Penatalaksanaan Osteoporosis
Penatalaksanaan osteoporosis bertujuan untuk mencegah kehilangan tulang lebih lanjut dan mencegah terjadinya fraktur patologis. Insidensi fraktur panggul dapat berkurang 20-25% jika osteoporosis ditangani dengan tepat. Pilihan penatalaksanaan terdiri atas medikamentosa dan nonmedikamentosa.[14,15]
Tata laksana medikamentosa meliputi hormonal atau nonhormonal. Pada prinsipnya terapi bekerja menghambat resorpsi tulang atau meningkatkan pembentukan tulang.
Terapi Hormonal
Terapi hormonal meliputi selective estrogen receptor modulators, conjugated estrogens dengan bazedoxifene, terapi testosterone, kalsitonin, analog hormon paratiroid, dan estrogen-progestin.[1,4]
Selective Estrogen Receptor Modulators
Raloxifene merupakan Selective Estrogen Receptor Modulators (SERM) memiliki efek agonis estrogen dalam menjaga kepadatan tulang dengan menghambat resorpsi tulang. Benefit raloxifene yakni obat ini memiliki efek selektif antagonis terhadap jaringan payudara sehingga dapat dipertimbangkan untuk pasien osteoporosis yang juga berisiko menderita kanker payudara.[4] American Association of Clinical Endocrinologists (AACE) merekomendasikan obat ini untuk pasien dengan risiko fraktur spinal. Dosis raloxifene untuk terapi maupun pencegahan osteoporosis 60 mg PO per hari.[5]
Conjugated Estrogens/Bazedoxifen
Kombinasi antara estrogen terkonjugasi dengan Bazedoxifen disetujui oleh FDA untuk terapi osteoporosis. Bazedoxifene mengurangi risiko hiperplasia endometrium. Kombinasi ini bertujuan mencegah efek terhadap endometrium akibat pemberian estrogen. Kombinasi obat ini direkomendasikan untuk pencegahan osteoporosis dan terapi gejala vasomotor pada populasi wanita post menopause tanpa riwayat histerektomi. Studi klinis menunjukkan kombinasi obat ini dibandingkan dengan plasebo pada populasi menopause meningkatkan kepadatan massa tulang spinal dan pinggul.[4]
Kalsitonin
Studi menunjukkan kalsitonin dapat meningkatkan kadar total kalsium tubuh. Studi klinis terandomisasi menunjukkan pemberian kalsitonin 200 IU per hari menurunkan insidensi fraktur vertebra baru pada wanita post menopause penderita osteoporosis.[4] Pemberian kalsitonin selama 4 minggu direkomendasikan untuk pasien fraktur kompresi spinal osteoporotik cedera akut (hingga hari kelima setelah gejala) tanpa defisit neurologis.[25] Di Indonesia, tersedia kalsitonin salmon sintetik (salkatonin) 50 IU.[26]
Analog Hormon Paratiroid
Analog hormon paratiroid rekombinan, Teripatide, mampu menstimulasi aktivitas osteoblas sebagaimana aksi parathormon. Pada wanita post menopause penderita osteoporosis yang tidak dapat diberikan terapi oral dengan riwayat fraktur patologis atau berisiko tinggi mengalami fraktur dapat diberikan teriparatide. Pemberian 20 mcg teriparatide, sekali per hari. Studi menunjukkan osteosarkoma timbul pada hewan uji pada pemberian teripatide tetapi studi pada manusia tidak menunjukkan kaitannya.[4]
Analog hormon paratiroid lainnya yakni abaloparatide. Studi menunjukkan abaloparatide menurunkan insidensi fraktur vertebra baru hingga 86% maupun fraktur nonvertebra hingga 43%.[4]
Estrogen-Progestin
Terapi pengganti hormonal berupa gabungan estrogen dan progestin dahulu digunakan untuk osteoporosis akan tetapi studi terkini menemukan dampak buruk, berupa peningkatan risiko kanker payudara, kejadian kardiovaskular, stroke, dan tromboemboli vena sehingga tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama.[18] American College of Physician 2017 melarang terapi estrogen, kombinasi estrogen/progesterone maupun raloxifen pada wanita.[19]
Testosteron
Terapi testosteron direkomendasikan untuk terapi osteoporosis pada pria tentunya dikombinasikan dengan terapi pencegahan fraktur lainnya. Pemberian disarankan untuk pria dengan kadar testosteron <200 ng/dL dengan risiko fraktur tinggi tetapi memiliki kontraindikasi pemberian terapi osteoporosis lainnya. Pada pria dengan kadar testosteron <200 ng/dL dan terdapat gejala atau tanda defisiensi estrogen juga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan DEXA sekalipun risiko fraktur borderline.[28]
Terapi Hormonal yang Tersedia di Indonesia
Di Indonesia, terapi hormonal untuk osteoporosis yang tersedia adalah raloxifene, teripatide, kalsitonin, kombinasi estrogen-progestin, dan testosteron.
