Diagnosis Common Cold
Diagnosis common cold biasanya dapat ditegakkan hanya melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Akan tetapi, ada 3 alasan yang sering membuat diagnosis menjadi kurang jelas.
Pertama, manifestasi klinis common cold sering disertai dengan gejala faringitis dan bronkitis, yang merupakan sindrom terkait virus yang sama atau dapat juga disebabkan oleh infeksi bakteri. Alasan kedua, kondisi alergi pada saluran pernapasan juga dapat menghasilkan gejala yang sangat mirip dengan common cold. Alasan terakhir, penyakit ini sering terjadi pada bayi dan anak-anak, yang belum dapat menjabarkan keluhan yang dialami.[2]
Anamnesis
Hidung terasa kering dan nyeri tenggorokan merupakan keluhan yang sering terjadi. Keluhan ini akan diikuti oleh gejala lainnya, seperti rinorea, obstruksi nasal atau hidung tersumbat, dan bersin, yang semakin meningkat dalam 2–3 hari. Sekresi hidung awalnya bersifat cair dan bening, dan dapat berubah menjadi lebih kental dan berwarna. Keluhan-keluhan tersebut dapat mengganggu kualitas tidur dan makan.[3,6]
Keluhan lain yang dapat dijumpai akibat common cold adalah nyeri kepala, rasa tertekan pada telinga, serta berkurangnya fungsi penghidu dan pengecap. Keluhan batuk terjadi pada sekitar 30% pasien dan suara serak terjadi pada 20% pasien. Gejala sistemik, yaitu demam dan malaise jarang dialami oleh individu dewasa. Apabila terjadi, derajat demam baisanya ringan. Peningkatan suhu tubuh yang mencapai 38–39° C lebih sering dijumpai pada anak dan bayi.[3,6]
Pada bayi dan balita, keluhan rinorea merupakan keluhan yang sering muncul, sedangkan pada anak yang lebih tua, yaitu kategori usia sekolah, gejala yang umum terjadi adalah hidung tersumbat, batuk, dan pilek.[6]
Sebagian besar pasien mengalami obstruksi dan kelainan mukosa, baik pada sinus, tuba eustachius, maupun telinga tengah. Obstruksi ini merupakan faktor predisposisi infeksi bakteri sekunder, yang dapat terjadi pada 2% pasien. Infeksi juga dapat mencetuskan asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Individu yang merokok lebih rentan terkena infeksi common cold dengan gejala yang relatif lebih berat.[6]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik terkait common cold biasanya hanya terlokalisir pada daerah saluran pernapasan atas saja. Hidung tampak merah, dengan banyak sekresi serous hingga mukopurulen. Sekresi purulen merupakan hal yang wajar terjadi akibat akumulasi sel darah putih pada lokasi infeksi. Sekresi purulen tidak boleh dianggap sebagai infeksi bakteri, kecuali sekresi purulen menetap selama 10–14 hari. Mukosa hidung tampak berkilap dan biasanya tidak disertai eritema atau edema yang jelas, walaupun beberapa orang dapat mengalaminya.[3,6]
Meskipun banyak pasien mengeluhkan nyeri tenggorokan, pemeriksaan faring biasanya menunjukkan dalam batas normal, tanpa adanya eritema, eksudat, ataupun ulserasi. Jika hal tersebut ditemukan, pertimbangkan penyebab lainnya, seperti infeksi herpes simpleks, difteri, coxsackievirus A, atau grup A streptococcus.[3,6]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding common cold dapat meliputi penyakit infeksi pada saluran napas atas atau noninfeksi. Gejala common cold paling menyerupai rhinitis alergi, sinusitis akut, dan pertusis fase kataral.[3,6]
Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi memiliki gejala yang sama dengan common cold. Faktor utama yang membedakan kedua kondisi ini adalah sensasi gatal pada hidung, telinga, mata, atau palatum pada rhinitis alergi. Selain itu, pasien dengan rhinitis alergi akan menunjukkan setidaknya satu dari beberapa tanda khas alergi, yaitu nasal crease, allergic salute, allergic shiner, atau facies adenoid. Riwayat alergi dalam keluarga juga dapat membantu menegakkan diagnosis ini.[3,7,11]
Sinusitis Akut
Sinusitis dapat terjadi secara akut atau sebagai komplikasi dari common cold. Gejala umum common cold dapat dijumpai pada sinusitis akut, tetapi keluhan khas pada sinusitis dapat membedakan kedua kondisi ini. Pasien dengan sinusitis akut biasanya mengalami nyeri yang terlokalisir pada daerah sinus yang terlibat. Selain itu, sinusitis juga dapat mengakibatkan post nasal drip, nyeri pada wajah, serta batuk yang persisten.
