Diagnosis Ruptur Uteri
Diagnosis ruptur uteri merupakan tantangan bagi dokter, karena gejala klinis ruptur uteri kadang tidak spesifik. Diagnosis definitif ruptur uteri hanya dapat ditegakkan pada saat operasi. [3,4,14]
Anamnesis
Ruptur uteri bisa bersifat asimtomatis. Sebelum terjadi ruptur, pasien umumnya mengeluhkan gelisah dan nyeri pada perut bagian bawah. Pasien juga dapat mengeluhkan perdarahan pervaginam atau rasa seperti akan melahirkan.
Jika sudah terjadi ruptur, pasien umumnya merasakan lega yang diikuti dengan hilangnya rasa kontraksi pada uterus. Pasien juga bisa tidak merasakan gerakan janin.
Apabila perdarahan sangat masif, maka pasien akan mengeluhkan gejala syok seperti pusing, pingsan, atau keringat dingin. [4,5]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan bradikardia fetus saja, tanpa gejala penyerta lain. Sebelum terjadi ruptur bisa didapatkan adanya takikardia dan kontraksi uterus tetanik. Apabila dilakukan pemeriksaan Leopold, bagian janin mungkin sulit teraba. Pada beberapa pasien, misalnya dengan partus terhambat, dapat ditemukan Bandl’s ring, yang merupakan cincin retraksi patologis yang terbentuk karena penipisan segmen bawah uterus dengan penebalan dan retraksi segmen atas uterus.
Setelah terjadi ruptur, dapat ditemukan gawat janin dan partus tidak maju. Pada perabaan uterus, kontur uterus akan sulit diidentifikasi. Bisa teraba lebih dari satu benjolan, dimana yang satu adalah uterus yang berkontraksi dan beretraksi, sedangkan benjolan lainnya adalah bagian dari janin yang keluar ke kavum peritoneum.
Perdarahan akibat ruptur bisa sangat masif sehingga pasien dapat memiliki tanda syok seperti hipotensi, penurunan kesadaran, atau akral dingin. [4,5]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding ruptur uteri adalah kegawatdaruratan obstetri lain, misalnya placental abruption, atonia uteri, atau inversio uteri.
Placenta Abruption
Placenta Abruption memiliki gejala klinis yang tidak khas. Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan USG yang ditandai lepasnya plasenta dari uterus sebelum bayi dilahirkan. [15]
Atonia Uteri
Pasien dengan ruptur uteri dapat mengalami perdarahan pervaginam dan kontraksi uterus yang hilang. Secara klinis, pasien atonia uteri dapat menunjukan tanda perdarahan pervaginam juga terutama setelah kala III dari persalinan. Pada atonia uteri, gejala dapat membaik dengan pemberian uterotonika. [3,15]
Inversio Uteri
Inversio uteri terjadi bila tenaga medis melakukan regangan tali pusat secara kuat saat mengeluarkan plasenta. Hal ini menyebabkan segmen atas uterus tertarik dan terlihat pada portio atau vagina. Inversio uteri menyebabkan gangguan kontraksi uterus sehingga akan terjadi perdarahan terus menerus. Pada pemeriksaan fisik, fundus uteri tidak teraba. [3,16]
Pemeriksaan Penunjang
Pada ruptur uteri, pemeriksaan penunjang tidak boleh menyebabkan penundaan penanganan pasien. Salah satu pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah cardiotocograph. Hasil cardiotocograph abnormal dapat ditemukan pada 55-87% kasus ruptur uteri, dimana bradikardia adalah temuan tersering. Tidak ada pola kontraksi uterus tertentu yang patognomonik terhadap ruptur uteri.
Pemeriksaan darah berupa hemoglobin dan golongan darah dibutuhkan untuk mempersiapkan transfusi. [4,5]