Risiko dan Manfaat Withdrawal Terapi Antihipertensi pada Lansia

Oleh :
dr. Qorry Amanda, M.Biomed

Withdrawal atau penghentian obat antihipertensi pada lansia yang mengalami hipertensi jarang dilakukan di praktik karena kecemasan terhadap risiko kardiovaskular yang akan didapat pasien. Di sisi lain, penggunaan obat antihipertensi juga dikaitkan dengan bahaya (harm), termasuk timbulnya reaksi obat yang merugikan, interaksi obat-obat atau obat-penyakit, dan peningkatan beban finansial terkait obat.[1,2]

Obat Antihipertensi Sering Diberikan Seumur Hidup Pada Pasien

Hipertensi mempengaruhi lebih dari 60% individu yang berusia 65 tahun ke atas. Hipertensi merupakan faktor risiko utama penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, seperti infark miokard, stroke, hingga penurunan kognitif. Oleh sebab itu, obat antihipertensi (OAH) umumnya diberikan seumur hidup pada pasien untuk menjaga target tekanan darah optimal.

WithdrawalAntihipertensi

Di lain pihak, penggunaan obat antihipertensi pada populasi lansia meningkatkan risiko interaksi obat-obat akibat seringnya polifarmasi pada lansia, serta interaksi obat-penyakit karena seringnya pasien lansia mengalami komorbiditas multipel. Obat antihipertensi juga dapat menimbulkan berbagai efek samping yang merugikan, termasuk pusing, lelah, dan peningkatan risiko jatuh.[2-4]

Risiko dan Manfaat Withdrawal Obat Antihipertensi

Dalam sebuah percobaan prospektif kecil (2023) yang melibatkan 16 pasien, disimpulkan bahwa withdrawal terapi antihipertensi dapat dilakukan tetapi hanya pada pasien tertentu saja. Dalam studi ini, ketika dilakukan wawancara pada subjek studi, kebanyakan pasien mengaku enggan menghentikan terapi antihipertensi karena merasa cemas.[1]

Bukti yang Mendukung Manfaat Withdrawal Antihipertensi pada Lansia

Tinjauan Cochrane (2020) yang mengevaluasi 6 uji klinis dengan total 1073 partisipan, melaporkan bahwa penghentian konsumsi obat antihipertensi pada populasi pasien lansia tidak terbukti meningkatkan risiko infark miokard, stroke, rawat inap, ataupun kematian. Dalam studi ini, penghentian terapi antihipertensi pada pasien lansia juga tidak ditemukan menyebabkan peningkatan tekanan darah bermakna pada pasien. Selain itu, kebanyakan pasien pada kelompok withdrawal tidak perlu memulai kembali terapi mereka.[2]

Bukti yang Melaporkan Risiko Akibat Withdrawal Antihipertensi pada Lansia

Meski begitu, terdapat sebuah studi di Brazil yang menyimpulkan bahwa withdrawal terapi antihipertensi meningkatkan mortalitas kardiovaskular hingga 3 kali lipat dibandingkan dengan yang tetap mengonsumsi terapi antihipertensi dalam jangka panjang.[3]

Studi lain juga menyimpulkan bahwa pasien lansia yang menjalani withdrawal antihipertensi mengalami peningkatan efek merugikan, termasuk sinkop dan rasa melayang (lightheaded). Studi ini melibatkan 975 partisipan yang berusia 60-80 tahun, serta menemukan adanya peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 4,59 mmHg pada pasien yang menjalani penghentian terapi antihipertensi.[7]

Cara Melakukan Withdrawal Terapi Antihipertensi pada Lansia

Berikut ini adalah beberapa langkah yang perlu dilakukan dokter sebelum melakukan withdrawal antihipertensi pada pasien lansia.[1,2,3,5]

Mengidentifikasi Pasien yang Memerlukan Withdrawal Terapi Antihipertensi

Usia pasien lansia yang layak dipertimbangkan untuk menjalani withdrawal terapi antihipertensi adalah ≥ 80 tahun. Hal ini karena pada pasien yang sangat tua (berusia ≥ 80 tahun), kepatuhan menjalani terapi medikamentosa menurun.[1,3]

Selain itu, terdapat suatu hipotesis bahwa hipertensi pada lansia merupakan mekanisme protektif pada usia tua. Penurunan kognitif dan hipotensi ortostatik pada lansia memburuk seiring dengan lebih rendahnya tekanan darah diastolik pasien, sehingga terapi antihipertensi dapat mempengaruhi hal tersebut.[3]