Nonhormonal
Terapi nonhormonal meliputi bisphosphonate, denosumab, fluoride, suplementasi vitamin D, dan kalsium.
Bisphosphonate
Bisphosphonate merupakan analog pyrophosphate bekerja menghambat resorpsi tulang.[2] Bisphosphonate menghambat aktivitas osteoklas. Bisphosphonate terdiri atas alendronate, ibandronate, risedronate dan asam zoledronic acid. Studi menunjukkan keempat bisphosphonate efektif dalam mencegah fraktur.[4]
Tabel 1. Dosis Bisphosphonate [4]
Bisphosphonate | Profilaksis | Terapi |
Alendronate | 5 mg PO sekali per hari atau 35 mg PO sekali per minggu | 10 mg PO sekali per hari atau 70 mg PO sekali per minggu |
Risedronate (IR) | 5 mg PO sekali per hari atau 35 mg PO sekali per minggu | 5 mg PO sekali per hari atau 35 mg PO sekali per minggu atau 150 mg PO sekali per bulan |
Zoledronic acid | 5 mg IV tiap 2 tahun | 5 mg IV tiap 1 tahun |
Ibandronate | 2,5 mg PO sekali per hari atau 150 mg PO sekali per bulan | 2,5 mg PO sekali per hari atau 150 mg PO sekali per bulan atau 3 mg IV tiap 3 bulan |
*Pemberian alendronate dan zoledronic acid diberikan jika klirens kreatinin ≥35 mL/menit dan pemberian risedronate atau ibandronate jika klirens kreatinin ≥30 mL/menit.
American College of Physician 2017 merekomendasikan pemberian bisphosphonate untuk terapi osteoporosis pada wanita maupun pria. American College Rheumatology 2017 juga lebih menyarankan pemberian bisphosphonate pada pasien wanita menopause, pria ≥40 tahun, dewasa usia ≥30 tahun yang mengonsumsi kortikosteroid jangka panjang dibanding terapi teriparatide, denosumab atau raloxifene.[4]
Menurut data BPOM, alendronate tersedia juga dalam sediaan kombinasi natrium alendronate (70 mg) + kolekalsiferol (70 mcg) yang diindikasikan untuk penderita osteoporosis akibat menopause dengan risiko defisiensi vitamin D dengan dosis satu tablet per minggu.[26]
Denosumab
Denosumab merupakan antibodi RANKL (Receptor activator of nuclear factor kappa-Β ligand) yang bekerja menghambat interaksi RANKL sehingga menghambat aktivitas osteoklas.[4] Denosumab tersedia dalam bentuk sediaan injeksi 120 mg dalam 1,7 mL (70 mg/mL) dengan dosis injeksi 120 mg sekali/4 minggu SC pada paha, abdomen atau lengan atas. Terapi denosumab harus disertai suplementasi kalsium minimal 500 mg dan vitamin D 400 UI. Penggunaan denosumab hanya untuk dewasa, keamanan dan efektivitas pada anak belum diketahui secara pasti.[26]
Fluoride
Fluoride menstimulasi pembentukan tulang, pembentukan kristal fluorapatite, dan peningkatan densitas mineral. Kristal fluorapatite resistan terhadap resorpsi osteoklas. Selain itu, juga ditemukan efek retensi kalsium dan hiperparatiroid sekunder.[2]
Suplementasi Vitamin D dan Kalsium
Rekomendasi yang ada menyarankan suplementasi vitamin D dan kalsium secara rutin untuk mencegah risiko terjadinya fraktur. American Geriatric Society menyarankan lansia >65 tahun diberikan suplementasi vitamin D minimal 1000 IU/hari dan kalsium 1000-1200 mg/hari sedangkan Endocrine Society, Amerika Serikat, menyarankan dosis vitamin D yang lebih tinggi sebesar 1500-2000 IU.[23]
Guideline American College of Rheumatology tahun 2017 menyarankan pencegahan osteoporosis pada pemberian glukokortikoid jangka panjang berupa pemberian suplementasi kalsium 1000-1200 mg/hari dan vitamin D 600-800 IU/hari serta modifikasi gaya hidup.
