Penatalaksanaan Sindroma Stevens Johnson
Sampai saat ini belum ada pedoman penatalaksanaan yang dibakukan untuk Steven Johnson Syndrome (Sindroma Stevens Johnson/SSJ). Secara umum, terapi SSJ meliputi tiga kompenen, yaitu: (1) pemberhentian awal konsumsi obat pencetus, (2) terapi suportif, dan (3) terapi sepsifik. Keberhasilan terapi SSJ, sangat bergantung pada kecepatan penghentian obat pencetus dan terapi suportif. [1,2,4,8]
Penghentian Obat Penyebab
Menghentikan konsumsi obat penyebab sedini mungkin adalah faktor terpenting dalam mengurangi mortalitas pasien. Angka kematian dapat turun dari 26% menjadi 5%, jika pemberhentian obat dilakukan langsung saat lesi pertama muncul.[8,11] Waktu paruh obat yang panjang, metabolit reaktif persisten, serta fungsi ginjal dan hepar yang terganggu dapat memperburuk progresi penyakit meskipun obat sudah diberhentikan. Karena itu, beberapa teknik, seperti dialysis dan plasmafaresis dapat digunakan untuk eliminasi obat seluruhnya dari tubuh pasien, terutama jika disebabkan oleh tipe obat kerja lambat.[4,8,11]
Terapi Gawat Darurat
Pasien SSJ mengalami kekurangan cairan yang masif sehingga perlu diberikan resusitasi cairan. Peranan utama Unit Gawat Darurat adalah untuk diagnosis SSJ, memberikan terapi untuk menyelamatkan jiwa, dan mengkonsultasikan ke dokter spesialis kulit.[1.4]
Terapi Suportif
Terapi suportif harus diberikan secara komprehensif. Terapi meliputi menjaga suhu ruang pada 30-32 C dan terapi cairan dengan larutan elektrolit (0.7 ml/kg/%BSA) serta larutan albumin 5% (1 ml/kg/%BSA). Target pemberian terapi cairan adalah menjaga output urin sebanyak 50-80ml per jam. Pasien juga harus diberikan diet khusus berupa diet cairan, sebanyak 1500 kalori dalam 1500 ml pada 24 jam pertama. Kemudian, ditambahkan 500 kalori setiap harinya hingga mencapai 3500-4000 kalori per hari. Pemberian melalui selang nasograstik digunakan apabila pasien tidak dapat makan. Selain itu, monitoring infeksi juga harus dilakukan. Jika terdapat tanda-tanda infeksi, antibiotik empiris harus diberikan secepatnya.[4,8]
Terapi Spesifik
Pemberian terapi spesifik adalah isu utama dalam menangani SSJ. Hingga saat ini, belum ada tolak ukur yang jelas mengenai efektifitas terapi spesifik. Praktisi medis, secara umum menggunakan imunomodulator seperti kortikosteroid, IVIg, dan siklosporin A meskipun kegunaannya masih diperdebatkan.[8,11]
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah salah satu obat yang paling kontroversial. Beberapa menganggap pemakaian steroid bermanfaat karena efek imunosupresif, anti-inflamasi, dan anti-apoptosis yang dimilikinya.[12] Namun, beberapa lainnya menganggap bahwa penggunaan steroid sangat berisiko tinggi karena dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ulkus gastrointestinal, pemulihan luka yang lebih lama, dan infeksi berat.[8] Beberapa studi lain menyimpulkan bahwa penggunaan steroid tidak menghentikan progresi penyakit, bahkan meningkatkan risiko kematian karena sepsis.[13]
Penggunaan kortikosteroid harus diberikan dalam 48 jam pertama setelah lesi muncul dan diberhentikan dalam 3 hingga 5 hari. [1,4,11] Penggunaan pulsus deksametason intravena dosis tinggi (1.5 – 2 mg/kg) selama 3 hari dinilai lebih bermanfaat dalam mengurangi angka kematian. Pasien yang diberikan pulsus deksametason terbukti memiliki waktu rawat inap yang lebih singkat, angka kematian lebih rendah, dan fase reepitalisasi lebih cepat.[12] Studi EUROSCAR terhadap 281 pasien di Jerman dan Perancis, juga menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid lebih bermanfaat dalam mengurangi angka kematian dibandingkan dengan IVIg, akan tetapi efeknya juga kecil bila dibandingkan dengan terapi suportif saja. [14]
Imunoglobulin Intravena
Penggunaan IVIg didasarkan pada aktivitas anti-Fas IVIg yang diduga dapat menghentikan proses apoptosis.[8,15] Hal ini didukung dalam beberapa penelitian yang membuktikan bahwa IVIg efektif dalam mengurangi mortalitas, tetapi beberapa lainnya tidak, terutama setelah ditemukan adanya peran ligan Fas yang sangat minim bila dibandingkan dengan Granulisin dalam proses nekrolisis epidermal.[1,5,11]
Penggunaan IVIg dalam dosis tinggi (minimal 2g/kg per hari) selama 3 sampai 4 hari cukup efektif.[16-18] Sedangkan, pemberian IVIg dalam dosis rendah dan pemberian IVIg pada pasien SSJ atau SSJ/NET overlap terbukti kurang efektif.[14,19,20] Hal ini dikarenakan pada SSJ dan SSJ/NET overlap masih terjadi proses apoptosis keratinosit yang dimediasi oleh granulisin, sehingga efek anti-Fas IVIg kurang signifikan.[8,15]
Studi EUROSCAR juga menunjukkan bahwa IVIg kurang bermanfaat dibandingkan dengan kortikosteroid dan terapi suportif saja.[15] IVIg juga memiliki efek nefrotoksik dan kardiotoksik yang besar. Karena itu, pemberian IVIg kurang disarankan.[8] Meskipun demikian, IVIG merupakan obat pilihan pada pasien-pasien HIV, tetapi harus dihindari pada pasien dengan insufisiensi renal, gangguan jantung, dan pasien dengan tromboemboli dan defisiensi IgA. [4,8]
Siklosporin A
Siklosporin A merupakan terapi yang kini dianggap paling efektif dan bermanfaat. Hal ini dikarenakan efek imunosupresif pada siklosporin A dapat menghambat aktivasi sel sitotoksik T dan TNFα. Siklosporin A juga memiliki efek anti apoptosis yang diduga berkaitan dengan granulisin.[4,8]
Terapi siklosporin A dapat mempercepat proses reepitalisasi dan mengurangi angka kematian, dengan efek samping yang minim.[21] Pemberian deksametason intravena yang diikuti dengan pemberian siklosporin A dapat menghentikan progresifitas penyakit dalam 72 jam.[22] Terapi siklospoin A juga lebih efektif dibandingkan dengan kortikosteroid, yaitu dengan waktu reepitalisasi yang lebih cepat (15:23 hari), masa rawat inap yang lebih singkat (18:26 hari), dan angka kematian yang lebih rendah (0:2 kematian).[23]
Dosis yang dianjurkan adalah 3–5 mg/kg per hari IV atau oral, selama 10–24 hari, diikuti dengan tapering off selama 2 hingga 4 minggu setelahnya. Akan tetapi, kegunaan terapi siklosporin A juga belum dapat disimpulkan karena belum signifikan secara statistik. Tetapi, penggunaan siklosporin A pada pasien dengan SSJ, SSJ/NET overlap, ataupun NET cukup menjanjikan.[22,23]