Red Flag Pingsan

Oleh :
dr.Eva Naomi Oretla

Mengetahui red flags atau tanda bahaya pingsan, disebut juga sinkop atau fainting, dapat membantu dokter dalam mengenali pasien yang memerlukan perawatan dan investigasi lanjutan. Sinkop didefinisikan sebagai hilangnya kesadaran sementara dan terbatas, dengan ketidakmampuan untuk mempertahankan posisi postural yang diikuti dengan pemulihan spontan.[1-3]

Sinkop dapat dimediasi oleh saraf seperti vasodepressor atau vasovagal yang umumnya dapat dialami oleh setiap orang normal tanpa kelainan fungsi fisiologis. Sinkop juga dapat dimediasi oleh proses abnormalitas pada jantung (kardiak), yang sering dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu, diperlukan ketajaman analisis untuk membedakan karakteristik klinis sinkop dengan risiko tinggi yang memerlukan tindak lanjut segera dari sinkop dengan risiko rendah yang hanya memerlukan observasi berkala.[1,2,4-9]

Red Flag Pingsan-min (1)

Sekilas tentang Etiologi dan Klasifikasi Sinkop

Sinkop secara umum disebabkan oleh gangguan mendadak pada metabolisme otak yang biasanya ditimbulkan oleh hipotensi dengan penurunan aliran darah serebral. Sinkop dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu: sinkop kardiak, sinkop yang dimediasi saraf (refleks), dan hipotensi ortostatik.[1,2,5,6]

Sinkop yang Dimediasi Saraf

Sinkop yang dimediasi saraf (refleks) merupakan jenis sinkop yang paling umum terjadi dengan insiden sekitar 45%. Sinkop jenis ini dapat bersifat vasovagal, situasional, ataupun sekunder akibat hipersensitivitas sinus karotis. Patofisiologi dari sinkop yang dimediasi saraf bersifat kompleks yang terdiri dari interaksi antara sistem otonom yang secara paradoks mendukung tonus parasimpatis atau vagal, yang dapat menyebabkan bradikardia dan hipotensi.[2,5-8]

Sinkop Kardiak

Sinkop kardiak terjadi pada sekitar 20% dari presentasi sinkop. Etiologi tersering yang dapat menyebabkan sinkop kardiak adalah aritmia. Kelainan jantung struktural, seperti penyakit katup jantung maupun kardiomiopati obstruktif, juga dapat menyebabkan sinkop namun dalam presentasi yang jarang.[5-8]

Beberapa studi kohort prospektif melaporkan bahwa pasien dengan sinkop kardiak dapat  mengalami peningkatan mortalitas dua kali lipat dalam jangka waktu 17 tahun. Adanya riwayat penyakit kardiovaskular juga dapat memprediksi terjadinya sinkop akibat abnormalitas pada jantung.[1,7,8]

Hipotensi Ortostatik

Hipotensi ortostatik memiliki insiden sekitar 10% dan biasanya ditandai dengan hipotensi yang diinduksi postural yang berkaitan dengan gangguan peningkatan resistensi vaskular sistemik. Beberapa faktor seperti efek obat diuretik, deplesi volume, perdarahan akut, dan disfungsi otonom juga berkaitan dengan hipotensi ortostatik.[1,7-9]

Tabel 1. Klasifikasi Sinkop dan Etiologinya

Jenis Sinkop Etiologi
Sinkop kardiak Arritmia: bradikardia, takikardia ventikular, dan takikardia supraventricular
Kardiomiopati obstruktif: kardiomiopati hipertrofik
Penyakit katup jantung: stenosis mitral, stenosis aorta, dan stenosis pulmonal
Diseksi Aorta Akut, Hipertensi pulmonal, Saddle pulmonary embolus

