Pedoman Standar Manajemen Diabetes – Ulasan Guideline Terkini

Oleh :
dr. Gilang Pradipta Permana

Pedoman standar manajemen diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 dipublikasikan oleh American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2025. Pedoman ini merupakan pembaruan dari pedoman yang mereka terbitkan terdahulu. Dalam pedoman kali ini, salah satu pembaruan utama adalah tentang penggunaan agonis reseptor glucagon-like peptide 1 (GLP-1).

Menurut ADA Standards of Care in Diabetes 2025 ini, agonis GLP-1 bisa digunakan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang juga mengalami kelebihan berat badan, obesitas, dan non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Agonis GLP-1 juga digunakan pada pasien diabetes tipe 2 yang memiliki penyakit ginjal kronik untuk menurunkan risiko kardiovaskular.[1]

Pedoman Standar Manajemen Diabetes

Tabel 1. Tentang Pedoman Klinis Ini

Penyakit Diabetes mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2
Tipe Diagnosis dan penatalaksanaan
Yang Merumuskan

American Diabetes Association (ADA)

Tahun 2025
Negara Asal Amerika Serikat
Dokter Sasaran Dokter layanan primer, dokter umum, spesialis penyakit dalam, spesialis anak

Penentuan Tingkat Bukti

ADA membentuk sebuah komite lintas profesi yang terdiri dari dokter, perawat, ahli farmasi, edukator diabetes, serta ahli-ahli di bidang endokrin, epidemiologi, kesehatan masyarakat, dan bidang lain yang terkait dengan pelayanan pasien diabetes. Komite tersebut membahas bukti-bukti terkini yang didapatkan lewat proses tinjauan sistematis dari basis data PubMed, Medline dan Embase.

Rekomendasi disusun dengan menimbang risiko dan manfaat dari pilihan-pilihan perawatan yang ada. Tingkat rekomendasi dibuat berdasarkan kualitas bukti yang ada, mulai dari tingkat A (tingkat tertinggi dengan bukti ilmiah yang sudah jelas dengan metode penelitian yang baik), hingga tingkat E (berdasarkan pengalaman para ahli).[2]

Rekomendasi Utama untuk Diterapkan dalam Praktik Klinis Anda

Dalam ADA Standards of Care in Diabetes 2025 ini, beberapa rekomendasi dari pedoman tahun sebelumnya masih dipertahankan. Beberapa perubahan yang perlu diperhatikan mencakup perubahan terkait pilihan farmakoterapi, pemeriksaan untuk diabetes tipe 1, dan pembaruan terkait rekomendasi diet.[1,3]

Rekomendasi Terkait Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes

Pada pedoman ini, klasifikasi yang digunakan ADA masih sama, yakni diabetes mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2, diabetes karena penyebab lain, dan diabetes gestasional. Berapa rekomendasi yang mengalami pembaruan antara lain:

  • Pada pedoman tahun 2025 ini, ADA memberi penekanan terkait skrining dini diabetes mellitus tipe 1 menggunakan tes antibodi pada pasien pre-simtomatik yang memiliki riwayat keluarga diabetes tipe 1 atau peningkatan risiko genetik.
  • Untuk diabetes tipe 2, skrining disarankan dilakukan sejak usia 35 tahun.
  • Pada pasien dengan kelebihan berat badan atau obesitas, pemeriksaan diabetes tipe 2 dilakukan setiap 3 tahun sekali jika hasil skrining awal normal. Pada kasus di mana hasil skrining awal menunjukkan prediabetes, maka pemeriksaan perlu dilakukan setahun sekali.
  • Penapisan masalah mental perlu dilakukan minimal setahun sekali untuk mengatasi masalah cemas, depresi, dan gangguan makan.[1,4]

Selain rekomendasi tersebut, ada pula rekomendasi terkait penggunaan continuous glucose monitoring (CGM) yang perlu diperhatikan, yaitu:

  • Penggunaan CGM direkomendasikan pada pasien diabetes tipe 2 atau prediabetes, termasuk yang tidak menggunakan insulin.
  • Selain itu, mengikuti rekomendasi di tahun sebelumnya, CGM juga digunakan pada pasien diabetes tipe 1.
  • Penggunaan CGM dilakukan sejak awal diagnosis dan dapat dijadikan basis untuk penyesuaian terapi.[5]

Rekomendasi Terkait Farmakoterapi

Banyak dari rekomendasi terkait farmakoterapi masih sama dengan rekomendasi di pedoman tahun sebelumnya. Beberapa pembaruan yang perlu mendapat perhatian adalah:

