Cegah Hipoglikemia pada Diabetes Mellitus Tipe 2

Oleh :
dr. Nathania S. Sutisna

Hipoglikemia adalah salah satu komplikasi akut pada diabetes mellitus tipe 2 (DMT2). Pencegahan hipoglikemia sangat penting untuk memperbaiki prognosis pasien, sehubungan dengan perbaikan kepatuhan karena terapi medis.

Sebuah tinjauan sistematis dan metaanalisis pada tahun 2015 mendapatkan prevalensi hipoglikemia ringan hingga sedang dan hipoglikemia berat adalah 45% dan 6%, secara berurutan. Hipoglikemia paling banyak terjadi pada pasien yang menerima terapi dengan insulin, tetapi juga ditemukan pada pasien dengan terapi lainnya, salah satunya sulfonilurea, seperti glibenclamide atau glimepiride.[1]

blood glucose

Hipoglikemia iatrogenik merupakan efek samping pengobatan yang paling banyak membutuhkan penanganan gawat darurat, dan rawat inap. Hipoglikemia yang tidak ditangani dengan baik berisiko menyebabkan komplikasi neurologis yang berbahaya, seperti kejang, kerusakan otak, dan kematian.[2,3]

Sekilas Mengenai Hipoglikemia

American Diabetes Association (ADA) tahun 2021 mendefinisikan hipoglikemia berdasarkan konsentrasi gula darah. Hipoglikemia level 1 adalah konsentrasi gula darah 54–70 mg/dL. Hipoglikemia level 2 adalah konsentrasi gula darah <54 mg/dL. Hipoglikemia level 3 ditandai dengan perubahan status mental atau fungsi fisik, sehingga membutuhkan bantuan orang lain untuk pemulihan.[4]

Faktor risiko hipoglikemia yang paling utama pada diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) adalah riwayat hipoglikemia terdahulu. Pada pasien yang mengalami episode hipoglikemia berulang, dapat terjadi gangguan respon simpatoadrenal yang menyebabkan tubuh pasien tidak menyadari gejala hipoglikemia (hypoglycemia unawareness). Keadaan ini dikenal juga sebagai hypoglycemia-associated autonomic failure (HAAF).[5,6]

Hal tersebut menyebabkan pasien mengalami hipoglikemia berkali-kali, dan merubah ambang batas glikemik menjadi lebih rendah, mendekati nilai yang dapat menyebabkan gangguan kognitif. Pada pasien dengan HAAF, gejala hipoglikemia menjadi tidak jelas, seperti berkurangnya keringat, tidak ada palpitasi, dan tidak ada tremor.[5,6]

Hipoglikemia juga dapat berhubungan dengan hiperinsulinemia terkait terapi diabetes. Beberapa hal yang dapat menyebabkan hiperinsulinemia terkait terapi diabetes, antara lain pemakaian insulin, sulfonilurea, atau glinide, dengan dosis atau waktu yang tidak tepat. Kekurangan glukosa endogen, misalnya akibat diet terlalu rendah karbohidrat, puasa panjang, atau setelah konsumsi alkohol juga dapat menyebabkan hiperinsulinemia.[4,5]

Selain itu beberapa hal lain yang dapat berkontribusi terhadap hiperinsulinemia terkait terapi diabetes, antara lain peningkatan konsumsi glukosa akibat berolahraga, peningkatan sensitivitas insulin karena penurunan berat badan, serta berkurangnya ekskresi insulin pada keadaan  gagal ginjal, gagal hati, dan hipotiroidisme.[6,7]

Penurunan glukosa darah secara intensif, yaitu dengan target HbA1c < 6,5%, dibandingkan dengan penurunan standar, juga diketahui meningkatkan risiko hipoglikemia.[8]

Cara Pencegahan Hipoglikemia

Beberapa cara untuk mencegah hipoglikemia, antara lain menentukan target glukosa individualis, pengaturan pola makan, misalnya makan cemilan sebelum tidur agar menghindari hipoglikemia pada tidur malam hari, manajemen olahraga, pengaturan obat-obatan, pemantauan glukosa, kontrol rutin ke dokter, dan edukasi pasien.

Edukasi pasien meliputi mengajarkan pasien mengenai berbagai situasi yang meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia, seperti saat berpuasa sebelum menjalani prosedur medis tertentu, menunda makan, saat atau setelah konsumsi alkohol, saat atau setelah olahraga intensitas berat, dan saat tidur.

Self monitoring blood glucose (SMBG) atau continuous glucose monitors (CGM) juga dapat dilakukan untuk deteksi cepat hipoglikemia, dan menilai keberhasilan terapi. Jika kadar gula darah kurang dari 70 mg/dL, pasien perlu diberitahu untuk segera mengonsumi makanan yang mengandung glukosa atau karbohidrat.

Respon glikemik akan lebih baik terhadap glukosa, dibanding karbohidrat. Lemak dapat memperlambat respon glikemik, sedangkan protein dapat meningkatkan respon insulin tanpa meningkatkan konsentrasi glukosa plasma.

Pencegahan lainnya adalah dengan deeskalasi glucose-lowering therapy, menyederhanakan regimen pengobatan, dan penggunaan obat-obatan dengan risiko hipoglikemia yang lebih rendah. Hal-hal ini diharapkan dapat mengurangi kejadian hipoglikemia, menurunkan polifarmasi dan beban pengobatan, serta meningkatkan kualitas hidup pasien.[4,6,9]

Kesimpulan

Hipoglikemia adalah komplikasi akut yang dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) terutama akibat terapi insulin. Hipoglikemia merupakan penghalang utama dalam memaksimalkan terapi antihiperglikemia.

Cara pencegahan hipoglikemia, antara lain edukasi pasien dan keluarga atau caregiver, self monitoring blood glucose (SMBG), penggunaan obat-obatan antihiperglikemia, baik insulin maupun obat oral, secara fleksibel dan tepat, penetapan target glikemik individual, dan identifikasi faktor risiko hipoglikemia. Dukungan dan bimbingan profesional, serta edukasi agar pasien kontrol rutin ke tenaga kesehatan, juga perlu diberikan.

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi