Penatalaksanaan Psoriasis
Penatalaksanaan psoriasis harus ditujukan untuk tujuan jangka panjang karena penyakit ini adalah penyakit kronis. [14] Secara garis besar, penatalaksanaan psoriasis dapat dibagi menjadi 4 yaitu pengobatan topikal, pengobatan sistemik, fototerapi, dan agen biologi. Terdapat beberapa terapi tambahan yang bisa digunakan, seperti pengurangan stress, klimatoterapi, moisturizer, asam salisilat, dan keratolitik lainnya seperti urea. [4,17]
Pada tahun 2013, beberapa pakar dermatologis dari seluruh dunia berkumpul dan menghasilkan sebuah konsensus tentang tatalaksana psoriasis dengan intisari sebagai berikut:
- Methotrexate (MTX) dapat digunakan selama efektif dan ditoleransi dengan baik
- Siklosporin secara umum digunakan secara berselang dengan periode singkat untuk menginduksi respon klinis selama 3-6 bulan
- Transisi dari terapi sistemik konvensional ke agen biologi dapat dilakukan langsung atau secara bersamaan jika transisi diperlukan karena efikasi yang kurang, atau dengan interval bebas terapi jika transisi diperlukan untuk alasan keamanan
- Terapi berkelanjutan direkomendasikan untuk pasien yang mendapatkan agen biologi [4]
Terapi Topikal
Terapi topikal pada psoriasis memiliki efikasi dan keamanan yang tinggi untuk pasien psoriasis dengan tingkat keparahan ringan sampai sedang, namun juga dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan psoriasis yang lebih luas dan berat yang sedang menjalani pengobatan baik dengan agen sistemik atau dengan fototerapi.
Penggunaan agen topikal tidak dianjurkan sebagai monoterapi pada kasus psoriasis luas dan berat, dan sulit untuk diatasi. Agen topikal dapat digunakan baik untuk jangka pendek maupun panjang. Namun, untuk mengurangi efek samping, agen topikal dengan potensi yang kuat dapat digunakan untuk jangka pendek terlebih dahulu, setelah itu pemakaian dapat dilanjutkan dengan cara berselang seling atau sebentar-sebentar untuk terapi jangka panjang. Sedangkan untuk agen topikal dengan potensi yang rendah, dapat digunakan secara berkelanjutan.
Kombinasi dari beberapa agen topikal direkomendasikan dalam pengobatan psoriasis. Kombinasi steroid topikal dan asam salisilat memberikan hasil yang baik dikarenakan kemampuan asam salisilat untuk meningkatkan efikasi kerja steroid dengan meningkatkan penetrasi. Untuk mencegah toksisitas steroid ketika dikombinasikan dengan asam salisilat, maka direkomendasikan untuk menggunakan steroid topikal dengan potensi medium (kelas 3-4).
Kombinasi steroid topikal dengan analog vitamin D menunjukkan efikasi yang lebih baik dibandingkan monoterapi dari masing-masing agen. Sementara itu, kombinasi tazaroten dengan steroid topikal dinilai bermanfaat karena efek tazaroten yang berpotensi menimbulkan iritasi, dan efikasi kombinasi keduanya juga dinilai lebih baik daripada penggunaan tazaroten saja. Selain itu, keuntungan lainnya dari kombinasi ini adalah meningkatkan durasi dan manfaat pengobatan serta panjang masa remisi, serta dapat mengurangi efek samping atropi yang disebabkan oleh steroid.
Kombinasi tacrolimus (0.1% salep) dan asam salisilat (6%) menunjukkan efikasi yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan tunggal dari takrolimus pada sebuah penelitian terhadap 24 pasien psoriasis dengan keterlibatan permukaan kulit yang terkena <10%. [17]
Dosis steroid topikal yang dapat digunakan pada psoriasis adalah steroid potensi tinggi, seperti bethametasone 0.05-0.1%, digunakan 2 kali sehari selama 2-4 minggu, kemudian diturunkan menjadi penggunaan berselang. Sedangkan untuk analog vitamin D dapat digunakan calcipotrien 0.005% 2 kali sehari digunakan berselang dengan steroid topikal. Dan untuk Tazaroten 0.05% atau 0.1% dapat digunakan setiap hari pada area yang terkena. Sedangkan untuk calcineurin inhibitordapat digunakan 2 kali perhari pada area yang terkena.
