Komplikasi Operasi Katarak
Komplikasi operasi katarak yang dapat terjadi intraoperatif, antara lain pendangkalan kamera okuli anterior, dislokasi lensa kristalin ke posterior, dan perdarahan.
Pendangkalan Kamera Okuli Anterior
Pendangkalan kamera okuli anterior (KOA) harus dihindari agar selama prosedur terdapat cukup ruang untuk instrumentasi dan menghindari cedera pada endotel kornea. Pendangkalan KOA dapat timbul akibat beberapa hal berikut:
- Jumlah cairan yang masuk KOA kurang. Hal ini dapat disebabkan karena inflow irigasi yang kurang, aspirasi berlebihan, ketinggian botol irigasi yang terlalu rendah
- Kebocoran cairan karena insisi yang terlalu besar
- Tekanan dari luar bola mata
- Tekanan vitreous yang tinggi
- Perdarahan suprakoroid[5,6]
Trauma Termal Fakoemulsifikasi
Trauma termal pada kornea dapat ditimbulkan oleh ujung alat fakoemulsifikasi. Jaringan akan tampak keputihan di area insisi dan menyusut, sehingga luka insisi tidak dapat menutup dengan sendirinya. Trauma termal dapat terjadi karena proses pendinginan ujung alat fakoemulsifikasi tidak adekuat (cairan irigasi kosong, tube irigasi tersumbat), penggunaan tenaga ultrasound yang terlalu lama, atau akibat aliran aspirasi cairan yang buruk dari alat fakoemulsifikasi.[5]
Membran Descemet Detachment
Terlepasnya membran Descemet dapat terjadi akibat terjepit oleh instrumen, LIO, saat injeksi viskoelastis, atau saat hidrasi stroma. Terlepasnya membran Descemet dapat menimbulkan edema kornea.[5]
Ruptur Kapsul Posterior
Ruptur kapsul posterior dengan atau tanpa vitreous loss dapat menyebabkan tajam penglihatan pascaoperatif yang tidak optimal. Faktor risiko ruptur kapsul posterior adalah KOA dangkal, pupil miosis, intraoperative floppy iris syndrome, pseudoeksfoliasis, dan zonulopati. Ruptur kapsul posterior dapat meningkatkan risiko uveitis, dislokasi lensa intraokular, edema makula sistoid, ablatio retina, dan endoftalmitis. Teknik fakoemulsifikasi berkaitan dengan kejadian ruptur kapsul posterior yang meningkat, terutama bila dikerjakan oleh operator yang kurang mahir atau pada katarak yang lebih keras.[6,8,18,39]
Dislokasi Lensa Kristalin ke Posterior
Dislokasi lensa kristalin ke posterior (nucleus drop) adalah jatuhnya nukleus lensa ke vitreous. Faktor risiko nucleus drop adalah katarak hipermatur, katarak polar posterior, miopia berat, dan riwayat vitrektomi. Teknik fakoemulsifikasi lebih berisiko untuk terjadinya nucleus drop, oleh karena itu sebaiknya dilakukan pada fasilitas kesehatan yang memungkinkan untuk melakukan vitrektomi atau apabila ada akses menuju fasilitas kesehatan tersebut. Lensa kristalin di vitreus dapat menimbulkan peradangan intraokular, glaukoma sekunder, ablatio retina.[6,8]
Perdarahan
Perdarahan yang dapat terjadi intraoperatif katarak adalah perdarahan retrobulbar, perdarahan suprakoroidal, dan hifema. Perdarahan retrobulbar dapat timbul akibat anestesi yang mengenai pembuluh darah orbita. Perdarahan retrobulbar akan menimbulkan peningkatan tekanan intraokular dan timbul sindrom kopartemen. Gejala yang dapat ditemukan adalah ekimosis palpebra, pemasangan spekulum sulit dilakukan, peningkatan tekanan intraokular, dan perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan retrobulbar dapat dihindari dengan pemilihan teknik anestesi lain.[5,6]
Perdarahan suprakoroidal terjadi karena dekompresi mata tiba-tiba atau kondisi hipotoni yang berlangsung lama selama operasi katarak. Perdarahan suprakoroidal ditandai dengan nyeri pada mata, peningkatan tekanan posterior bola mata yang menyebabkan pendangkalan KOA, prolapsus iris, luka insisi yang tidak bisa rapat, pengeluaran lensa secara spontan. Risiko perdarahan suprakoroidal dapat berkurang dengan kontrol tekanan intraokular yang baik preoperatif, kontrol tekanan darah pasien, posisi pasien reverse Trendelenburg, teknik operasi dengan insisi yang kecil, durasi operasi katarak yang lebih cepat, dan mencegah terjadinya hipotoni okular intraoperatif.[5]