Sinkop yang dimediasi saraf (refleks) Vasovagal: dimediasi oleh rasa takut, paparan panas, noxious stimuli (rangsangan yang berbahaya), nyeri dan stress
Situasional: dapat disebabkan oleh batuk, defekasi, rangsangan gastrointestinal, dapat juga terjadi setelah berolahraga maupun makan
Sindrom sinus karotis: Rotasi kepala atau tekanan pada karotis (misalnya, dari mencukur atau penggunaan kerah baju yang ketat) dapat menimbulkan gejala jatuh secara tiba-tiba yang seringkali tidak dapat dijelaskan
Sinkop hipotensi ortostatik Induksi obat-obatan: alkohol, obat anti-angina, obat antidepresan, obat anti-diabetes, obat anti-parkinson, diuretik, dan insulin
Sindrom postural takikardia: sering terjadi pada dewasa muda (terutama perempuan), terkait juga dengan sindrom kelelahan kronis, dan prolaps katup mitral
Deplesi volume

Sumber: dr. Eva Naomi, Alomedika, 2022.[5,8-10]

Red Flags Pingsan

Kemampuan identifikasi dan analisis red flags pada kasus sinkop sangat penting untuk dipahami agar dokter mampu membedakan pasien yang memerlukan diagnosis dan penatalaksanaan lanjutan dengan pasien yang hanya memerlukan observasi dengan skema rawat jalan.[1,8]

Berikut ini red flags yang perlu diperhatikan pada pasien pingsan atau sinkop:

  • Sinkop yang sebelumnya disertai dengan adanya gejala kardiopulmonal, seperti nyeri dada, dyspnea, orthopnea, ataupun edema tungkai.
  • Sinkop dengan adanya palpitasi yaitu rasa tidak nyaman secara subjektif akibat pulsasi jantung yang berlebihan.
  • Sinkop dengan diaforesis dan sebelumnya disertai dengan nyeri dada atipikal ataupun nyeri kepala, dyspnea, mual-muntah, pusing, dan fatigue.
  • Sinkop yang disertai dengan adanya hipotensi, takikardia, nadi yang teraba lemah hingga tidak teraba, akral dingin, sianosis, serta urine output yang berkurang
  • Sinkop dengan riwayat trauma maupun adanya tanda perdarahan atau dehidrasi.
  • Sinkop yang disertai dengan peningkatan tekanan vena jugularis, hipotensi, pulsus paradoksus, dan hilangnya bunyi jantung.
  • Pasien dengan gambaran elektrokardiografi yang abnormal.
  • Pasien dengan riwayat penyakit hipertensi, penyakit katup jantung maupun penyakit jantung struktural.
  • Riwayat keluarga dengan kematian mendadak ataupun sinkop berulang
  • Riwayat sinkop yang berulang pada pasien, terutama saat pasien sedang beraktivitas.
  • Pasien dengan usia ≥ 50 tahun.[1,5-10]

The San Francisco Syncope Rule telah mengeluarkan pedoman stratifikasi risiko untuk membantu dokter dalam melakukan evaluasi dan mengambil keputusan untuk observasi dan rawat inap atau rawat jalan pada pasien sinkop yang didasarkan pada kemungkinan outcome klinis yang buruk pada pasien dalam jangka pendek. Pedoman tersebut menegaskan bahwa pasien yang berisiko tinggi harus menjalani rawat inap untuk evaluasi lebih lanjut. Tabel di bawah ini mendeskripsikan stratifikasi risiko pada pasien sinkop.[6,8-11]

Tabel 2. Stratifikasi Risiko Pasien Sinkop

Risiko Tinggi (disarankan pasien untuk menjalani rawat inap di rumah sakit)*
Riwayat klinis sugestif adanya sinkop aritmia (seperti sinkop saat berolahraga, palpitasi, atau sinkop tanpa peringatan maupun prodromal).
Adanya komorbid seperti anemia berat atau kelainan elektrolit.
Gambaran elektrokardiografi ataupun riwayat elektrokardiografi yang menunjukkan sinkop aritmia.
Riwayat keluarga dengan kematian mendadak.
Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg).
Usia ≥ 50 tahun, terutama pasien usia lanjut.#

Penyakit jantung struktural yang parah, gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner, maupun penyakit arteri.

