Akupunktur dalam Penanganan Nyeri Kronis

Oleh :
dr. Ghifara Huda SE AAAK

Efikasi akupunktur dalam penanganan nyeri kronis saat ini masih kontroversial dan studi pendukungnya masih inkonklusif. Akupunktur  merupakan terapi alternatif yang berasal dari China ditemukan sejak 4000 tahun yang lalu. Metode akupunktur dilakukan dengan menusukkan jarum pada titik-titik tertentu di tubuh manusia untuk tujuan kesehatan, salah satunya untuk mengatasi nyeri kronis.[1,2,13]

Akupunktur

Akupunktur berkembang seiring zaman. Sebelumnya, terapi akupunktur dikenal dengan menitikberatkan pada pengaliran energy qi. Saat ini, akupunktur menjadi lebih modern yakni menggunakan konsep stimulasi dan modulasi sistem saraf melalui titik saraf secara anatomis.[1,2]

akupuntur, acupuncture, chronic pain, acupuncture for chronic pain, nyeri kronis, akupunktur dalam tata laksana nyeri kronis, akupunktur manajemen nyeri, alomedika

Gambar 1. Teknik Akupuntur. Sumber: J Kennemer, Wikimedia commons, 2009.

Akupunktur dianggap menstimulasi pelepasan opioid endogen, serta neurotransmitter serotonin dan norepinefrin. Hal ini secara teori dianggap memodulasi respons inflamasi dan proses nosiseptif tubuh, sehingga mensupresi nyeri.[15]

Jenis Akupunktur

Terdapat beberapa jenis akupunktur yang digunakan di seluruh dunia, yaitu:

  • Akupunktur tradisional, teknik yang dikenal sejak lama dan hanya mempergunakan jarum akupunktur sederhana
  • Akupunktur permanen (intradermal permanent needle acupuncture), teknik yang memiliki efek biostimulasi lebih lama dan permanen pada titik saraf, biasa dilakukan pada pasien yang tidak mau dilakukan akupunktur berulang seperti pada rehabilitasi pasca stroke, teknik ini menggunakan jarum kecil selama 2−3 hari untuk biostimulasi titik akupunktur
  • Acupressure, teknik yang menstimulasi titik akupunktur dengan tekanan jari tangan

  • Laser acupuncture, teknik yang menggunakan sinar monokromatik, yaitu sinar merah dengan panjang gelombang 680 nm yang masuk kedalam jaringan otot sedalam 1,2 cm, dan banyak digunakan untuk meredakan nyeri dan kaku otot

  • Epidermal needles for ear acupuncture atau auricular semi permanent needles, teknik akupunktur telinga yang dipergunakan selama 2−4 hari untuk menghindari kerusakan jaringan lunak

  • Electroacupuncture (EA), teknik yang memadukan akupunktur tradisional dengan elektroterapi modern yang biasa digunakan untuk terapi stroke. Saat ini masih sedikit bukti ilmiah yang dapat menunjukkan efektivitas terapi akupunktur ini

  • Massage technique with electrical instruments applied to acupoints, teknik pemijatan khusus yang memadukan alat elektronik yang diaplikasikan pada titik akupunktur[1,2,11]

Manfaat Akupunktur

Akupunktur bermanfaat dalam memodulasi efek fisiologis yang relevan sebagai analgesia, sehingga dapat digunakan untuk membantu mengurangi nyeri kronis. Akupunktur dalam nyeri kronis sering digunakan dalam:

  • Mialgia atau nyeri pada area punggung, bahu, dan lengan
  • Sakit kepala kronis, seperti tension headache

  • Kram perut saat menstruasi atau kolik ginjal
  • Nyeri lutut yang disebabkan osteoarthritis

  • Nyeri yang disebabkan oleh kanker
  • Nyeri dan mual pasca operasi
  • Nyeri pada wajah, seperti prospalgiam craniomandibular dysfunctions, temporomandibular joint disorders, dan neuralgia[1,2,4,10,14]

Selain dalam tata laksana nyeri, akupunktur juga sering digunakan dalam kondisi berikut:

Nyeri kronis

Nyeri kronis adalah nyeri yang dirasakan bertahan >3 bulan atau lebih dari waktu estimasi klinis hilangnya nyeri. Nyeri kronis dapat menyebabkan stress emosional dan fungsional, sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari.[1,7,15]

Klasifikasi Nyeri Kronis

Berdasarkan klasifikasi  WHO di dalam  International Classification of Disease (ICD), nyeri kronis dibagi menjadi 7 kategori, yaitu:

