Siklosporin untuk Sindroma Stevens Johnson (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) : Sebuah Modalitas Baru

Oleh :
dr. Novianti Rizky Reza, Sp.KK

Siklosporin diduga bermanfaat dalam tata laksana sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan Toxic epidermal necrolysis (TEN) karena obat imunomodulator ini mampu menghambat aktivasi sel T CD8 yang berperan dalam patofisiologi SSJ dan TEN. [1]

SSJ dan TEN adalah reaksi idiosinkratik berat yang langka, ditandai dengan adanya nekrosis ekstensif dan detasemen epidermis, umumnya dipicu oleh konsumsi obat-obatan. SSJ dilaporkan memiliki angka mortalitas 1-5%, yang akan meningkat menjadi 25-30% pada kasus TEN. Mekanisme terjadinya penyakit ini melibatkan kematian sel keratinosit akibat aktivasi kaspase 8 melalui ikatan Fas-Fas ligan dan aktivasi sel T sitotoksik. Karena adanya keterlibatan sistem imun inilah, obat-obat yang bisa memodulasi sistem imun, seperti siklosporin, diduga akan efektif dalam tata laksana.[1,2]

Siklosporin untuk Sindroma Stevens Johnson (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)-min (1)

Saat ini, penatalaksanaan SSJ dan TEN melibatkan penghentian segera penggunaan obat yang dicurigai memicu gejala, menilai keterlibatan jalan napas, dan terapi suportif.[3,4] Terapi suportif yang bisa dilakukan adalah pemberian nutrisi adekuat, menjaga integritas kulit, mengontrol rasa nyeri, dan mencegah terjadinya infeksi. Selain itu, berbagai studi dan laporan kasus menyatakan manfaat dari terapi tambahan berupa penggunaan agen imunomodulator, seperti steroid sistemik, imunoglobulin intravena, etanercept, infliximab, thalidomide, dan siklosporin.[5]

Hingga kini, penggunaan siklosporin sebagai alternatif terapi SSJ dan TEN masih diperdebatkan. Obat ini memiliki indeks terapeutik yang sempit dan potensi toksisitas. Selain itu, studi terkait efikasi siklosporin dalam SSJ dan TEN masih sangat terbatas karena kejadiannya yang cukup jarang.[6]

Peran Siklosporin pada Sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)

Siklosporin adalah peptida siklik yang terdiri dari 11 asam amino dan diisolasi dari fungi Tolypocladium inflatum. Obat ini diduga berperan dalam tata laksana sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan toxic epidermal necrolysis (TEN) dengan cara mempengaruhi aktivitas sel T CD8 dan menghalangi jalur apoptosis pada kulit sehat.[1,7]

Berbagai laporan kasus telah mengindikasikan efikasi dari siklosporin dalam dosis 3-5 mg/kg/hari dalam mencegah progresi dan meningkatkan reepitelisasi kulit pasien SSJ dan TEN. Walaupun rentang dosis ini adalah yang paling sering digunakan, belum ada konsensus terkait peran dan durasi terbaik siklosporin dalam SSJ dan TEN.[8-10]

Bukti Ilmiah Terkait Efikasi Siklosporin dalam Tata Laksana SSJ dan TEN

Sebuah uji klinis oleh Valeyrie-Allanore et al mencoba mengevaluasi efek siklosporin pada SSJ dan TEN. Studi ini melibatkan 29 pasien, 10 di antaranya didiagnosis SSJ, 12 didiagnosis SSJ/TEN, dan 7 didiagnosis TEN. Pasien diberikan 3 m/kg/hari siklosporin per oral selama 10 hari dan dilakukan tapering dalam 1 bulan. Hasil studi menunjukkan efikasi siklosporin dalam stabilisasi pelepasan epidermis dan tidak didapatkan adanya peningkatan mortalitas. Efek samping yang didapatkan pada studi ini adalah leukoensefalopati posterior, neutropenia, dan pneumopati nosokomial. Selain itu, perlu diingat bahwa studi ini memiliki jumlah sampel yang kecil, tidak dilakukan randomisasi, dan tidak dilakukan penyamaran.[11]

Shah et al melakukan analisis retrospektif pada pasien SSJ dan TEN yang datang ke Massachusetts General Hospital dalam 10 tahun. 13 pasien mendapat siklosporin dan 35 pasien mendapat kortikosteroid. Hasil studi ini menemukan bahwa pasien yang mendapat siklosporin mengalami penghentian kemunculan lesi baru dalam rerata 2,8 hari dari onset dan reepitelisasi total dalam rerata 9,6 hari (dibandingkan 2,2 hari dan 14,1 hari pada kelompok steroid). Median durasi rawat inap juga ditemukan lebih singkat pada pasien yang mendapat siklosporin (11 vs 13,5 hari). Oleh karena itu, Shah et al menyimpulkan bahwa siklosporin berpotensi baik dalam tata laksana SSJ dan TEN walaupun masih perlu dilakukan uji klinis dengan penyamaran, randomisasi, dan jumlah sampel lebih besar.[1]

Sebuah tinjauan sistematik dan meta analisis yang dipublikasikan pada tahun 2017 mencoba menganalisis bukti dari 7 uji observasional terkontrol mengenai manfaat siklosporin dalam tata laksana SSJ dan TEN. Hasil analisis menunjukkan bahwa siklosporin memiliki manfaat dalam menurunkan mortalitas dan meningkatkan kesintasan pada SSJ dan TEN dibandingkan penggunaan imunoglobulin intravena. Namun, peneliti juga menyampaikan bahwa uji klinis dengan randomisasi dan penyamaran masih diperlukan.[12]

Efek Samping Penggunaan Siklosporin pada Sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)

Beberapa studi kasus melaporkan adanya efek samping penggunaan siklosporin pada pasien sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan toxic epidermal necrolysis (TEN) berupa nefrotoksisitas akut. Namun, keluhan dilaporkan membaik seiring dengan penghentian pengobatan. [6] Selain itu, sebuah laporan kasus juga melaporkan adanya leukoensefalopati akut pada pasien wanita 34 tahun dengan TEN yang diobati menggunakan siklosporin. Pada kasus tersebut, penghentian siklosporin dan pemberian terapi untuk leukoensefalopati menunjukkan perbaikan, baik pada lesi kulit maupun nyeri kepala yang menyertai.[13]

Efek samping lainnya dari penggunaan siklosporin pada SSJ dan TEN yang pernah dilaporkan adalah halusinasi yang berhubungan dengan leukoensefalopati posterior reversibel, transitory neutropenia, infeksi, hipertensi, penurunan fungsi ginjal, dan neuropati.[5]

Kesimpulan

Patofisiologi sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan toxic epidermal necrolysis (TEN) melibatkan reaksi imun, umumnya terhadap penggunaan obat-obatan. Oleh karenanya, penggunaan obat imunomodulator seperti siklosporin diduga dapat bermanfaat dalam pengobatannya.

Berbagai studi laporan kasus, observasional, dan uji klinis menunjukkan bahwa siklosporin efektif dalam menghambat progresi penyakit, mempercepat reepitelisasi, menurunkan mortalitas, dan mengurangi lama rawat pada SSJ dan TEN. Namun, studi yang ada terkait hal ini masih memiliki kekuatan bukti yang rendah karena jumlah sampel yang kecil dan kurangnya randomisasi maupun penyamaran. Masih dibutuhkan studi lebih lanjut untuk mengetahui efikasi, tolerabilitas, profil keamanan, dosis optimal, dan durasi pemberian terbaik siklosporin untuk pengobatan SSJ dan TEN.

Referensi