Hifema dapat terjadi apabila ada trauma pada pembuluh darah margin pupil pada iris, pembuluh darah stroma iris, pembuluh darah badan siliaris, dan pembuluh darah insisi (saat membuat insisi). Hifema dapat menimbulkan penurunan tajam penglihatan pascaoperatif, peningkatan tekanan intraokular, pewarnaan kornea, inflamasi kronis, sinekia anterior dan posterior. Hifema dapat diatasi dengan penekanan sementara bola mata, injeksi viskoelastis ke dalam KOA untuk tamponade perdarahan, kauterisasi sumber perdarahan, injeksi udara ke KOA, dan injeksi epinefrin atau penilefrin intrakamera.[5,40]
Kauterisasi dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan saat operasi, namun kauter dapat menyebabkan koagulasi jaringan, merusak saraf, serta menipiskan sklera, sehingga terjadi penyembuhan luka lebih lama, jaringan parut, stafiloma, dan astigmatisme. Perdarahan dapat dikendalikan dengan melakukan irigasi selama pembentukan sclerocorneal tunnel. Umumnya perdarahan akan berhenti setelah tunnel terbentuk dan tidak ada darah yang masuk ke KOA.[22]
Komplikasi yang dapat ditemukan setelah operasi katarak adalah sebagai berikut:
Peningkatan Tekanan Intraokular
Peningkatan tekanan intraokular setelah operasi katarak sering timbul karena sisa vikoelastik di dalam KOA. Peningkatan tekanan intraokular ringan sering ditemukan pada 4-6 jam pertama setelah operasi. Beberapa penyebab peningkatan tekanan intraokular lain yang mengikuti operasi katarak adalah toxic anterior segment syndrome (TASS), hifema, uveitis, endoftalmitis, sisa massa lensa, sinekia anterior perifer, blok pupil, vitreus di KOA, dan glaukoma neovaskular. Pencegahan dapat dilakukan dengan memastikan tidak adanya sisa viskoelastis di dalam KOA. Peningkatan tekanan intraokular dapat diatasi dengan pemberian agen hipotensi okular jangka pendek atau dekompresi KOA melalui side port dengan bantuan slit-lamp.[5,6]
Edema Kornea
Edema bagian epitel dan stroma kornea dapat terjadi segera setelah operasi. Edema kornea akibat operasi katarak bersifat multifaktorial, yakni akibat trauma mekanik intraoperatif, durasi operasi yang lama, peradangan, peningkatan tekanan intraokular. Edema kornea dapat mengalami perbaikan dalam waktu 4-6 minggu, tetapi apabila menetap lebih dari 3 bulan sebaiknya dilakukan tindakan keratoplasti.[6]
Posterior Capsular Opacification
Posterior capsular opacification (PCO) adalah komplikasi yang paling sering terjadi setelah operasi katarak. PCO dapat terjadi pada 28% pasien setelah 5 tahun operasi katarak. PCO timbul karena adanya sisa epitel lensa pada kapsul posterior. PCO dapat dicegah dengan capsulorrhexis 360o, hidrodiseksi cortical cleaving, pembersihan sisa korteks yang maksimal, serta implantasi LIO dalam capsular bag. Kondisi PCO yang menyebabkan gangguan penglihatan signifikan umumnya diterapi dengan laser Nd:YAG (Neodymium yttrium-alumunium-garnet).[5,6]
Endoftalmitis
Endoftalmitis adalah komplikasi berat dari operasi katarak, walaupum sudah jarang sekali ditemukan. Perkembangan teknik operasi, sterilisasi peralatan operasi yang baik, penggunaan povidone iodine preoperatif, penggunaan spekulum dan drape khusus sekali pakai untuk mengisolasi kelopak mata dan bulu mata dari lapangan operasi, serta penggunaan antibiotik profilaksis dapat menurunkan risiko endoftalmitis.