  1. Chronic primary pain
  2. Chronic cancer related pain

  3. Chronic posttraumatic and postsurgical pain
  4. Chronic neuropathic pain

  5. Chronic headache and orofacial pain
  6. Chronic visceral pain
  7. Chronic musculoskeletal pain[7–9,14]

Skala Nyeri Kronis

Terdapat skala nyeri untuk penderita nyeri kronis, dikenal dengan istilah visual analog scale (VAS). Penentuan skor VAS dilakukan dari keadaan umum dan klinis, serta penilaian pasien, kemudian dilakukan penandaan pada skala VAS. Kemudian jarak tersebut dicocokkan dengan tabel garis 10 cm, dengan pembacaan skala 0–100 mm. Penentuan skor VAS nyeri sebagai berikut:

  • Tidak nyeri VAS : 0‒10 mm
  • Nyeri ringan VAS: 11‒30 mm
  • Nyeri sedang VAS: 31–54 mm
  • Nyeri berat VAS: 55–100 mm[7–9]

Etiologi dan Patogenesis Nyeri Kronis

Nyeri kronis dapat disebabkan gangguan sendi seperti osteoarthritis, nyeri punggung, sakit kepala, cedera otot, fibromyalgia, kerusakan saraf, penyakit limfe, fraktur, kanker, dan pembedahan.[2,4,7–9,16]

Nyeri kronis timbul karena adanya remodelling sistem saraf yang menyebabkan persepsi nyeri persisten. Apabila terjadi stimulus nyeri terus menerus, sistem saraf pusat akan mengalami neuroplastisitas, selanjutnya kemampuan eksitabilitas dan sensitisasi meningkat menjadi hiperalgesia dan alodinia. Hal ini kemudian menyebabkan kemampuan respon nyeri yang menyimpang menjadi berlebihan. Selain itu, terdapat teori yang menyatakan bahwa aktivasi reseptor NMDA pada nyeri kronis lebih banyak ditemukan.[15]

Complementary and Alternative Medicine (CAM) pada Nyeri Kronis

Pertimbangan terapi complementary and alternative medicine (CAM), seperti akupunktur dalam nyeri kronis adalah ketidakpastian efikasi dan efek samping terapi medikamentosa, seperti opioid, dalam tata laksana nyeri kronis.[3,11,15]

Pasien dengan nyeri kronis derajat sedang sampai berat seringkali mendapat opioid. Peningkatan penggunaan opioid pada pasien nyeri kronis berisiko menyebabkan ketergantungan opioid, dan peningkatan kasus kematian yang berhubungan dengan penggunaan opioid tersebut. Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 15 ribu kasus kematian yang berhubungan dengan penggunaan opioid pada tahun 2015.[3,11]

Studi Klinis Akupunktur Terhadap Nyeri Kronis

Beberapa studi mengenai penggunaan akupunktur dalam penanganan nyeri kronis sudah dilakukan, baik secara retrospektif, maupun dibandingkan dengan metode lainnya. Beberapa studi menyatakan bahwa akupunktur memiliki efikasi yang baik dalam penatalaksanaan nyeri kronis, tetapi sulit untuk melakukan metode blinding dalam studi-studi tersebut.

Studi Perbandingan Akupunktur dengan Sham Acupuncture atau Tanpa Akupunktur

Vickers AJ, et al. pada tahun 2018 melakukan meta analisis terhadap randomized controlled trial (RCT) yang membandingkan akupunktur, dengan akupunktur palsu atau tanpa akupunktur. Akupunktur palsu atau sham acupuncture adalah penusukan dengan jarum plasebo. Uji coba hanya dimasukkan jika lokasi penusukan secara jelas disembunyikan.[1]

Meta analisis ini melibatkan 20.827 orang yang berasal dari 39 RCT. Subjek penelitian adalah penderita nyeri muskuloskeletal nonspesifik, osteoarthritis, sakit kepala kronis, atau nyeri bahu dengan durasi nyeri paling sedikit 4 minggu. Hasil yang diukur adalah intensitas nyeri dan fungsi yang dipantau selama 3−6 bulan.[1]

Hasil meta analisis ini menunjukkan bahwa secara signifikan (p < 0.001) akupunktur dapat mengurangi atau meredakan nyeri kronis. Pada kelompok yang menerima akupunktur, sebesar 50% pasien merasakan nyeri berkurang atau mereda, 42,5% pada kelompok akupunktur palsu, dan 30% pada kelompok tanpa akupunktur.