Selain usia, pasien yang mengalami efek samping serius atau berisiko tinggi mengalami efek samping serius juga perlu dipertimbangkan untuk menjalani withdrawal terapi antihipertensi. Efek samping serius dapat berupa sinkop, terjatuh, atau gagal ginjal akut.[2,5]

Mengukur Tekanan Darah

Tekanan darah yang dapat dipertimbangkan menjalani withdrawal antihipertensi adalah tekanan darah sistolik di bawah 140 mmHg bila berusia ≤ 80 tahun dan di bawah 150 mmHg bila berusia ≥ 80 tahun. Tekanan darah harus dipastikan berada pada ambang yang aman sesuai pedoman klinis sebelum memutuskan mulai melakukan withdrawal pada pasien.[5,6]

Mengidentifikasi Jenis Obat Antihipertensi yang Dapat Dihentikan Segera dan Mana yang Masih Harus Dilanjutkan

Beberapa obat yang berpotensi dapat dihentikan segera adalah:

  • Golongan penyekat-alfa, seperti prazosin, terazosin
  • Golongan diuretik thiazid pada pasien yang mengalami gout

  • Golongan penyekat beta yang dikombinasi dengan verapamil

  • Golongan penyekat beta pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)

  • Golongan penyekat kanal kalsium non-dihidropiridin, seperti diltiazem atau verapamil, pada pasien yang memiliki kondisi gagal jantung

Beberapa obat yang tidak dianjurkan untuk withdrawal total adalah:

  • Penyekat-beta pada pasien yang memiliki kondisi atrial fibrilasi atau left ventricular systolic dysfunction

  • Diuretik thiazid pada pasien yang memiliki gagal jantung
  • Angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin receptor blockers (ARB) pada pasien yang memiliki gagal jantung akibat left ventricular systolic dysfunction

Bila pasien mendapatkan banyak jenis terapi antihipertensi, urutan melakukan withdrawal sebaiknya dimulai dengan diuretik kuat atau antagonis aldosteron atau centrally acting drugs atau penyekat-alfa. Selanjutnya, obat yang dapat dihentikan adalah penyekat beta, dilanjutkan dengan thiazid dan diuretik sejenisnya, ACEI atau ARB, dan penyekat kanal kalsium.[5]

Melakukan Withdrawal

Penghentian konsumsi obat antihipertensi dapat dilakukan secara penuh atau parsial. Jika dilakukan secara penuh, maka pasien tidak mengonsumsi obat antihipertensi sama sekali. Jika dilakukan secara parsial, maka pasien menjalani penurunan dosis dengan atau tanpa dilakukannya terapi intermiten.[1]

Melakukan withdrawal dimulai dengan menghentikan satu jenis golongan obat antihipertensi dan dilakukan pengamatan selama 4 minggu terlebih dahulu sebelum memutuskan melakukan withdrawal jenis antihipertensi lain. Hal ini penting dilakukan guna memastikan pasien tidak mengalami kenaikan tekanan darah mendadak.

Khusus untuk penyekat beta, seperti propranolol, disarankan untuk menurunkan dosisnya terlebih dahulu alih-alih langsung menghentikannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya fenomena rebound adrenergic hypersensitivity.[5]

Melakukan Follow Up dan Penyesuaian

Dokter harus memantau tekanan darah pasien setelah 4 minggu dimulainya withdrawal. Bila terjadi kenaikan tekanan darah, dokter dapat memberikan kembali obat antihipertensi yang sebelumnya dicoba untuk withdrawal dalam dosis yang lebih kecil dibanding sebelumnya.[5]

Kesimpulan

Penggunaan obat antihipertensi pada populasi pasien lansia berkaitan dengan banyak potensi kerugian, termasuk risiko efek samping, interaksi obat-obat atau obat penyakit, maupun peningkatan beban biaya medis. Oleh sebab itu, penghentian terapi antihipertensi atau withdrawal dianggap masuk akal untuk dipertimbangkan pada pasien lansia.

Bukti ilmiah yang tersedia masih kurang kuat untuk mendukung atau menolak penerapan withdrawal antihipertensi pada lansia. Secara garis besar, withdrawal antihipertensi dapat dilakukan dengan seleksi pasien, misalnya pada lansia yang mengalami efek samping berat akibat antihipertensi atau mereka yang berusia di atas 80 tahun. Withdrawal juga perlu dilakukan secara bertahap dan dengan pengawasan klinis agar tidak terjadi efek merugikan ataupun rebound tekanan darah.

Referensi