Steroid topikal bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor glukokortikoid, sehingga menghambat trankripsi dari berbagai activating protein-1 (AP-1) dan nuclear factor κB (NF-κB) gen dependen, termasuk interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor α (TNF- α). Obat ini sangat efektif untuk terapi jangka pendek, namun harus diperhatikan bahwa obat ini dapat menimbulkan supresi pada axis hipotalamus-pituitari-adrenal (dengan risiko lebih tinggi pada anak), atropi epidermis dan dermis, pembentukan striae, serta takifilaksis.
Analog Vitamin D bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor vitamin D, memengaruhi ekspresi berbagai gen, dan membantu diferensiasi keratinosit. Efikasi obat ini meningkat pada penggunaan secara kombinasi dengan steroid topikal, namun harus diperhatikan adanya risiko iritasi pada area pemakaian dan hiperkalsemia pada pasien dengan jumlah pemakaian berlebih.
Asam tazarotene sebagai metabolit aktif berikatan dengan reseptor asam retinoik, menormalisasi diferensiasi epidermal, memiliki efek antiproliferatid yang poten, dan mengurangi proliferasi epidermal. Efikasi obat ini meningkat dengan penggunaan bersama steroid topikal. Namun pada penggunaan sebagai monoterapi, pernah dilaporkan timbulnya iritasi pada area pemakaian.
Calcineurin inhibitor bekerja dengan cara berikatan dengan FK506-Binding –Protein (FKBP) dan menghambat calcineurin, sehingga menurunkan aktivitas faktor transkripsi nuclear factor of activated T cells (NF-AT) dengan hasil penurunan transkripsi sitokin, termasuk IL-2. Obat ini efektif sebagai terapi psoriasis fleksural dan fasial, dan memiliki efek minimal untuk psoriasis plak kronis. [3]
Terapi Sistemik
Dahulu, agen sistemik konvensional untuk terapi sistemik psoriasis seperti Methotrexate (MTX), cyclosporine A (CSA), dan acitretin digunakan pada psoriasis yang luas dan sulit diatasi dengan terapi topikal. Seiring dengan perkembangan berbagai penelitian, agen biologi telah menggantikan posisi sebagai terapi psoriasis dengan menawarkan efek terapi dengan potensi toksik yang lebih sedikit terhadap hepar, ginjal, sumsum tulang, dan juga tidak bersifat teratogenik
Terapi sistemik tetap memiliki peranan penting pada pengobatan psoriasis untuk pasien tertentu dikarenakan rute administrasi oral yang mudah dan biaya yang lebih murah jika dibandingkan dengan agen biologi. MTX merupakan agen yang paling umum digunakan sebagai terapi sistemik konvensional untuk psoriasis, dimana MTX dapat memberikan efek yang dramatis bahkan pada kasus psoriasis berat sekalipun. MTX saat ini digunakan di dalam kombinasi dengan semua agen biologi yang telah disetujui penggunaannya untuk psoriasis, dimana efek yang sangat baik muncul dengan kombinasi terhadap penghambat TNF
CSA merupakan salah satu pilihan untuk pengobatan psoriasis yang efektif, namun pada penggunaan jangka panjang (3-5 tahun) terdapat beberapa pasien yang kemudian menderita glomerulosklerosis dalam jumlah yang signifikan. Oleh karena itu, panduan dari Amerika Serikat membatasi penggunaannya hanya selama 1 tahun, dan di Inggris selama 2 tahun.
MTX bekerja dengan cara memblokade dihydrofolate reductase sehingga menghambat pembentukan purin dan pyrimidine, memblokade 5-Aminoimidazole-4-carboxamide ribonucleotide (AICAR) transformylase, dan menyebabkan akumulasi antiinflamasi adenosin. Penggunaan dapat dimulai dengan dosis percobaan 2.5mg dan ditingkatkan bertahap sampai level terapetik tercapai (rentang rata-rata 10-15mg perminggu, maksimal 25-30mg/minggu).
