Diagnosis Hipoglikemia
Diagnosis hipoglikemia diawali dengan identifikasi gejala seperti perubahan kesadaran, kejang, maupun gejala otonom dan neuroglikopenik lainnya. Diagnosis hipoglikemia juga dapat dikonfirmasi dengan adanya trias Whipple, yakni gejala dan tanda yang sesuai akibat hipoglikemia, kadar glukosa darah kurang dari 55 mg/dL yang diukur dengan metode yang tepat, dan perbaikan gejala seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah. [3]
Anamnesis
Informasi dari anamnesis yang mendukung suatu kelainan hipoglikemia biasanya berupa riwayat kejang atau perubahan kesadaran maupun temuan kadar glukosa darah yang rendah secara kebetulan. Riwayat penyakit penyerta akan membantu mempersempit diagnosis banding terhadap penyebab hipoglikemia dan mengarahkan pada metode diagnostik yang tepat. Penyakit penyerta yang dapat menimbulkan hipoglikemia antara lain adanya penyakit kritis, defisiensi hormon, maupun adanya suatu tumor padat non sel beta. [3,33]
Penyakit kritis penyerta yang dapat menjadi penyebab hipoglikemia antara lain gagal jantung, gagal ginjal, dan penyakit hati kronik. Penyebab hipoglikemia pada gagal jantung belum diketahui secara pasti, sedangkan pada gagal ginjal hipoglikemia sangat mungkin disebabkan oleh penurunan bersihan insulin dari tubuh serta penurunan mobilisasi prekursor glukoneogenesis. Di sisi lain, jejas hepatoseluler akut dan masif secara bermakna menurunkan kemampuan glukoneogenesis di hati. [33]
Pada kecurigaan defisiensi hormon pertumbuhan dan kortisol, anamnesis perlu diarahkan pada riwayat puasa yang lama. Hal ini disebabkan oleh peran kedua hormon tersebut dalam mekanisme pertahanan terhadap hipoglikemia akibat puasa berkepanjangan. Defisiensi kortisol kronik menyebabkan hipoglikemia dengan cara menginduksi glukoneogenesis di tengah penurunan prekursor. Akibatnya, hipoglikemia muncul ketika cadangan glikogen sangat menurun. Sementara itu, hipoglikemia imbas defisiensi hormon pertumbuhan lebih sering terjadi pada anak-anak dan sangat jarang terjadi pada orang dewasa. [33]
Beberapa tumor mesenkimal dan epitelial seperti hepatoma, tumor lambung, dan sarkoma dapat pula menyebabkan hipoglikemia. Tumor ini biasanya berukuran besar (> 10 cm) dan menimbulkan gejala akibat desakan pada ruang intra abdomen serta hipoglikemia. Selain itu, peningkatan produksi pro-IGF II (insulin-like growth factor II) dan IGF-I oleh sel tumor dapat berkontribusi pada kejadian hipoglikemia khususnya pada kondisi puasa. Kedua senyawa tersebut menekan konsentrasi insulin sehingga sangat membantu langkah diagnostik lanjutan untuk membedakannya dari hipoglikemia akibat kondisi hiperinsulinisme. [3,33]
Sementara itu, pada individu yang datang dengan kecurigaan hipoglikemia tanpa riwayat masalah kesehatan sebelumnya, kemungkinan hiperinsulinisme eksogen perlu diutamakan selain hiperinsulinisme endogen. Hiperinsulinisme eksogen terjadi akibat masuknya insulin maupun sekretagog insulin dari luar tubuh yang diketahui maupun tidak diketahui oleh pasien. Hiperinsulinisme endogen sangat langka terjadi dan dapat disebabkan oleh insulinoma, sindrom hipoglikemia non insulinoma, dan autoimunitas terhadap insulin.