Risiko Rendah (disarankan pasien menjalani evaluasi rawat jalan)***

Usia < 50 tahun#

Tidak terdapat riwayat penyakit kardiovaskular
Temuan hasil atau gambaran elektrokardiografi normal
Gejala yang konsisten dengan sinkop hipotensi yang diperantarai saraf atau ortostatik
Tidak terdapat temuan gejala kardiopulmonal ataupun gejala kardiovaskular yang berat

Keterangan:

* ___ pasien berisiko tinggi jika salah satu kriteria terpenuhi.

# ___ ambang batas usia yang berbeda telah digunakan dalam studi untuk pengambilan keputusan. Usia yang lebih tua sebagian besar mencerminkan kesehatan kardiovaskular pasien.

***___ pasien berisiko rendah hanya jika semua kriteria terpenuhi.

Sumber: dr. Eva Naomi, Alomedika, 2022.[6,8-11]

Sekilas tentang Manajemen Pasien dengan Red Flags Pingsan

Manajemen pasien dengan red flags pingsan atau sinkop dimulai dari anamnesis serta pemeriksaan fisik dan penunjang yang terarah untuk menentukan etiologi dan tata laksana yang sesuai. Penatalaksanaan sinkop disesuaikan dengan penyebab yang mendasarinya (underlying cause/disease). Morbiditas dan mortalitas sinkop umumnya rendah kecuali pada sinkop kardiak, sehingga identifikasi penyebab sinkop pada pasien merupakan bagian penting dari penatalaksanaan.[8-10]

Anamnesis

Anamnesis yang terperinci akan memudahkan proses evaluasi sinkop dan hampir 50% penyebab kasus sinkop pada pasien dapat ditegakkan melalui anamnesis.  Anamnesis pasien sinkop harus berfokus pada lima elemen kunci, yaitu:

  1. Apakah hilangnya kesadaran terjadi saat pasien beraktivitas atau saat istirahat?
  2. Apakah terdapat riwayat penyakit kardiovaskular, riwayat trauma sebelum sinkop terjadi, maupun riwayat sinkop yang berulang pada pasien?
  3. Apakah terdapat gambaran klinis yang menyertai sinkop dan yang dapat menunjukkan penyebab spesifik sinkop (seperti gejala kardiopulmonal maupun gejala neurologis)?
  4. Adakah penggunaan obat-obatan pada pasien yang dapat menyebabkan keadaan sinkop?
  5.  Adakah riwayat penyakit kardiovaskular, sinkop, maupun kematian mendadak pada keluarga pasien?[8,10]

Riwayat penggunaan obat-obatan pada pasien sinkop penting untuk dievaluasi karena beberapa jenis obat-obatan berkontribusi dalam kasus sinkop melalui mekanisme hipotensi ortostatik, sedasi, bradikardia simtomatik, atau pemanjangan interval QT. Anamnesis yang dilakukan juga harus membantu dalam mengklasifikasikan pasien sinkop sebagai risiko rendah atau tinggi.[8-10]

Pemeriksaan Fisik

Umumnya pasien dengan sinkop akan memiliki temuan pemeriksaan fisik yang normal, kecuali adanya keadaan trauma yang mendahului kondisi sinkop ataupun trauma yang timbul dari peristiwa sinkop. Pemeriksaan fisik pasien sinkop harus berfokus pada tanda-tanda vital awal; pengukuran tekanan darah untuk menilai adanya hipotensi ortostatik,  serta tanda-tanda vaskular denyut nadi dan karotis untuk menilai adanya kemungkinan sinkop kardiak.

