Kontroversi Prediabetes

Oleh :
Josephine Darmawan

Prediabetes merupakan kondisi yang kontroversial terkait diagnosis dan strategi intervensinya.  Hal ini berhubungan dengan risiko overdiagnosis dan overterapi yang sering kali terjadi pada pasien prediabetes. Di sisi lain, diagnosis dan intervensi prediabetes yang tepat akan bermanfaat menekan angka diabetes mellitus dan komplikasinya.

Diabetes melitus merupakan satu penyakit tidak menular dan bersifat kronis yang memiliki berbagai komplikasi. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab disabilitas, mortalitas, dan beban ekonomi yang tinggi.[1]

Depositphotos_141555240_m-2015_compressed

Oleh karenanya, pencegahan diabetes mellitus penting untuk dilakukan. Maraknya promosi upaya preventif diabetes mellitus, tingginya kesadaran masyarakat, dan skrining diabetes mellitus menyebabkan munculnya kelompok populasi yang tidak memenuhi kriteria diagnosis diabetes tetapi hasil tesnya abnormal.

Kelompok populasi ini dikenal sebagai prediabetes, dan secara global, prevalensi prediabetes diperkirakan sekitar 27%. Prevalensi ini diduga dapat terus meningkat, sehingga prediabetes menjadi masalah kesehatan masyarakat, serta erat berkaitan dengan epidemi diabetes dan komplikasinya.[2,3]

Hingga saat ini, masih terdapat kontroversi mengenai definisi optimal dari prediabetes dan manajemen yang diperlukan. Selain itu, prediabetes diduga berhubungan dengan overdiagnosis dan terapi berlebihan, yang dapat merugikan pasien.[4,5]

Kriteria Diagnosis Prediabetes

Prediabetes merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi kadar gula melebihi normal, tetapi belum cukup untuk menegakkan diagnosa diabetes melitus. Prediabetes meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT)/impaired glucose tolerance dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT)/impaired fasting glucose.[6,7]

Berdasarkan Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2021, kriteria diagnosis prediabetes adalah:

  • Gula darah puasa (GDP): 100–125 mg/dl
  • Gula darah 2 jam postprandial (GD2PP) atau tes toleransi glukosa oral (TTGO): 140–199 mg/dL
  • HbA1c: 5,7–6,4%[7]

Setiap dokter umumnya memiliki preferensi yang berbeda-beda terkait pedoman klinis yang digunakan. Pedoman diagnosis diabetes mellitus dari PERKENI merupakan salah satu pedoman yang dapat digunakan di Indonesia. Rekomendasi PERKENI yang ada saat ini mengikuti rekomendasi dari American Diabetes Association (ADA).[7]

Namun, nilai batasan kriteria diagnosis ini dapat berbeda-beda dari setiap negara dan asosiasi. Perbandingan kriteria diagnosis antara American Diabetes Association (ADA) dan International Diabetes Federation (IDF) dapat dilihat pada tabel 1.[6,8]

Tabel 1. Perbandingan Kriteria Diagnosis Prediabetes

ADA IDF
GDP 100-125 mg/dl 110 – 125 mg/dl
GD2PP/TTGO 140–199 mg/dl 140–199 mg/dl
HbA1c 5,7–6,4% -

Sumber: dr. Josephine Darmawan, Alomedika. 2018

Prediabetes dan Risiko Diabetes Melitus

Prediabetes (preDM) merupakan salah satu risiko tinggi untuk diabetes melitus (DM). Prediabetes diprediksi akan berkembang menjadi diabetes pada 25% pasien dalam waktu 3–5 tahun. Sekitar 70% penderita prediabetes diprediksi akan mengalami diabetes dalam 10 tahun kemudian.[9,10]

Sumber lain menyatakan 5–10% pasien prediabetes akan menjadi penyandang diabetes setiap tahunnya. Namun, proporsi pasien yang serupa akan kembali menjadi normoglikemik. Beberapa hal yang memengaruhi perkembangan prediabetes menjadi diabetes, antara lain riwayat keluarga dengan DM, serta wanita dengan sindrom ovarium polikistik, atau riwayat diabetes gestasional.[4]

Prediabetes dan Risiko Komplikasi Diabetes Melitus

Pasien prediabetes memiliki risiko komplikasi yang serupa dengan penyandang diabetes, baik komplikasi nonvaskular, maupun komplikasi mikro atau makrovaskular. Namun, insidensinya sedikit lebih rendah dibanding pada diabetes. Komplikasi  yang paling sering dijumpai adalah kebutaan, gagal ginjal, dan amputasi.