Operator harus menghindari terjadinya ruptur kapsul posterior intraoperatif dan memastikan luka insisi tertutup dengan baik (watertight). Endoftalmitis yang timbul setelah operasi katarak dapat ditandai dengan penurunan tajam penglihatan, mata merah (injeksi siliar), edema kornea, nyeri bola mata, edema periorbita, kemosis konjungtiva, hipopion, floaters, hingga perdarahan retina. Gejala dapat muncul setelah 2-7 hari setelah operasi.[5,6,11,18,24]
Toxic Anterior Segment Syndrome
Toxic anterior segment syndrome (TASS) adalah inflamasi yang dapat terjadi setelah operasi katarak. Gejala TASS menyerupai endoftalmitis, tetapi onsetnya lebih cepat daripada endoftalmitis, yakni 12-48 jam setelah operasi. Gejala TASS umumnya terbatas pada segmen anterior, disertai keluhan pandangan kabur, mata merah, nyeri pada mata, fotofobia, dan pada pemeriksaan hampir selalu ditemukan edema kornea. Etiologi TASS antara lain kontaminasi pada cairan irigasi, bahan viskoelastis, instrumen operasi (liposakarida bakteri, residu logam, detergen), obat tetes mata, cairan antiseptik yang digunakan untuk membersihkan lapangan operasi, serta LIO. TASS memberikan respons baik terhadap kortikosteroid topikal.[5,6,41]
TASS dapat dicegah dengan sterilisasi instrumen operasi dengan baik, menghindari penggunaan kanula berulang, membilas povidone iodine dengan bersih dari mata, dan injeksi intrakameral (viskoelastis, pewarnaan, antibiotik) seminimal mungkin.[5,13]
Edema Makular Sistoid
Edema makular sistoid dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan hingga 2-6 bulan setelah operasi katarak. Edema makular sistoid terjadi pada 2-10% operasi EKIK, 1-2% operasi EKEK, dan <1% fakoemulsifikasi. Diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan fundus dan pemeriksaan penunjang seperti fundus fluorescein angiography (FFA) atau optical coherence tomography (OCT).[6]
Ablatio retina
Ablatio retina dapat terjadi pada 2-3% operasi EKIK, 0,5-2% operasi EKEK, dan <1% operasi fakoemulsifikasi. Ablatio retina merupakan salah satu komplikasi lambat yang dapat terjadi 6 bulan–1 tahun setelah operasi. Faktor risiko ablatio retina adalah operasi katarak yang sulit dengan ruptur kapsul posterior atau vitreous loss, pasien dengan miopia berat, dan riwayat keluarga dengan ablatio retina.[6]
Uveitis Kronis
Uveitis kronis terjadi apabila terdapat inflamasi yang menetap >4 minggu setelah operasi katarak. Uveitis ditandai dengan presipitat granulomatosa keratik dan hipopion. Penyebab uveitis kronis adalah vitreous inkarserata, malposisi LIO, dan fragmen lensa kristalin yang tersisa.[6]
Astigmatisme
Astigmatisme dapat timbul terutama pada teknik EKIK dan EKEK karena perubahan kelengkungan kornea akibat insisi yang besar, kekuatan jahitan pada kornea, lokasi insisi, astigmatisme yang sudah ada sebelumnya (memberat setelah operasi), dan usia lanjut. MSICS dengan insisi sclerocorneal di temporal menimbulkan kasus astigmatisme yang lebih sedikit daripada insisi yang dilakukan di superior.[6,18]
Dislokasi Lensa Intraokular
Dislokasi lensa intraokular (LIO) dapat terjadi intrakapsular atau ekstrakapsular. Risiko dislokasi LIO meningkat pada pasien dengan sindrom pseudoeksfoliasi, gangguan jaringan ikat yang menyebabkan gangguan zonula, uveitis, miopia berat, LIO pada sulkus/peletakan haptic LIO yang tidak seluruhnya di capsular bag, haptic LIO rusak, dan pasien dengan riwayat operasi vitreoretina.[5,6