Patofisiologi Hipoglikemia
Secara umum, patofisiologi hipoglikemia berpusat pada kegagalan satu atau lebih respons homeostasis (Gambar 1) terhadap penurunan kadar gula darah.
Respons Neurohumoral terhadap Hipoglikemia
Ketika hipoglikemia terjadi, respons awal untuk melawan kondisi tersebut adalah penurunan sekresi insulin dari pankreas. Lalu, produksi glukagon oleh pankreas akan meningkat. Penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukagon akan terdeteksi oleh hati dan direspons dengan peningkatan glikogenolisis serta glukoneogenesis. Selanjutnya, epinefrin akan dihasilkan semakin banyak oleh kelenjar adrenal dan menimbulkan berbagai efek terhadap sel otot, lemak, dan ginjal untuk menurunkan pengeluaran glukosa dari tubuh. [6]
Apabila defisiensi glukagon terjadi, maka respons epinefrin akan meningkat. [7] Kelenjar adrenal dan sistem saraf perifer yang mendeteksi hipoglikemia akan memicu respons otonom yang diperantarai neurotransmiter seperti asetilkolin dan norepinefrin. Asetilkolin merangsang rasa lapar dan diaforesis, sedangkan norepinefrin akan memicu tremor dan palpitasi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai respons penyelamatan pada hipoglikemia yang juga merupakan tanda klinis hipoglikemia yang paling mudah dikenali. [8]
Selain itu, hormon pertumbuhan dan kortisol juga dapat membantu dalam meningkatkan pembentukan glukosa melalui peningkatan glukoneogenesis. Keduanya juga dapat menghambat ambilan glukosa di perifer yang dirangsang oleh insulin serta meningkatkan lipolisis dan proteolisis. Namun, efek metabolik akut hormon pertumbuhan dan kortisol terhadap hipoglikemia masih lebih lemah dibandingkan efek epinefrin dan memerlukan proses hipoglikemia yang lama (3-5 jam) sebelum efek tersebut muncul. [9]

Gangguan Respons Kontraregulatorik pada Hipoglikemia
Hipoglikemia timbul jika terjadi gangguan pada respons normal yang sudah disebutkan di atas.
Kegagalan Otonom Imbas Hipoglikemia (Hypoglycemia-Associated Autonomic Failure/HAAF)
Pada beberapa penyakit, gangguan respons kontraregulatorik terhadap hipoglikemia menjadi dasar kejadian hipoglikemia simptomatik yang tidak mampu dilawan mekanisme pertahanan tubuh. Sebagai contoh, pada pasien dengan diabetes melitus tipe 1 (T1DM) dan tipe 2 (T2DM) kronik terdapat defisiensi insulin kritis sehingga pertahanan pertama terhadap hipoglikemia telah hilang. Seiring perjalanan penyakit DM yang bertambah berat, kemampuan pelepasan glukagon dalam merespons hipoglikemia juga menurun. Beberapa teori yang diduga mendasari hilangnya kedua respons primer terhadap hipoglikemia ini antara lain kegagalan mekanisme deaktivasi sel beta pankreas, disfungsi sistem saraf otonom, dan defek pada jaras persinyalan di sel alfa pankreas. Sebagai akibatnya, hanya sistem saraf simpatik dan simpatoadrenal saja yang berfungsi dalam melawan efek hipoglikemia pada pasien T1DM dan T2DM kronik. [6]
Bukti ilmiah mengungkap bahwa respons epinefrin terhadap hipoglikemia juga menurun pada pasien dengan T1DM. Defisiensi epinefrin tersebut diduga berkaitan dengan riwayat hipoglikemia sebelumnya (hipoglikemia anteseden). Hipoglikemia anteseden ini terbukti menurunkan epinefrin secara akut hingga 30-50%, polipeptida pankreas, dan aktivitas saraf simpatik di otot pada orang sehat maupun penderita T1DM dan T2DM. [6,10] Efek penumpulan yang dipicu oleh hipoglikemia anteseden terhadap mekanisme kontraregulatorik dikenal dengan istilah kegagalan otonom imbas hipoglikemia (hypoglycemia-associated autonomic failure/HAAF).
HAAF dipengaruhi oleh penurunan respons neuroendokrin-saraf otonom dan perubahan ambang glikemik yang mengaktifkan pertahanan fisiologis terhadap penurunan kadar glukosa darah. Pada individu normal, batas glukosa plasma yang memicu gejala hipoglikemia dan aktivasi saraf otonom adalah 50-80 mg/dL. Namun, pada individu dengan hiperglikemia kronik, gejala hipoglikemia dapat muncul bahkan pada kadar glukosa darah 90-140 mg/dL (hipoglikemia relatif). Sebaliknya, pada individu dengan pengendalian glukosa plasma intensif namun memiliki riwayat hipoglikemia berulang, ambang batas timbulnya gejala hipoglikemia menjadi menurun. Akibatnya, pasien belum menunjukkan gejala hingga kadar glukosa darah menjadi sangat rendah (<50 mg/dL). [6,8,10]
Mekanisme Seluler dan Molekuler HAAF
Beberapa kemungkinan mekanisme seluler dan molekuler yang memicu kejadian HAAF telah dipelajari. Penelitian Boyle et al mengindikasikan bahwa hipoglikemia berulang meningkatkan ambilan glukosa di otak pada individu sehat maupun dengan T1DM sehingga menurunkan rangsangan terhadap respon neuroendokrin kontraregulatorik pada episode hipoglikemia berikutnya. [11] Namun, kesimpulan tersebut dibantah oleh Fanelli et al yang melaporkan bahwa tidak terdapat bukti adanya peningkatan transpor glukosa dari darah ke otak pasca hipoglikemia anteseden. [12]
Hipotesis lainnya menyebutkan bahwa terdapat peran aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, peningkatan GABA (gamma amino butyric acid), dan perubahan sensor hipotalamus seperti glukokinase dan AMP kinase. Selain itu, uji eksperimental menunjukkan bahwa alkohol dan senyawa opioid dapat menekan respons neuroendokrin dan sistem saraf otonom pada hipoglikemia berikutnya. [13,14]
Efek Tidur dan Latihan Fisik terhadap Hipoglikemia
Tidur dan latihan fisik diketahui dapat menimbulkan manifestasi HAAF. Pada pasien T1DM, respons epinefrin menurun hingga 70% pada hipoglikemia nokturnal. [15] Selain itu, pasien dengan T1DM menjadi lebih sulit untuk bangun dari tidur dibandingkan individu yang sehat ketika mengalami suatu hipoglikemia (glukosa plasma < 40 mg/dL). Dalam penelitian Schultes et al dilaporkan bahwa respons bangun akibat hipoglikemia belum tentu muncul walaupun respons epinefrin masih baik, sehingga perlu dipikirkan adanya mekanisme persarafan lainnya yang terlibat dalam respons bangun akibat hipoglikemia ini. [16]
Selain itu, hipoglikemia juga dapat terjadi selama dan setelah latihan fisik. Bukti ilmiah terbaru mengindikasikan adanya hubungan siklik antara latihan dan hipoglikemia yang saling menumpulkan respons saraf otonom terhadap stres. [17] Dengan kata lain, latihan fisik dapat menumpulkan respons saraf otonom pada kondisi hipoglikemia, dan sebaliknya. Fenomena ini dapat berlangsung sejak beberapa jam pasca olahraga dan bertahan hingga 24 jam setelahnya. [18]