Risiko retinopati diabetik dilaporkan meningkat pada HbA1C 5,5%, yang sebetulnya masih termasuk normoglikemi berdasarkan kriteria dari ADA. Polineuropati juga dilaporkan lebih sering dijumpai pada prediabetes. Prevalensinya adalah sekitar 13% pada pasien dengan toleransi glukosa terganggu (TGT), dan 11,3% pada pasien dengan glukosa puasa terganggu. Pada populasi normoglikemik, prevalensi polineuropati hanya 7,4%.

Prevalensi mikroalbuminuria juga meningkat sebanyak 2 kali lipat pada prediabetes, sedangkan pada diabetes, perkembangan mikroalbuminuria dinilai lebih lambat. Gagal ginjal kronik juga diperkirakan memiliki insidensi yang serupa antara pasien prediabetes dan diabetes.[9,11,12]

Risiko Overdiagnosis, Overterapi, dan Perbedaan Pandangan Klinisi

Memberikan label seseorang pre-penyakit tertentu, termasuk prediabetes, dinilai sebagai overdiagnosis. Ketika seseorang mendapatkan diagnosa prediabetes, maka perlu dilakukan skrining rutin, kontrol ke dokter, hingga obat tertentu. Dalam era jaminan kesehatan, hal ini dapat menjadi beban biaya medis yang cukup tinggi, padahal tidak semua pasien penyandang prediabetes akan mengalami diabetes melitus.[4,13]

Terminologi “prediabetes” semakin banyak disadari kepentingannya, meskipun demikian, pandangan dokter terhadap prediabetes masih beragam. Pandangan dokter terhadap prediabetes masih terbagi. Namun, sebagian besar dokter memiliki pandangan yang lebih positif terhadap prediabetes dibandingkan tidak.[1,14,15]

Dokter yang lebih muda dengan pengalaman praktek lebih sedikit bersikap lebih positif terhadap prediabetes. Di sisi lain, mereka juga lebih cenderung memberikan tata laksana farmakologis dan kurang memberikan edukasi serta tata laksana nonfarmakologis yang sebenarnya lebih diperlukan pada fase prediabetes.[1,14,15]

Perbedaan pandangan yang cukup signifikan ini merupakan hambatan tersendiri bagi upaya prevensi diabetes. Beberapa studi mengemukakan bahwa terminologi prediabetes sebenarnya tidak diperlukan. Namun, stigma dan perspektif ini perlu dicermati lebih lanjut, karena intervensi prediabetes yang tepat akan dapat mencegah diabetes mellitus dan komplikasinya[5,13,14]

Melakukan intervensi awal pada pasien preDM lebih banyak memberikan manfaat dibandingkan tidak. Label prediabetes sering kali dimanfaatkan oleh perusahaan farmasi sebagai alat marketing untuk memberikan obat diabetes. Dokter perlu menyadari bahwa tata laksana prediabetes seharusnya menitikberatkan pada modifikasi gaya hidup, dibandingkan pemberian obat antidiabetik.[1,14,15]

Metaanalisis oleh Barry, et al. pada tahun 2017 menilai efikasi intervensi, baik gaya hidup maupun metformin, dalam mencegah terjadinya diabetes tipe 2 pada pasien prediabetes. Metaanalisis menemukan perubahan gaya hidup menurunkan risiko diabetes sebesar 36% dalam 6 bulan sampai 6 tahun. Sedangkan penggunaan metformin dapat menurunkan risiko diabetes sebesar 26%.[16]

Rekomendasi Tata Laksana Prediabetes sebagai Upaya Preventif Diabetes Melitus

Studi yang ada menunjukkan manfaat intervensi awal dalam mencegah ataupun menunda diabetes melitus, terutama pada kelompok risiko tinggi. Manajemen prediabetes meliputi pemeriksaan secara berkala, serta intervensi nonfarmakologis dan farmakologis.[1,6,7]

Pemeriksaan Diabetes atau Prediabetes

Pemeriksaan prediabetes atau diabetes tipe 2 pada populasi asimtomatik perlu dipertimbangkan pada pasien dewasa yang overweight atau obesitas, yaitu memiliki indeks massa tubuh (IMT) ≥23 kg/m2, dan memiliki faktor risiko tambahan untuk terkena diabetes.

Faktor risiko yang dimaksud, antara lain riwayat keluarga derajat pertama dengan DM, riwayat penyakit jantung, hipertensi, nilai HDL <35 mg/dL dan/atau trigliserida >250 mg/dL, pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik, orang yang secara fisik tidak aktif. Selain itu, kondisi lain yang berhubungan dengan resistensi insulin, seperti obesitas morbid, dan akantosis nigrikans, juga merupakan faktor risiko.