CSA bekerja dengan cara berikatan dengan cylophilin yang akan memblokade calcineurin, sehingga mengurangi efek nuclear factor of activated T cells (NF-AT) pada sel T, sehingga menghambat IL-2 dan sitokin lain. Pendekatan dosis dapat dilakukan dengan 2 cara. Pada pendekatan dosis tinggi CSA dimulai dengan dosis 5mg/kg/hari lalu diturunkan perlahan. Sedangkan pendekatan lain yang bisa digunakan adalah dengan dosis 2.5mg/kg/hari yang dinaikkan setiap 2-4 minggu sampai mencapai dosis 5mg/kg/hari. Kemudian, pada kedua pendekatan ini, penghentian obat dilakukan dengan menurunkan dosis perlahan.
Acitretin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor asam retinoik, sehingga membantu perbaikan dengan menormalisasi keratinisasi dan proliferasi epidermis. Dosis pengobatan adalah 25-50 mg/hari dengan dosis ditingkatkan secara titrasi sesuai respon pengobatan. Obat ini efektif sebagai monoterapi, namun harus diperhatikan risiko hepatotoksisitas, kematian atau abnormalitas janin, abnormalitas lipid, alopesia, toksisitas mukokutaneus, dan hiperostosis. [3]
Fototerapi
Pasien yang akan mendapat fototerapi harus dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan mendetail sebelumnya, karena fototerapi dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker. Pasien dengan riwayat lupus eritematosus atau xeroderma pigmentosum tidak boleh diterapi dengan fototerapi. Pasien dengan riwayat kelainan fotosensitivitas, sedang dalam pengobatan fotosensitisasi, riwayat melanoma, nevus atipikal, faktor risiko multipel untuk melanoma, sedang mengalami kanker kulit nonmelanoma, atau penderita supresi imun dikarenakan transplantasi organ harus diskrining secara hati-hati sebelum memulai fototerapi.
Penatalaksanaan psoriasis dengan fototerapi memerlukan kunjungan rutin atau follow-up untuk mendapatkan hasil maksimal. Pasien dengan fototerapi direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan setidaknya satu bulan sekali atau lebih sering jika diperlukan.
Pada fototerapi menggunakan Narrowband UVB (NB-UVB; 310-331nm), pengaturan dosis bisa berdasarkan tipe kulit dari Fitzpatrick atau minimal erythema dose (MED). Setelah menentukan MED, terapi inisial diberikan pada kondisi 50% MED diikuti dengan 3-5 kali terapi setiap minggu. Pada terapi ke 1-20, dosis dinaikkan dari inisial MED, kemudian pada terapi ≥21, kenaikan diberikan berdasarkan permintaan dokter. Sedangkan untuk terapi pemeliharaan setelah pembersihan >95%, cukup dilakukan 1 kali per minggu selama 4 minggu. Kemudian dosis dipertahankan sebanyak 1 kali per 2 minggu selama 2 minggu, lalu dikurangi sampai 25% 1 kali per 4 minggu.
Pada terapi menggunakan broadband UV B, pemberian dosis juga dilakukan berdasarkan tipe kulit Fitzpatrick, dimana terapi inisial dilakukan pada keadaan 50% dari MED diikuti dengan 3-5 terapi per minggu, kemudian pada terapi ke 1-10 kenaikan dosis 25% dari dosis MED inisial, dan pada terapi 11-20 kenaikan dosis 10% dari MED inisial, lalu pada terapi ≥21 kenaikan diberikan berdasarkan permintaan dokter.
Fototerapi juga dapat diberikan menggunakan psoralen dan UV A (PUVA) dengan dosis berdasarkan minimal phototoxic dose (MPD), namun jika MPD sulit dilakukan maka dosis diberikan berdasarkan tipe kulit. Dosis inisial diberikan 0.5-2.0 J/cm2 dilakukan 2 kali per minggu dengan kenaikan 40% tiap minggu hingga eritema, selanjutnya kenaikan maksimum 20% per minggu dengan dosis maksimal 15J/ cm2.
Agen Biologi
Terapi biologi terbagi menjadi dua kelompok utama, yaitu bahan dengan target sel T (Alefacept dan Efalizumab) dan penghambat TNF (Etanercept, Infliximab, dan Adalimumab).