Pada individu dengan gangguan kesadaran tanpa sebab yang jelas, hipoglikemia harus dipertimbangkan dan kadar glukosa darah harus diperiksa.[33]
Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik yang mendukung suatu diagnosis hipoglikemia dapat terbagi atas temuan terkait respons otonom dan temuan neuroglikopenik. Tanda respons otonom diperantarai oleh aktivasi sistem saraf simpatik adrenergik dan kolinergik. Gejala adrenergik mencakup palpitasi, tremor, dan ansietas akibat peningkatan norepinefrin dan epinefrin. Norepinefrin dan epinefrin juga dapat berkontribusi pada munculnya takikardia dan peningkatan tekanan darah sistolik saat istirahat pada pasien yang mengalami hipoglikemia. Namun, takikardia dan peningkatan tekanan darah sistolik mungkin tidak terjadi apabila pasien memiliki riwayat hipoglikemia episodik. Sementara itu, aktivasi sistem kolinergik dapat menimbulkan peningkatan produksi keringat dan parestesia. Tanda fisik neuroglikopenik muncul akibat efek penurunan suplai glukosa ke sistem saraf pusat. Hal ini dapat bervariasi namun mencakup obtundasi, amnesia, pandangan buram, diplopia, disartria, kejang, bahkan hilangnya kesadaran. [33]
Temuan pemeriksaan fisik terkait hipoglikemia mungkin pula tidak selalu terkait mekanisme pertahanan kontraregulatorik hipoglikemia. Sebagai contoh, pada bayi, beberapa tanda seperti sianosis, bradikardi, apnea episodik, dan distres pernapasan dapat timbul saat bayi mengalami hipoglikemia. [2]
Diagnosis Banding
Pada penatalaksanaan hipoglikemia, diagnosis banding diarahkan pada penyebab dasar hipoglikemia. Apabila pasien sebelumnya tidak memiliki riwayat hipoglikemia maupun penyakit penyerta yang berkaitan dengan hipoglikemia, maka kemungkinan diagnosis bandingnya mencakup hipoglikemia insidental, hipoglikemia yang disamarkan, maupun hipoglikemia akibat hiperinsulinisme eksogen.
Hipoglikemia Insidental
Hipoglikemia insidental biasanya terjadi akibat perubahan regimen terapi yang tidak diketahui sebelumnya (contoh: penggantian sulfonilurea menjadi obat diabetes oral golongan lain) maupun kesalahan dalam pemberian dosis insulin.
Hipoglikemia Disamarkan
Hipoglikemia yang disamarkan artinya hipoglikemia yang sengaja dirahasiakan oleh pasien dari tenaga medis. Hal tersebut biasanya terjadi pada individu yang memiliki pemahaman yang sangat fasih tentang penggunaan obat-obatan penurun kadar glukosa darah.
Hiperinsulinemia Eksogen
Hiperinsulinisme eksogen biasanya terjadi pada pasien yang mendapat pemberian insulin atau sekretagog insulin tanpa adanya riwayat diabetes. [3]
Penyakit Lain yang Mendasari
Di sisi lain, pada individu dengan penyakit penyerta seperti diabetes mellitus, gagal ginjal, gagal jantung, maupun defisiensi hormon, diagnosis banding penyebab hipoglikemia biasanya lebih sulit diidentifikasi. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan adanya kaitan antara satu penyakit dengan entitas penyakit lainnya yang membuat identifikasi penyebab hipoglikemia menjadi kompleks. Sebagai contoh, agak sulit membedakan penyebab pasti hipoglikemia pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (T2DM) disertai komorbiditas berupa gagal ginjal kronik yang mendapat terapi insulin. [34]
Namun, secara umum, obat-obatan dan senyawa lainnya yang berpengaruh pada metabolisme glukosa merupakan penyebab tersering hipoglikemia. Selain insulin dan sekretagognya, sejumlah bukti ilmiah melaporkan adanya kaitan antara penggunaan gatifloxacin, quinine, glucagon, pentamidine, artesunate, dan litium. Risiko ini terutama meningkat pada pasien yang dirawat di RS akibat kesalahan dalam sistem. Kealpaan dalam menyamakan daftar instruksi pemberian obat di rawat inap dengan daftar obat sebelum saat pasien di unit gawat darurat, frekuensi transfer antar unit rawat yang berbeda yang tinggi, pemindahan pasien untuk prosedur bedah maupun radiologis yang sering, serta penggunaan skala luncur insulin yang tidak tepat dapat berkontribusi pada kejadian hipoglikemia imbas obat di RS. [3]
Diagnosis Banding pada Bayi dan Anak
Berbeda dengan orang dewasa, diagnosis banding penyebab hipoglikemia pada bayi dan anak-anak umumnya merupakan suatu defek pada satu atau lebih mekanisme pertahanan terhadap penurunan glukosa darah akibat puasa. Kunci keberhasilan mendeteksi penyebab hipoglikemia pada populasi khusus ini terletak pada anamnesis tajam tentang durasi toleransi puasa dan pola hasil pemeriksaan laboratorium kritis pada sistem mekanisme pertahanan melawan hipoglikemia.