Gejala yang menetap lebih dari 10 hari mengindikasikan adanya infeksi bakteri. Pemeriksaan CT scan sinus paranasal dapat membantu menegakkan diagnosis ini.[3,12]
Pertusis
Pertusis fase kataral juga dapat menunjukkan gejala yang sama dengan common cold. Faktor yang dapat membedakan adalah injeksi konjungtiva pada kasus ini. Selain itu, fase kataral berlangsung selama 1–2 minggu, lalu dilanjutkan dengan fase paroksismal, yang didominasi oleh batuk yang khas.[13]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada umumnya tidak diperlukan karena common cold dapat sembuh secara spontan. Pemeriksaan penunjang terkadang dapat bermanfaat dalam membedakan satu virus dengan virus lainnya atau satu. Pemeriksaaan penunjang juga dapat dilakukan untuk membedakan penyakit yang memiliki gambaran umum yang sama dengan common cold, misalnya faringitis, sinusitis, atau rhinitis alergi.
Pemeriksaan laboratorium umum, seperti darah lengkap dan laju sedimentasi eritrosit, tidak memberikan manfaat dalam penegakkan diagnosis common cold.[6]
Pemeriksaan penunjang terkait common cold yang dapat dilakukan, antara lain:
Kultur Jaringan
Isolasi virus dalam kultur jaringan merupakan gold standard untuk mengonfirmasi infeksi virus. Pemeriksaan dilakukan dengan menginkubasi virus pada suhu 33°C dan dilakukan pengamatan mengenai efek sitopatik yang disebabkan oleh virus setiap harinya. Terdapat 3 jaringan utama yang sering digunakan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi virus pernapasan, yaitu ginjal monyet yang sensitif terhadap parainfluenza dan influenza, fibroblas paru-paru janin manusia yang sensitif terhadap adenovirus dan rhinovirus, serta sel line, seperti sel HEp-2 yang sensitif terhadap adenovirus dan RSV.[2]
Meskipun pemeriksaan kultur jaringan merupakan gold standard diagnosis infeksi virus, waktu pengerjaan yang lama, yaitu 14 hari, membuat pemeriksaan ini menjadi tidak praktis secara klinis, terutama bila dibutuhkan diagnosis yang cepat untuk memulai penanganan, sehingga pemeriksaan ini jarang dilakukan.[2,6]
Antigen Testing
Terdapat 2 jenis pemeriksaan deteksi antigen, yaitu immunofluorescence assay (IFA) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Kedua pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu 24 jam sejak spesimen diterima. Pemeriksaan IFA mempunyai 2 metode, yaitu imunofluoresensi langsung dan imunofluoresensi tidak langsung, sementara pemeriksaan ELISA menggunakan enzim untuk mengikat antibodi spesifik terhadap antigen. Akan tetapi, pemeriksaan ELISA kurang sensitif dan reagennya tersedia untuk beberapa virus saja.[2]
Serologi
Pemeriksaan serologi sudah sejak lama digunakan sebagai diagnostik infeksi virus dengan cara mendeteksi antibodi dalam serum pasien. Hasil tes yang mengindikasikan infeksi baru adalah immunoglobulin-M (IgM) dan infeksi pada masa lalu adalah immunoglobulin-G (IgG). Saat ini, pemeriksaan ini juga digunakan untuk mengevaluasi respons imun terhadap vaksinasi.[2]
Teknik Molekuler
Pemeriksaan teknik molekuler dilakukan dengan menggunakan asam nukleat virus dan deteksi antigen. Terdapat 2 pemeriksaan molekuler, yaitu polymerase chain reaction (PCR) dan nucleic acid sequence-based amplification (NASBA). Pemeriksaan PCR dapat mengidentifikasi organisme target dari spesimen dengan konsentrasi asam nukleat yang rendah dalam waktu yang cepat, yaitu hitungan jam. Sedangkan NASBA merupakan teknik baru untuk mengidentifikasi virus.
Jika dibandingkan dengan kultur jaringan, waktu pengerjaan teknik molekuler lebih singkat, sehingga pemeriksaan ini lebih unggul.[2]
Pencitraan
Pemeriksaan radiologi toraks jarang biasanya tidak diperlukan. Radiografi toraks, seperti Rontgen toraks, dilakukan jika ada kecurigaan terhadap infeksi saluran pernapasan bawah, misalnya pneumonia. Pada kasus yang diduga sinusitis, Rontgen sinus atau CT scan sinus perlu dilakukan, meskipun tidak dapat membedakan penyebab infeksi apakah bakteri atau virus. Sebanyak 85% pasien dengan common cold memiliki kelainan pada pemeriksaan CT scan sinus.[6]