Sebelum memulai terapi dengan agen biologi, pasien harus dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium secara mendetail dan menyeluruh. Hal tersebut dilakukan untuk mendeteksi dan mewaspadai adanya kondisi yang mendasari ataupun faktor risiko pada pasien tersebut. Pasien yang mendapat terapi agen biologi akan memiliki kemungkinan untuk diterapi juga dengan agen biologi lainnya atau dengan terapi sistemik sehingga pemeriksaan laboratorium bisa bermanfaat.
Pemeriksaan lab yang dilakukan sebagai bentuk monitor adalah pemeriksaan lengkap sel darah termasuk trombosit, pemeriksaan fungsi hati, dan pemeriksaan TB. Pemeriksaan dilakukan pada awal atau sebelum terapi dan setelahnya dengan frekuensi yang bervariasi.
Data tentang keamanan agen biologi pada kehamilan masih sedikit, namun, 4 dari 5 agen biologi masuk ke dalam kategori B terhadap kehamilan, sedangkan efalizumab masuk ke dalam kategori C. Berbagai penelitian tentang agen biologi memiliki subjek berusia 18 tahun atau lebih, sehingga penggunaan agen biologi pada usia di bawah 18 tahun masih belum banyak diketahui efek dan efikasinya. Selain itu, terapi dengan agen biologi dikontraindikasikan pada pasien dengan infeksi aktif dan serius.
Agen biologi menargetkan sistem imun sehingga diperlukan perhatian khusus untuk mencegah terjadinya infeksi, termasuk vaksinasi. Ketika terapi dengan agen biologi sudah dimulai, pasien disarankan untuk tidak melakukan vaksinasi dengan vaksin hidup ataupun vaksin hidup yang dilemahkan.
Alefacept diindikasikan pada psoriasis sedang hingga berat. Dosis terapetik adalah 7.5 mg per minggu secara IV, atau 15 mg per minggu secara IM, selama 12 minggu. Kemudian dilakukan follow up selama 12 minggu pada periode non-terapi. Selama pemberian, nilai CD4 dimonitor setiap 2 minggu sekali dan dosis ditahan apabila jumlah CD4 <250.
Efalizumab diindikasikan pada psoriasis sedang hingga berat dengan dosis awal 0.7mg/kg diikuti 1mg/kg/minggu subkutan. Nilai hitung sel darah dan fungsi hati dimonitor setiap minggu pada 3 bulan pertama, kemudia dilakukan secara berkala.
Tatalaksana agen biologi pada psoriasis lainnya adalah menggunakan agen anti-TNF seperti Etanercept, Infliximab, dan Adalimumab. Agen anti-TNF dikontraindikasikan pada pasien dengan infeksi aktif dan serius. Sebelum terapi dimulai, pemeriksaan tuberculosis harus dilakukan karena terdapat laporan reaktivasi dari TB saat sedang menjalani pengobatan dengan agen biologi ini. Penghambat TNF juga tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit demyelinasi (contoh: Multiple Sclerosis/MS), dan pada pasien dengan riwayat keluarga tingkat pertama yang memiliki MS.
Penggunaan agen anti-TNF juga harus hati-hati pada pasien dengan CHF karena adanya laporan onset baru atau perburukan dari CHF pada pasien yang mendapat terapi ini. Pada pasien dengan NYHA III-1V dan fraksi ejeksi <50%, penggunaan penghambat TNF harus dihindari. Selain itu juga terdapat laporan reaktivasi hepatitis B pada pemakaian penghambat TNF sehingga perlu dilakukan skrining dan monitoring terhadap infeksi hepatitis B.
Infliximimad diindikasikan pada psoriasis plak kronik dan artritis psoriatik aktif, dengan dosis 5mg/kg intravena yang diberikan di minggu ke-0, 2, dan 6, kemudian selanjutnya diberikan setiap 8 minggu.
Etanercept diindikasikan pada psoriasis plak kronis derajat sedang hingga berat usia >18tahun yang akan diberikan terapi sistemik atau fototerapi. Dosis inisial 50 mg subkutan 2 kali per minggu selama 3 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 50 mg subkutan 1 kali seminggu.
Adalimumab diindikasikan pada psoriasis plak kronis derajat sedang hingga berat yang akan diberikan terapi sistemik atau fototerapi. Dosis inisial 80 mg subkutan sebanyak satu kali, kemudian setelah 1 minggu diberikan 40 mg subkutan setiap 2 minggu. [3]