Defek glikogenolisis biasanya ditandai oleh kenaikan kadar keton dan asidosis metabolik. Gangguan glukoneogenesis sangat mungkin disertai peningkatan kadar asam lemak bebas, kadar keton, kadar laktat, dan asidosis metabolik. Kelainan oksidasi asam lemak berkaitan dengan peningkatan asam lemak bebas serta hipoglikemia hipoketotik non asidosis. Kemudian, defisiensi hormon pertumbuhan dan kortisol berhubungan dengan kadar hormon pertumbuhan dan kortisol yang rendah pada saat hipoglikemia. [2]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang awal yang dilakukan untuk menegakkan trias Whipple pada diagnosis hipoglikemia adalah kadar glukosa darah.
Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa darah ≤ 70 mg/dL merupakan suatu nilai waspada hipoglikemia sebagaimana direkomendasikan menurut klasifikasi hipoglikemia oleh International Hypoglycemia Study Group (IHSG). Ini merupakan ambang batas perlunya pemberian karbohidrat kerja cepat dan penyesuaian dosis terapi penurun glukosa darah pada pasien dengan DM. Kemudian, kadar glukosa darah < 54 mg/dL menggambarkan suatu hipoglikemia yang bermakna secara klinis. Apabila hipoglikemia disertai dengan suatu gangguan kognitif berat yang memerlukan bantuan orang lain untuk pemulihan gejala, maka ini dikenal dengan sebutan hipoglikemia berat. [1]
Tabel 2. Derajat Hipoglikemia Berdasarkan Kadar Glukosa Darah
Derajat Hipoglikemia | Kriteria kadar glukosa darah | Deskripsi |
Ambang waspada hipoglikemia | ≤ 70 mg/dL | Nilai ambang cukup rendah untuk memulai pemberian karbohidrat kerja cepat dan penyesuaian dosis terapi penurun glukosa |
Hipoglikemia klinis signifikan | < 54 mg/dL | Nilai ambang cukup rendah untuk mengindikasikan suatu hipoglikemia serius |
Hipoglikemia berat | Tidak ada ambang batas khusus | Hipoglikemia yang berkaitan dengan gangguan kognitif berat yang memerlukan pertolongan orang lain untuk pemulihan |
Periode terbaik melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah adalah ketika gejala hipoglikemia mulai muncul pada pasien. Apabila kadar glukosa darah normal, maka peluang gejala yang bermanifestasi pada pasien disebabkan oleh hipoglikemia sangat kecil. Jika kadar glukosa darah rendah dan gejala membaik ketika kadar glukosa meningkat pasca pemberian tata laksana, hal tersebut mengkonfirmasi hipoglikemia sebagai penyebab gejala yang ada. Namun, jika penyebab hipoglikemia masih belum jelas, pemeriksaan penunjang lainnya seperti kadar insulin plasma, peptida C, proinsulin, dan kadar beta hidroksibutirat perlu dipertimbangkan. Ini terutama disarankan pada individu hipoglikemik tanpa disertai penyakit penyerta dan komorbiditas serta faktor risiko hipoglikemia sebelumnya.
Pada individu tanpa riwayat DM, simulasi kondisi puasa untuk memicu hipoglikemia simptomatik mungkin dapat dipertimbangkan guna menemukan penyebab dasar hipoglikemia. Puasa dapat dilakukan dalam bentuk puasa hingga 72 jam maupun puasa setelah makan. Munculnya gejala yang sesuai untuk hipoglikemia pada kadar glukosa darah < 55 mg/dL, kadar insulin minimal 3.0 µU/mL, kadar peptida C minimal 0,6 ng/mL, dan pro-insulin minimal 5,0 pmol/L menunjukkan adanya suatu hiperinsulinisme endogen. Namun, jika kadar beta hidroksibutirat < 2,7 mmol/L dan kadar glukosa darah meningkat setidaknya 25 mg/dL pasca suntikan glukagon intravena, sangat mungkin bahwa hipoglikemia yang terjadi dipicu oleh insulin (atau IGF). [3]