Diagnosis Sindroma Stevens Johnson
Diagnosis Steven Johnson Syndrome (Sindroma Stevens Johnson/SSJ) ditegakkan berdasarkan anamnesis dan penemuan klinis pada pemeriksaan fisik, berupa riwayat penggunaan obat secara sistemik dan adanya lesi kulit dengan atau tanpa tanda Nikolsky, kelainan mukosa oral, dan kelainan mata. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan, namun bukan merupakan modalitas utama untuk menegakkan diagnosis. [1-3, 8,10]
Anamnesis
Anamnesis merupakan komponen yang penting dalam diagnosis SSJ. Pasien SSJ umumnya memiliki riwayat penggunaan obat secara sistemik. Perlu dicatat mengenai jumlah dan jenis obat yang dikonsumsi, dosis obat, cara pemberian, dan lama pemberian obat. Gejala yang dapat timbul antara lain adalah:
Gejala Prodromal
- Demam
- Batuk berdahak
- Menggigil
- Sakit kepala
- Malaise
- Mual muntah
- Diare
- Rinitis
- Nyeri sendi
Kelainan Mukosa Oral
Kelainan mukosa oral, berupa:
- Odinofagia
- Nyeri tenggorokan
- Lesi oral dan/atau perioral
- Tidak bisa minum ataupun makan
Kelainan Mata
Kelainan mata, berupa:
- Konjungtivitis
- Mata berair
- Mata kering
- Mata merah
- Blefarospasmus
- Fotofobia
- Diplopia
- Penurunan visus
- Nyeri atau rasa terbakar
- Gatal
- Rasa mengganjal
- Madarosis
Kelainan Kulit
Kelainan kulit, berupa:
- Nyeri
- Tidak gatal
- Lesi kulit muncul beberapa waktu atau segera setelah pemakaian obat
Kelainan Anogenital
Kelainan anogenital, berupa:
- Striktur
- Sinekia [1-3, 8,10]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan terutama untuk menilai luas permukaan tubuh yang terlibat, sehingga dapat membedakan antara SSJ, SSJ-NET, atau NET. Luas permukaan tubuh yang terlibat adalah < 10%. Manifestasi yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah:
Kulit
- Eritema
- Makula
- Purpura
- Vesikel atau bula yang mudah meluruh
- Papul
- Lesi target
- Epidermolisis
- Krusta kehitaman
- Erosi
- Ekskoriasi
- Tanda Nikolsky: dapat positif ataupun negatif
Mata
- Visus menurun
- Sinekia
- Ulkus kornea
- Uveitis anterior
- Madarosis [1, 3, 8]
Perjalanan Klinis
Gejala SSJ pada sepertiga kasus dimulai dengan gejala prodromal tidak spesifik, sepertiga kasus lainnya dimulai dengan kelainan membran mukosa, dan sepertiga kasus lainnya dimulai dengan eksantema. Gejala prodromal dapat berlangsung dengan durasi 1 hingga 14 hari jika ditemukan. Lesi kulit umumnya muncul pada 1 hingga 3 hari setelah gejala prodromal. Setelah lesi kulit muncul, pasien akan mengalami progresi gejala berupa gangguan oral dan mata. Keluhan pada paru, ginjal, dan sistem pencernaan juga dapat ditemukan.[1-3, 8-10]
Lesi oral, kulit, dan mata muncul pada 80-90% kasus SSJ. Lesi awal yang muncul adalah makula eritema atau lesi target atipikal tanpa indurasi. Lesi muncul secara simetris dan pada wajah, batang tubuh atas, bagian proksimal dari ekstremitas, dan dapat menyebar secara generalisata dalam waktu beberapa jam hingga beberapa hari. Lesi SSJ umumnya tidak mengenai bagian distal dari ekstremitas. Progresi lesi pada mata dan anogenital harus diperhatikan dan tidak boleh terlewatkan karena dapat menyebabkan sinekia ataupun striktur.[8,10]
Lesi yang muncul kemudian akan berprogesi menjadi bula ataupun vesikel-vesikel yang dapat meluruh dengan mudah, sehingga menunjukkan dermis berwarna kemerahan. Fase ini berlangsung selama 5 hingga 7 hari. Pasien kemudian akan memasuki fase plateau yang diikuti dengan reepitelisasi, fase ini dapat berlangsung selama beberapa hari atau beberapa minggu tergantung dari kondisi pasien.[8,10]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang harus dipikirkan dan disingkirkan pada kasus SSJ adalah:
- Nekrolisis epidermal toksik
- Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS)
-
Sindroma reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik / drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) syndrome
- Eritroderma
- Eritma multiforme
- Skleroderma
- Pempigoid paraneoplastik
- Pempigoid bulosa
-
Pustulosis eksantematik generalisata akut / acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP)
- Trauma kimia
- Sindroma Sjorgen
-
Sindroma syok toksik / toxic shock syndrome (TSS) [1,4]
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosis SSJ selain dengan biopsi. Ciri khas pemeriksaan histopatologi SSJ pada fase awal adalah nekrosis keratinosit pada lapisan suprabasal, gambaran bula subepidermis pada zona membran basal, dan dapat ditemukan juga infiltrat limfosit atau eosinofil pada lapisan dermis bagian atas.
Pada perkembangan klinis SSJ yang sudah selesai, hasil biopsi ditemukan lepasnya seluruh lapisan epidermis (full thickness epidermal detachment) dengan membran basalis terpisah, infiltrat inflamasi minimal, dan imunofluoresens normal. Hasil pemeriksaan histopatologis dapat berbeda tergantung dari lokasi dan waktu pengambilan sediaan.[1,9]
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah: (1) analisa gas darah, (2) pemeriksaan darah lengkap, (3) fungsi hati, (4) fungsi ginjal, (5) serum bikarbonat, (6) elektrolit, dan (7) gula darah. Pemeriksaan-pemeriksaan ini umumnya dilakukan untuk menentukan komplikasi dan prognosis pasien.[1,3,10]
Pemeriksaan lain yang juga dapat dilakukan adalah: faktor nekrosis tumor alfa, reseptor interleukin-2, interleukin-6, serum granulisin, dan protein reaktif C. Hasil pemeriksaan tersebut umumnya ditemukan meningkat pada SSJ, namun sangat jarang dilakukan terutama di Indonesia. Kultur lesi kulit dan arah juga dapat dilakukan untuk menilai infeksi sekunder. Bronkoskopi, gastroskopi, kolonoskopi, dan foto toraks tidak rutin dilakukan tetapi dapat dipertimbangkan jika terindikasi secara klinis.[1,3]