  • Penggunaan agonis GLP-1, seperti semaglutide dan tirzepatide, direkomendasikan untuk pengelolaan diabetes tipe 2 yang disertai penyakit jantung, heart failure with preserved ejection fraction, obesitas, atau penyakit ginjal kronik, karena manfaatnya dalam menurunkan risiko kardiovaskular dan melindungi fungsi ginjal.
  • Pada pasien dengan diabetes tipe 2 atau prediabetes yang juga mengalami NAFLD, agonis GLP-1 juga dipertimbangkan karena dapat membantu menurunkan berat badan dan mengatasi steatohepatitis.
  • Untuk kasus pasien diabetes tipe 2 disertai NAFLD dengan fibrosis hati sedang hingga lanjut, terapi tambahan dengan agonis reseptor hormon tiroid β dan rujukan ke spesialis hepatologi dianjurkan.
  • Penggunaan agonis GLP-1 pada diabetes tipe 1 belum direkomendasikan.
  • Pemberian jangka panjang metformin perlu disertai dengan pemberian vitamin B12 agar mencegah neuropati dan perlu dilakukan pemeriksaan rutin kadar B12.[1,3]

Rekomendasi Terapi Non-Farmakologi

Beberapa rekomendasi terkait terapi non-farmakologi antara lain:

  • Ada pembaruan rekomendasi pola makan, yang mana pasien diabetes dianjurkan mengonsumsi makanan tinggi nutrisi tetapi rendah kalori seperti buah, sayur-mayur, biji-bijian, dan gandum utuh.
  • Rekomendasi mengenai minum air putih dibandingkan minuman berpemanis buatan tanpa kandungan nutrisi tambahan perlu ditekankan saat menangani pasien diabetes.
  • Targetkan penurunan berat badan 3-7% untuk pasien dengan berat badan berlebih dan obesitas. Modalitas yang dapat digunakan adalah olahraga, diet, dan terapi perilaku.
  • Aktivitas fisik: olahraga intensitas sedang 150 menit/minggu, yang mana perlu mencakup latihan kekuatan untuk mencegah kehilangan massa otot dan memperbaiki sensitivitas insulin.[6]

Rekomendasi Terkait Puasa Ramadan

Dalam pedoman ADA tahun 2025 ini, pasien yang mau berpuasa disarankan menjalani penapisan dengan alat bantu Diabetes and Ramadhan (DaR) risk score untuk mengetahui risiko pasien mengalami komplikasi akut seperti hipoglikemia, hiperglikemia berat, dan dehidrasi. sebelum menjalani puasa.[6]

Perbandingan dengan Pedoman Klinis di Indonesia

Di Indonesia, terdapat pedoman pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 yang diterbitkan oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) pada tahun 2021 dan Pedoman Pelayanan Klinis Tata Laksana Diabetes Mellitus pada Anak oleh Kementrian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2024.

Perbedaan yang ada panduan ADA tapi tidak ada di panduan di Indonesia meliputi anjuran penggunaan FIB-4 untuk skrining risiko fibrosis, penekanan pada pentingnya edukasi self-management yang wajib dan terstruktur, pemakaian teknologi CGM yang dianjurkan sejak awal dan penggunaan skoring DaR untuk risiko pasien yang berpuasa.

Panduan PERKENI dan Kemenkes dibuat berdasarkan konteks pelayanan di Indonesia sehingga rekomendasi tata laksana disesuaikan dengan ketersediaan dan akses obat di Indonesia. Panduan risiko pasien diabetes yang berpuasa sudah dijabarkan di Perkeni dengan tabel yang lebih praktis. PNPK yang dibuat oleh Kemenkes detail membahas tentang penanganan diabetes mellitus tipe 1 pada anak, sedangkan pada ADA tidak terlalu detail karena dimuat pada panduan yang terpisah.[7,8]

Kesimpulan

Pembaruan standar pelayanan diabetes mellitus dipublikasikan oleh American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2025. Beberapa pembaruan rekomendasi dalam pedoman ini antara lain:

  • Penggunaan tes antibodi untuk diagnosis diabetes mellitus tipe 1 pada pasien dengan riwayat keluarga diabetes tipe 1 atau peningkatan risiko genetik.
  • Continuous glucose monitoring (CGM) bisa digunakan untuk pemantauan kontrol glikemik pada diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2 terlepas dari apakah pasien menggunakan insulin.

  • Perluasan indikasi penggunaan agonis reseptor glucagon-like peptide 1 (GLP-1), seperti semaglutide, yang kini juga mencakup pasien diabetes tipe 2 dengan penyakit jantung, heart failure with preserved ejection fraction, obesitas, penyakit ginjal kronik, dan non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD).
  • Perluasan rekomendasi diet dengan penambahan rekomendasi untuk diet tinggi nutrisi rendah kalori, seperti buah, sayur, biji-bijian, dan gandum utuh.
  • Rekomendasi aktivitas fisik intensitas sedang minimal 150 menit/minggu, dengan mencakup latihan kekuatan untuk mencegah kehilangan massa otot dan memperbaiki sensitivitas insulin.
  • Gunakan Diabetes and Ramadhan Risk Score untuk menentukan risiko dan manajemen diabetes tipe 2 pada pasien selama berpuasa.

Referensi