Bahaya Polifarmasi pada Pasien Lansia

Oleh :
dr.Eva Naomi Oretla

Bahaya pemberian banyak obat atau polifarmasi pada pasien lansia harus dipahami oleh dokter yang berwenang memberikan resep. Polifarmasi sering ditemukan pada populasi lansia, yaitu usia >60 tahun. Prevalensi polifarmasi mengalami peningkatan secara substansial seiring dengan bertambahnya usia, terlebih pada pasien dengan penyakit kronis.[1]

Proses homeostenosis pada pasien lansia menyebabkan disfungsi berbagai sistem organ, kondisi multipatologi, dan penurunan kemampuan toleransi terhadap obat-obatan. Kompleksitas pemberian obat pada pasien lansia merupakan suatu tantangan, yang membutuhkan pertimbangan antara potensi bahaya dan manfaat dari semua terapi medikamentosa. Beberapa penelitian melaporkan bahwa terdapat hubungan antara polifarmasi dengan peningkatan risiko adverse drug reaction, mengurangi kepatuhan terapi, dan peningkatan biaya pengobatan.[1,2,6,9]

shutterstock_1691236459-min

Kondisi Multipatologi pada Pasien Lansia dan Polifarmasi

Kondisi multipatologi lebih sering dijumpai pada pasien lansia dibandingkan pasien usia muda, oleh karena itu polifarmasi merupakan hal yang umum terjadi pada pasien lansia. Pasien lansia sering memiliki satu penyakit atau lebih, mengalami penurunan fungsi organ, dan dapat disertai dengan masalah psikologi, sosial ekonomi, maupun lingkungan. [3]

Analisis deskriptif dari sebuah penelitian retrospektif, dengan studi cross-sectional pada 3.009 pasien lansia berusia ≥65 tahun, menunjukkan bahwa 55% pasien mendapatkan terapi polifarmasi. Kesimpulan penelitian ini menyebutkan bahwa pemberian polifarmasi pada pasien lansia terbanyak disebabkan oleh komorbid pada sistem kardiovaskuler dan endokrin, yaitu sebesar  83,9%.[3]

Penelitian lain, yang melibatkan 310 pasien lansia dengan usia ≥65 tahun, menunjukkan sebanyak 166 pasien (53,5%) mendapatkan terapi polifarmasi. Hasil analisis multivariate pada penelitian tersebut menunjukkan asosiasi signifikan independen terapi polifarmasi dijumpai pada pasien dengan penyakit arteri koroner, diabetes melitus, demensia, hipertensi, penyakit paru obstruktif kronik, gagal jantung, serta atrial fibrilasi.[4]

Definisi dan Risiko Buruk Polifarmasi

Terdapat beberapa definisi untuk istilah polifarmasi, di antaranya penggunaan empirik lima obat atau lebih; pemberian resep obat yang melebihi indikasi klinis; atau penggunaan obat-obatan yang di antaranya tidak diperlukan Klasifikasi risiko buruk polifarmasi meliputi tiga tipe, yaitu:

  1. Duplication (penggandaan): pemberian dua obat dengan efek yang sama secara bersamaan, dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping obat

  2. Opposition (berlawanan): pemberian dua obat dengan efek yang berlawanan dan diberikan secara bersamaan, dapat mengakibatkan penurunan efektivitas salah satu obat atau keduanya

  3. Alteration (perubahan): pemberian dua obat yang dapat merubah performa farmakokinetik suatu obat akibat obat yang lain[3,7]

Tinjauan Farmakokinetik dan Farmakodinamik pada Pasien Lansia

Pasien lansia mengalami penurunan kapasitas fungsional pada tingkat seluler maupun tingkat organ, serta ketidakstabilan status fisik dan kimiawi yang menyebabkan perubahan pada farmakokinetik dan farmakodinamik. Farmakokinetik dan farmakodinamik dalam terapi medikamentosa berfungsi untuk memprediksi kadar obat plasma dan efek obat. Perubahan farmakokinetik obat pada pasien lansia meliputi penurunan absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat.[8.9]