Selain itu, pemeriksaan fisik jantung dan paru diperlukan untuk menilai adanya kelainan kardiopulmonal. Pemeriksaan akral dan capillary refill time/ CRT diperlukan untuk menilai perfusi ke jaringan. Pemeriksaan neurologis juga diperlukan dalam kasus sinkop, dimana setiap temuan neurologis fokal pada pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya lesi pada sistem saraf pusat.[8-12]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium pada pasien sinkop memiliki hasil diagnostik yang rendah dan idealnya dilakukan apabila terdapat indikasi klinis. Pemeriksaan laboratorium dapat membedakan sinkop dari dugaan etiologi non-traumatik lainnya yang dapat menimbulkan kondisi hilangnya kesadaran.

Peningkatan troponin dan kadar brain natriuretic peptide telah terbukti dapat memprediksi kemungkinan risiko tinggi dan hasil klinis yang buruk pada pasien sinkop yang secara klinis dicurigai memiliki penyakit kardiovaskular.[8,11]

Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) umumnya memiliki hasil diagnostik yang rendah, tetapi pemeriksaan ini tetap direkomendasikan untuk semua pasien dengan sinkop. Meskipun aritmia sulit untuk terdeteksi pada pemeriksaan EKG tunggal, namun kelainan iskemik, struktural, atau konduksi pada jantung dapat diidentifikasi. Setiap kelainan atau perubahan dari baseline EKG dapat meningkatkan risiko aritmia atau kematian dalam satu tahun setelah kejadian sinkop.[8,10]

Pemeriksaan echocardiography sangat penting untuk mengevaluasi dugaan kelainan struktural pada jantung, meskipun umumnya memiliki hasil diagnostik yang rendah. Dua penelitian w melaporkan bahwa echocardiography berguna secara klinis pada pasien dengan sinkop terutama jika terdapat riwayat penyakit jantung, temuan hasil EKG yang abnormal, atau dugaan penyakit katup jantung yang signifikan.

Pemantauan jantung berkelanjutan adalah standar diagnostik untuk menetapkan korelasi antara gejala dan temuan EKG. Pemantauan dilakukan dengan monitor Holter ECG (umumnya hingga 72 jam), perekam loop eksternal (biasanya empat hingga enam minggu jika diperlukan), dan perekam loop implan (hingga tiga tahun jika diperlukan).[8,12]

Tata Laksana

Tata laksana harus disesuaikan dengan etiologi yang ditemukan. Kebanyakan pasien bisa diedukasi mengenai red flags untuk deteksi dini jika terjadi kejadian sinkop ulang.

Bila terdapat kondisi aritmia pada pasien sinkop, maka stabilisasi keadaan umum diperlukan serta apabila memungkinkan lakukan konversi irama jantung menjadi irama sinus. Apabila konversi ke irama sinus tidak dapat dilakukan, dapat dipertimbangkan terapi rate control, antikoagulan, dan kateterisasi sesuai penyebab aritmia. Konsultasi dengan ahli kardiologi dapat dipertimbangkan untuk evaluasi lanjut penyebab yang mendasari dan penatalaksanaan lanjutan.[10-12]

Apabila pasien sinkop memiliki hasil temuan EKG yang normal, perlu dilakukan evaluasi dan stratifikasi risiko serta observasi yang sesuai indikasi. Observasi umumnya dilakukan dengan monitor Holter ECG dalam jangka waktu 72 jam.[8,10-12]

Sementara itu, penatalaksanaan pasien sinkop dengan EKG yang normal seperti pada sinkop yang dimediasi saraf maupun hipotensi ortostatik meliputi edukasi untuk menghindari pemicu potensial, penggunaan obat-obatan, modifikasi gaya hidup, informasi mengenai transisi perlahan dari posisi terlentang atau duduk ke berdiri, serta meningkatkan asupan cairan dan natrium. Lakukan reassurance yang baik dan penatalaksanaan penyakit yang mendasari sinkop.[10-12]

Referensi