Jika dilihat dari skala nyeri antara 0 sampai 100, didapatkan skala nyeri pasien pada kelompok akupunktur sebesar 30, kelompok akupunktur palsu sebesar 35, dan kelompok tanpa akupunktur sebesar 43.[1]

Kesimpulan studi adalah terapi akupunktur terbukti membantu mengurangi nyeri kronis. Akan tetapi, studi meta analisis ini memiliki kekurangan dan perlu ditelaah, yaitu:

  • Tidak ada penjelasan mengenai jenis akupunktur yang dilakukan, misalnya akupunktur tradisional ataukah elektroakupunktur
  • Tidak adanya standarisasi ukuran jarum akupunktur maupun sham acupuncture

  • Kurangnya penjelasan mengenai standar lokasi titik terapi akupunktur yang dilakukan, baik untuk jarum akupunktur maupun sham acupuncture

  • Kurang informasi mengenai durasi terapi menggunakan jarum akupunktur dibandingkan dengan sham acupuncture

  • Beberapa RCT memiliki risiko bias sedang hingga tinggi, yaitu sham acupuncture yang tidak distandarisasi di berbagai studi. Selain itu, studi yang membandingkan akupunktur dengan tanpa akupunktur jelas memiliki bias karena tidak dapat dibutakan oleh pasien, dokter atau peneliti, sehingga bukan merupakan metodologi penelitian yang kuat[1]

Studi Retrospektif Efek Akupunktur dalam Mengurangi Keluhan Nyeri

Sebuah studi retrospektif dilakukan pada 55 pasien, di mana pasien diminta untuk menjawab 12 pertanyaan terkait pengalaman terapi akupunktur yang dijalani sebelumnya. Studi ini diselenggarakan di sebuah klinik dokter spesialis akupunktur di Skopje, Macedonia.[6]

Jarum akupunktur yang digunakan ada 2, yakni cold needle acupuncture dan fire needle acupuncture. Durasi terapi jarum dingin sekitar 30−45 menit, dan jarum panas sekitar 5−10 menit. Terapi sekali dalam seminggu, sebanyak 10 sesi dengan jeda sebulan. Pada beberapa kasus kronis yang berat, terapi dapat dilakukan >50 kali sesi.  Pertanyaan yang diajukan termasuk umur, jenis kelamin, gejala penyakit, jumlah sesi terapi, serta jenis dan skala nyeri.[6]

Pada hasil studi, sekitar 42% menyatakan nyeri hilang total, 52% menyatakan nyeri hampir reda, dan 6% tidak mengalami perbaikan kondisi. Studi ini memiliki banyak bias, yaitu jumlah pasien yang sedikit, tempat penelitian yang hanya satu, tidak ada kelompok kontrol, tidak dibutakan, dan tidak ada standarisasi metodologi.[6]

Pertimbangan Sebelum Melakukan Terapi Akupunktur

Junyi Wu et al. pada tahun 2015 melakukan kajian sistemik terhadap berbagai studi mengenai akupunktur di China sejak tahun 1980 hingga 2013. Sebanyak 133 penelitian yang telah diterbitkan, dan didapatkan informasi bahwa akupunktur memiliki berbagai efek samping mulai dari yang ringan hingga berat.[12]

Efek samping terapi akupunktur di antaranya nyeri pada saat terapi, diare, iritasi kulit, pusing, sakit kepala, pneumothorax. Selain itu, terdapat risiko cedera sistem saraf pusat maupun perifer, cedera organ, cedera jaringan otot maupun jaringan lunak, sinkop, infeksi, perdarahan, dan komplikasi yang disebabkan oleh jarum yang rusak.[12]

Terapi akupunktur sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis akupunktur untuk mengurangi risiko efek samping. Selain itu, higienitas peralatan akupunktur harus diperhatikan. Jarum akupunktur yang digunakan harus sudah disterilkan dengan baik atau menggunakan jarum sekali pakai, sehingga tidak menimbulkan infeksi menular seperti hepatitis B, hepatitis C, dan HIV.[1,2,10,12]

Kesimpulan

Manfaat terapi akupunktur dalam tata laksana nyeri kronis sampai saat ini masih dalam pro dan kontra. Di satu sisi, terapi akupunktur dinilai memiliki efikasi yang baik dalam memodulasi respons nyeri pada berbagai studi klinis. Akan tetapi, studi-studi yang ada memiliki keterbatasan bias, seperti sulitnya melakukan blinding dalam metode penelitian dan masih perlu ditelaah lebih lanjut.

Akupunktur memiliki beberapa risiko efek samping, seperti infeksi, diare, nyeri, iritasi kulit, sampai dengan cedera organ dan pneumothorax. Mengingat hal tersebut, akupunktur sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis akupunktur dan menggunakan jarum steril. Masih diperlukan studi dengan metodologi terstandar dan komprehensif untuk dapat mengetahui efektivitas dan keamanan metode ini.

 

 

Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli

Referensi