Pasien dengan prediabetes, yaitu memiliki toleransi glukosa terganggu, gula darah puasa terganggu, atau HbA1c 5,7–6,4% sebaiknya diperiksa setiap tahun. Pasien dengan riwayat diabetes gestasional sebaiknya diperiksa berkala, setiap 3 tahun. Bagi pasien lain, pemeriksaan dimulai pada usia 45 tahun. Jika hasil normal, pemeriksaan dapat diulang setelah 3 tahun, kecuali muncul gejala.[6]

Intervensi Nonfarmakologis

Intervensi nonfarmakologis dengan modifikasi gaya hidup merupakan tata laksana utama yang seharusnya dilakukan dan ditekankan pada pasien-pasien prediabetes. Sebaiknya, pasien mencapai penurunan berat badan sebanyak 7–10% dan melakukan aktivitas fisik 150 menit per minggu.[2,17]

Pola Makan:

Pasien dengan berat badan berlebih direkomendasikan untuk menurunkan asupan kalori, agar dapat menurunkan berat badan. Biasakan pasien dengan pola makan yang banyak mengonsumsi sayuran, kacang, biji-bijian, buah, dan gandum utuh. Konsumsi ikan atau makanan laut lain, serta minyak zaitun sebagai sumber lemak utama. Batasi konsumsi daging merah dan gula sederhana.

Pola makan seperti di atas, atau menyerupai pola makan Mediterranean, terbukti menurunkan risiko diabetes, HbA1C,  trigliserida, juga mencegah kejadian kardiovaskular mayor. Pengaturan pola makan harus mempertimbangkan status gizi pasien, metabolic goals, misalnya gula darah dan profil lipid, tingkat aktivitas fisik, serta ketersediaan pangan dan preferensi pasien.[18,19]

Aktivitas Fisik:

Latihan jasmani intensitas sedang hingga berat, dengan durasi 150 menit per minggu disarankan bagi pasien prediabetes. Aktivitas fisik terbukti menunda perubahan prediabetes menjadi diabetes, memperbaiki kontrol glikemik, dan menurunkan komplikasi kardiovaskular.

Olahraga aerobik dan latihan ketahanan (resistance training) memperbaiki fungsi insulin, kontrol glikemik, nilai lipid, dan tekanan darah. Pasien prediabetes disarankan untuk melakukan resistance training sebanyak 2 kali per minggu. Berjalan lebih banyak 1000 langkah per hari juga diduga dapat memberikan manfaat bagi banyak pasien, dan menjadi langkah awal kebiasaan aktivitas fisik.[17,20]

Berhenti Merokok:

Perilaku merokok dihubungkan dengan peningkatan risiko prediabetes hingga 2,5 kali. Seluruh pasien prediabetes disarankan untuk berhenti merokok, termasuk merokok secara pasif. Merokok diketahui meningkatkan risiko DM, penyakit kardiovaskular, dan kematian dini.[17,21]

Intervensi Farmakologis

Jika pasien tidak dapat melakukan perubahan gaya hidup, atau berisiko sangat tinggi untuk mengalami diabetes, maka penggunaan medikamentosa diperlukan. Obat antidiabetik yang paling sering digunakan adalah metformin dan acarbose, yang dapat membantu mencegah terjadinya diabetes. Kedua obat ini dinilai memiliki efek samping minimal, dan dapat bermanfaat bagi pasien prediabetes.[2]

Ada studi yang menyatakan bahwa probiotik mungkin berguna untuk kontrol glikemik pada prediabetes. Akan tetapi, hal ini masih perlu dikonfirmasi dengan studi lebih lanjut.

Kesimpulan

Prediabetes merupakan kondisi gula darah abnormal yang perlu mendapat perhatian khusus dan memegang peranan penting dalam upaya preventif diabetes melitus. Pasien dengan prediabetes berada pada risiko tinggi mengalami diabetes, serta berbagai komplikasinya. Namun, pasien prediabetes juga dapat kembali menjadi normoglikemik dengan pemilihan intervensi yang sesuai.

Penilaian dokter terhadap status prediabetes harus dilakukan dengan hati-hati, karena akan menentukan strategi intervensi. Seluruh pasien dengan prediabetes perlu mendapatkan edukasi dan motivasi untuk modifikasi diet dan aktivitas fisik. Intervensi farmakologis hanya diberikan pada kelompok risiko tinggi.

Stigma negatif terhadap status prediabetes akan menjadi salah satu hambatan dalam upaya prevensi diabetes mellitus, oleh karenanya dokter harus menilai risiko masing-masing pasien dengan cermat serta melakukan intervensi yang sesuai kebutuhan pasien.

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi