Penatalaksanaan Ruptur Uteri
Penatalaksanaan ruptur uteri perlu dilakukan dengan cepat dan komprehensif untuk mencegah terjadi komplikasi yang bersifat fatal. Penatalaksanaan awal adalah stabilisasi pasien, kemudian dilakukan tindakan operatif. [3,8,9]
Stabilisasi
Pada saat terdiagnosis ruptur uteri, stabilisasi kondisi ibu terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan operasi. Ketidakstabilan hemodinamik ditandai dengan tekanan sistolik < 90 mmHg atau laju nadi < 50 kali/menit. Hipovolemik merupakan penyebab utama kematian dari pasien dengan ruptur uteri. Selain itu, perhatikan tanda gawat janin dan anemia. Apabila anemia, persiapkan darah untuk transfusi. [1,3,17]
Tindakan Operasi
Tindakan operasi merupakan terapi definitif dari ruptur uteri. Pemilihan tindakan operatif yang dilakukan tergantung pada keparahan ruptur dan klinis masing-masing pasien. Dapat dilakukan tindakan repair ruptur hingga histerektomi.
Repair Ruptur
Tindakan operasi berupa repair ruptur lebih dipilih terutama pada keadaan dimana pasien masih memiliki keinginan untuk hamil lagi, low transverse uterine rupture, robekan tidak sampai ke broad ligament, serviks, atau paracolpos, pendarahan uterus mudah dikontrol, dan tidak ada tanda koagulopati secara klinis maupun laboratorium. Dilaporkan bahwa 83% pasien berespon baik dengan tindakan repair ruptur. Namun, tindakan ini memiliki kemungkinan ruptur ulang dengan insidensi 4,3%-19%. [1,3,8,9]
Histerektomi
Tindakan histerektomi karena ruptur uteri dilaporkan sebesar 3,4/10.000 persalinan. Pada wanita dengan riwayat sectio caesarea sebelumnya, tindakan histerektomi dilaporkan 4-13%.
Tindakan histerektomi dipilih pada keadaan dimana robekan mencapai broad ligament atau sangat ekstensif atau jika terjadi perdarahan yang sulit dikontrol. [5]