Perubahan Homeostasis Pasien Lansia

Perubahan homeostasis pada pasien lansia termasuk penurunan aliran darah, volume organ hepar, serta metabolisme oksidatif oleh enzim sitokrom P450 (CYP). Kondisi ini menyebabkan perubahan distribusi lemak tubuh dan penurunan serum albumin, sehingga akan memberikan dampak negatif pada proses metabolisme obat di hepar dan dapat meningkatkan angka kejadian adverse drug reaction.[3,8]

Selain itu, perubahan homeostasis pada lansia juga berupa ketidakseimbangan elektrolit sehingga dapat menurunkan klirens obat. Penurunan kemampuan organ renal berpengaruh menghambat eliminasi obat khususnya untuk water-soluble drugs, memperpanjang waktu paruh obat, serta meningkatkan risiko adverse drug reaction dan toksisitas obat.[3,8]

Penurunan Respon Seluler Pasien Lansia

Respon seluler yang menurun pada pasien lansia menyebabkan perubahan farmakodinamik. Pada pasien lansia, penggunaan obat-obatan yang merangsang proses biokimiawi seluler dapat menyebabkan penurunan intensitas pengaruh obat sehingga diperlukan dosis yang lebih besar. Penggunaan obat dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan efek samping obat yang lebih besar.[3,8]

Sebaliknya, penggunaan obat-obatan yang menghambat proses biokimiawi seluler pada pasien lansia akan memperlihatkan efek penggunaan obat yang lebih besar. Pasien lansia menjadi lebih sensitif terhadap penggunaan dan efek samping medikamentosa, terutama golongan obat antihistamin, antimuskarinik, antikolinergik, dan antipsikotik.[2,3,8]

Konsekuensi Terapi Polifarmasi pada Pasien Lansia

Terapi polifarmasi bertujuan memberikan manfaat untuk prognosis dan kelangsungan hidup pasien lansia yang lebih baik. Namun, terapi polifarmasi berpotensi untuk menimbulkan sindrom lansia, adverse drug reaction, prescribing cascade, dan interaksi obat. [8,13]

Potentially inappropriate medications (PIM) dapat terjadi pada terapi polifarmasi dengan peresepan berlebihan (overprescribing), peresepan kurang (underprescribing), dan peresepan yang salah (misprescribing). PIM harus dihindari pada pasien lansia.[8,14]

Sindrom Lansia

Penggunaan obat-obatan golongan sedatif, hipnosis, antikolinergik, antihipertensi, antidepresan, dan antidiabetes dapat menimbulkan sindrom lansia, atau disebut juga frailty syndrome. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan  yang signifikan antara polifarmasi dan frailty syndrome. Contoh sindrom lansia adalah:

  • Inkontinensia urin, akibat penggunaan obat golongan alpha blocker, antidepresan, sedatif seperti benzodiazepin, dan diuretik

  • Konstipasi, akibat penggunaan obat golongan antikolinergik, opioid, antidepresan trisiklik, calcium channel blockers, dan suplemen kalsium

  • Delirium, akibat pengunaan obat golongan antidepresan, antipsikosis, dan antiepilepsi[9,11,12]

Adverse Drug Reaction

Risiko adverse drug reaction (ADR) pada pasien lansia lebih tinggi dibandingkan pasien dewasa muda. Sebuah penelitian menunjukkan sebanyak 35% pasien lansia rawat jalan dan 40% pasien lansia rawat inap mengalami  ADR. Beberapa medikamentosa yang terkait dengan ADR adalah golongan obat antikoagulan, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), kardiovaskular, diuretik, antibiotik, antikonvulsan, dan obat-obatan yang dapat menyebabkan hipoglikemia.[8,12]

Adverse drug reaction dapat diklasifikasikan menjadi 2 tipe, yaitu tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A merupakan ADR yang dapat diprediksi atau terkait dengan mekanisme kerja suatu obat, seperti perdarahan pada penggunaan obat warfarin. Reaksi tipe B merupakan ADR yang  tidak dapat diprediksi, termasuk anafilaksis atau sindrom Stevens-Johnson. Prevalensi risiko ADR adalah 15% pada penggunaan 2 jenis obat, 58% pada penggunaan 5 jenis obat, dan 82% pada penggunaan >7 jenis obat.[8,11,12]