Di Indonesia, kalsitriol (1,25-hidroksikolekalsiferol) tersedia dengan dosis 250 nanogram dua kali untuk pasien osteoporosis pascamenopause. Defisiensi nutrisi vitamin D walaupun jarang ditemukan pada anak tetapi suplementasi ergokalsiferol (vitamin D2) 200-400 unit dapat membantu mencegah defisiensi vitamin D.[26]
Sebaliknya, studi meta analisis tahun 2017 justru menemukan bahwa suplementasi kalsium dan vitamin D tidak bermanfaat, baik untuk menurunkan insidensi fraktur panggul, tulang belakang, nonvertebra, maupun total fraktur pada populasi lansia normal. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai apakah suplementasi vitamin D dan kalsium benar bermanfaat untuk pencegahan fraktur pada osteoporosis, populasi yang membutuhkan suplementasi ini, serta dosis optimal yang dapat diberikan.
Strontium
Strontium ranelate menjadi salah satu terapi pilihan osteoporosis pascamenopause untuk menurunkan risiko fraktur panggul dan vertebrae serta osteoporosis pada pria. Strontium ranelate meningkatkan osteogenesis dan menurunkan resorpsi tulang. Penggunaan strontium hanya pada dewasa. Dosis yang disarankan yakni 2 g/hari. Akan tetapi the European Medicines Agency tahun 2013 mengeluarkan peringatan penggunaan strontium ranelate terkait efek samping risiko kardiovasular (penyakit jantung iskemik, tromboemboli vena).[30] Di Indonesia strontium ranelat tersedia dalam sediaan oral 2 g yang harus dicampur dengan air 30 ml. Konsumsi obat ini sebaiknya malam hari sebelum tidur atau setelah 2 jam makan.[26]
Terapi Nonhormonal yang Tersedia di Indonesia
Di Indonesia, terapi nonhormonal yang tersedia di Indonesia adalah bisphosphonate (natrium alendronate, ibandronate, asam ibandronat), strontium ranelate, kalsitriol, denosumab, dan fluoride.[26]
Nonmedikamentosa
Tata laksana nonmedikamentosa meliputi pemberian edukasi, olahraga dan peningkatan aktivitas fisik, pemakaian fitting brace, serta larangan merokok dan pembatasan konsumsi alkohol.[1,9]
Olahraga dan Peningkatan Aktivitas Fisik
Latihan fisik disarankan untuk penderita osteoporosis bertujuan meningkatkan kepadatan massa tulang dan mencegah fraktur di antaranya:
- Senam osteoporosis
- Jalan kaki teratur: 50 menit/kali sebanyak 5 kali/minggu dengan kecepatan sekitar 4,5 km/jam
- Latihan kekuatan otot: latihan menggunakan barbel kecil atau mesin latih beban yang berpusat melatih daerah panggul, paha, bahu, lengan serta pergelangan tangan
- Latihan ekstensi punggung serta latihan keseimbangan dan kelincahan[9]
Latihan fisik yang dilarang untuk penderita osteoporosis meliputi:
- Aktivitas dengan pembebanan pada tulang punggung: senam aerobik benturan keras, jogging, lari, lompat
- Aktivitas dengan gerakan membungkuk serta fleksi punggung: sit-up, crunch, mendayung, meraih jari kaki
- Aktivitas dengan gerakan tungkai ke samping atau badan silang dengan menggunakan beban
- Aktivitas fisik dengan risiko jatuh tinggi
Pastikan latihan tidak di tempat yang licin untuk meminimalisir risiko jatuh.[9]
Tidak Merokok dan Konsumsi Alkohol
Anjurkan penderita osteoporosis untuk berhenti merokok dan berhenti mengonsumsi alkohol. The American Association of Clinical Endocrinologists menyarankan pembatasan alkohol maksimal 2 unit per hari.