosolisasi
  • Lakukan preoksigenasi selama minimal 5 menit. Oksigenasi apneik menggunakan oksigen nasal high-flow tidak direkomendasikan karena berisiko menimbulkan aerosolisasi.
  • Video laringoskop sebaiknya hanya digunakan untuk intubasi kelompok pasien COVID-19. Bilah video laringoskop sekali pakai lebih dianjurkan. Idealnya display terpisah dengan bilah agar wajah operator tidak berdekatan dengan pasien
  • Direkomendasikan untuk memegang face mask dengan posisi V-E untuk meminimalisir kebocoran gas setelah induksi
  • Pasien dengan penyakit berat umumnya memerlukan ventilasi manual untuk mencegah desaturasi. Untuk meminimalisasi risiko aerosolisasi sekresi jalan napas, sebaiknya ventilasi dilakukan oleh dua orang, dengan airway assistant meremas bag dan menyesuaikan level PEEP yang diperlukan[9,11]

Setelah Intubasi:

  • Tekanan cuff sebaiknya dipantau dengan manometer untuk memastikan seal

  • Rontgen thorax untuk mengkonfirmasi posisi selang endotrakeal sebaiknya ditunda setelah pemasangan central line untuk meminimalisasi masuknya petugas ke dalam ruangan
  • Sebelum dilakukan rontgen thorax, USG dapat digunakan untuk membantu melihat kedalaman selang endotrakeal dan mendiagnosis adanya pneumothorax pada pasien terpasang ventilasi mekanik yang mengalami perburukan pernapasan mendadak
  • Pemasangan NGT sebaiknya dilakukan ketika intubasi untuk mencegah kontak lebih lanjut dengan jalan napas
  • Jika tidak menggunakan blade laringoskop sekali pakai, blade bekas pakai harus dimasukkan dalam kantong tersegel untuk sterilisasi segera setelah intubasi
  • APD harus dilepaskan mengikuti guideline rumah sakit atau WHO, menggunakan sistem ‘spotter’ dan menyadari bahwa melepas APD memiliki risiko kontaminasi lebih tinggi dibanding mengenakannya[9,11]

Edukasi Petugas Kesehatan

Edukasi petugas kesehatan terkait keamanan saat melakukan intubasi pada pasien dicurigai atau terkonfirmasi COVID-19 adalah sebagai berikut:

  • Edukasi dini di tiap departemen yang bersifat lintas profesi sangat penting bagi seluruh petugas yang terlibat dalam manajemen airway pasien COVID-19
  • Edukasi dalam bentuk simulasi sangat direkomendasikan, misalnya edukasi mengenai cara mengenakan dan melepas APD menggunakan multimedia, dan praktik simulasi di bawah supervisi[9]

Kesimpulan

Intubasi merupakan prosedur medis yang dapat menimbulkan aerosol dan harus sangat diwaspadai jika dilakukan pada pasien dengan infeksi saluran napas termasuk pasien COVID-19. Pada pasien suspek atau terkonfirmasi infeksius, dilakukan dua lapis tindakan pencegahan transmisi patogen, yakni tindakan pencegahan standar dan transmission-based yang meliputi pencegahan kontak, droplet, dan airborne. Seluruh staf medis yang terlibat dalam intubasi pasien suspek atau terkonfirmasi COVID-19 harus bersikap waspada dan melakukan tindakan pencegahan infeksi airborne, melakukan hand hygiene, serta menggunakan serta melepas APD dengan cara yang benar. Intubasi sebaiknya dilakukan dalam ruang isolasi airborne oleh klinisi paling berpengalaman menggunakan teknik rapid sequence intubation.

Referensi