Prescribing Cascade

Prescribing cascade adalah pemberian obat untuk mengatasi gejala yang ditimbulkan akibat efek samping obat sebelumnya. Masalah terapi polifarmasi yang disebabkan oleh prescribing cascade sering ditemukan pada pasien lansia dengan penyakit kronis multipel.[8,13]

Salah satu contoh prescribing cascade adalah penggunaan amlodipine dan gabapentin pada pasien lansia dapat menyebabkan terjadinya edema, sehingga pasien mendapatkan terapi furosemide. Efek samping dari penggunaan furosemide adalah hipokalemia, sehingga pasien diberikan suplemen kalium. Pemberian polifarmasi akibat prescribing cascade tersebut dapat menyebabkan kompleksitas penentuan terapi obat yang benar-benar diperlukan untuk mengatasi permasalahan medis yang utama, dibandingkan mengatasi efek samping terkait obat.[8,12,13]

Interaksi Antar Obat

Interaksi antar obat dapat menghambat efektivitas pengobatan, menyebabkan kegagalan terapi, serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien lansia. Faktor yang mempengaruhi interaksi obat pada pasien lansia adalah perubahan yang terjadi pada proses farmakokinetik dan farmakodinamik. Interaksi antar obat terjadi ketika efek satu obat diubah oleh pemberian obat lain secara bersamaan maupun terpisah.[6,13,15]

Sebuah penelitian retrospektif cross-sectional dengan analisis regresi logistik multivariabel melibatkan 94 pasien lansia dengan gangguan mental yang menerima polifarmasi untuk sistem saraf, kardiovaskular, dan respirasi. Penelitian ini menunjukkan hasil prevalensi interaksi antar obat sebesar 74,5% pada pasien rawat inap, dan 80,8% pada pasien rawat jalan. Ditemukan interaksi antar obat yang beresiko tinggi, yaitu sindrom serotonin dan perpanjangan interval QT pada elektrokardiogram.[2]

Terdapat kriteria BEERS yang secara khusus membahas obat-obatan yang biasanya diresepkan pada populasi umum, namun menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada pasien lansia. Kriteria BEERS pada pasien lansia penting untuk diketahui dokter dengan tujuan mencegah adverse drug reaction.[16]

Beberapa kombinasi obat merupakan "obat yang tidak boleh digabungkan" karena memiliki interaksi yang berbahaya, yaitu karbamazepin-nifedipin, warfarin-turunan asam asetat, haloperidol-escitalopram, dan ginkgo biloba-warfarin. Interaksi antar obat ini dapat meningkatkan risiko perdarahan dan konsentrasi obat di dalam plasma. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan adanya risiko interaksi obat dengan obat simetidin, sukralfat, ketokonazol, omeprazole, fenobarbital, dan clomipramine.[11,12,16]

Kesimpulan

Polifarmasi dapat memberikan konsekuensi negatif seperti adverse drug reaction, sindrom lansia, prescribing cascade, dan interaksi obat. Konsekuensi tersebut dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien lansia. Perubahan dalam proses farmakokinetik dan farmakodinamik pada pasien lansia dapat menyebabkan perubahan kadar obat plasma, peningkatan toksisitas obat, serta penurunan indeks terapi obat.

Diperlukan pendekatan yang mencakup verifikasi, klarifikasi, dan rekonsiliasi untuk mencegah resiko bahaya polifarmasi pada pasien lansia. Verifikasi adalah mendapatkan riwayat pengobatan yang jelas dan tepat;  klarifikasi adalah memastikan bahwa pemberian jenis dan dosis obat sesuai dengan pedoman; dan rekonsiliasi adalah dokumentasi perubahan pada pemberian terapi medikamentosa yang lengkap dan detail.

Dokter perlu berpikir dua kali sebelum meresepkan polifarmasi untuk pasien lansia, karena harus  memahami potensi interaksi, kontraindikasi, dan efek samping obat. Dokter sebaiknya secara rutin melakukan tinjauan pengobatan pasien lansia untuk memastikan tidak terjadi sindrom lansia, adverse drug reaction, dan prescribing cascade sehingga pasien lansia dapat terlindungi.

Referensi