Diagnosis Hiperparatiroid
Diagnosis hiperparatiroid mungkin sulit ditegakkan hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik karena gejalanya tidak spesifik. Pemeriksaan penunjang seperti tes kalsium serum, fosfat serum, dan kadar hormon paratiroid dapat membantu. Selain itu, diagnosis juga dapat didukung oleh pemeriksaan radiologi, seperti sonografi, multislice computerized tomography, dan magnetic resonance imaging.
Anamnesis
Pada hiperparatiroid primer, pasien dapat bersifat asimtomatik. Sebagian gejala yang ditemukan merupakan komplikasi pada organ ginjal (batu ginjal), tulang (fraktur, osteitis fibrosa cystica, dan nyeri tulang), serta gejala hiperkalsemia. Lalu, saat dilakukan pemeriksaan penunjang, secara tidak sengaja ditemukan hiperkalsemia.[2,8]
Pasien perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit batu ginjal, nyeri tulang, mialgia, kelemahan otot, dan gejala depresi. Riwayat konsumsi obat-obatan seperti diuretik thiazide atau suplementasi kalsium dan vitamin D juga perlu digali. Sindrom familial harus dipertimbangkan bila hiperparatiroid primer didiagnosis di usia dini atau bila ada riwayat hiperkalsemia dalam keluarga, adenoma hipofisis, tumor sel pulau pankreas, feokromositoma, atau kanker tiroid meduler.[2]
Pada hiperparatiroid sekunder, manifestasi klinis dapat terlihat pada tulang, jaringan ikat, dan kulit. Ada remodeling dan mineralisasi tulang yang dapat menyebabkan deformitas tulang, nyeri tulang, dan fraktur pada kasus yang berat. Kalsifikasi dapat terjadi pada dinding arteri, visera, jaringan periartikular, jaringan subkutis, kornea, dan konjungtiva. Manifestasi dapat berupa kelemahan otot, mata merah, dan rasa gatal yang intens.
Rasa gatal disebabkan oleh deposisi kalsium dan fosfat di kulit, yang terutama sering terjadi pada pasien penyakit ginjal kronis. Kalsifikasi bisa terjadi di jantung, miokardium, aorta, dan katup mitral, serta dapat meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular, seperti iskemia, disfungsi ventrikel kiri, gagal jantung kongestif, aritmia, hingga kematian.[3]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien hiperparatiroid primer biasanya normal. Namun, pemeriksaan fisik dapat membantu menemukan kelainan yang menunjukkan etiologi hiperkalsemia lainnya. Adenoma paratiroid jarang teraba pada pemeriksaan fisik. Namun, adanya massa yang besar dan padat di leher pasien dengan hiperkalsemia harus dicurigai sebagai karsinoma paratiroid.[2]
Karena hampir semua pasien penyakit ginjal kronis memiliki hiperparatiroid sampai taraf tertentu, tidak ada pemeriksaan fisik yang menjadi ciri spesifik hiperparatiroid sekunder. Sering kali, hiperparatiroid sekunder ditemukan pada pengujian laboratorium rutin saat memantau individu dengan penyakit ginjal kronis.[3]
Diagnosis Banding
Hiperparatiroid primer dan tersier selalu menjadi diagnosis banding hiperparatiroid sekunder. Pada hiperparatiroid primer, terjadi peningkatan sekresi paratiroid, yang menyebabkan peningkatan kadar kalsium dan fosfat.
Sementara itu, pada hiperparatiroid sekunder, terjadi hipokalsemia dan hiperfosfatemia yang kemudian menyebabkan peningkatan kadar paratiroid. Pada kasus hiperparatiroid tersier, kadar paratiroid, kalsium, dan fosfat menjadi sangat tinggi.[3,11]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis hiperparatiroid dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Contoh pemeriksaan radiologi yang umum digunakan adalah sonografi, MSCT (multislice computerized tomography), dan MRI (magnetic resonance imaging).[4]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan kadar hormon paratiroid merupakan inti diagnosis. Selain itu, beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah kadar kalsium serum total, kadar kalsium terionisasi, albumin, kadar fosfat, tes fungsi ginjal, dan kadar alkaline fosfatase. Kadar kalsium urine dan kadar 25-hydroxyvitamin D juga dapat diperiksa bila perlu.[1]
Peningkatan hormon paratiroid bersama peningkatan kadar kalsium serum terionisasi merupakan tanda diagnostik hiperparatiroid primer. Kadar vitamin D harus diukur dalam evaluasi hiperparatiroid primer. Kekurangan vitamin D (25-hydroxyvitamin D <20 ng/ml) dapat menyebabkan hiperparatiroid sekunder.[1,2]
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi tidak digunakan untuk menegakkan diagnosis hiperparatiroid atau untuk membuat keputusan mengenai pilihan terapi. Pemeriksaan ini digunakan untuk memandu ahli bedah setelah operasi diputuskan. Jika operasi eksplorasi kelenjar paratiroid akan dilakukan, studi lokalisasi atau guiding dengan modalitas radiologi diperlukan.[1]
Sonografi:
Sonografi leher merupakan teknik yang aman dan sudah dilakukan secara luas pada kelainan kelenjar paratiroid. Sonografi memiliki tingkat akurasi yang tinggi (75–80%) tetapi akurasi ini tergantung pada keahlian operator. Kelebihan sonografi adalah dapat dilakukan secara cepat tanpa memerlukan persiapan terlebih dahulu.[1,12]
Nuclear Scanning:
Nuclear scanning dengan sestamibi juga merupakan teknik yang banyak digunakan. Sestamibi biasanya ditemukan terakumulasi di adenoma paratiroid secara kebetulan saat pemeriksaan jantung. Radionuklida ini menetap di jaringan tiroid dan paratiroid abnormal tetapi biasanya menghilang dari jaringan tiroid normal dalam waktu <1 jam.
Pada delayed images, kelenjar paratiroid abnormal terlihat sebagai fokus aktivitas yang persisten. Sensitivitas nuclear scanning untuk mendeteksi adenoma soliter dilaporkan sebesar 60–90%. Kelemahan utama tes ini adalah dalam mendiagnosis penyakit multiglandular. Dalam kasus ini, sensitivitas turun menjadi sekitar 50%.[1,13]
Computerized Tomography:
Penggunaan computerized tomography (CT scan) untuk pencitraan paratiroid semakin meningkat seiring waktu. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan atau tanpa kontras. Adenoma paratiroid akan tampak lebih terang pada pemberian kontras karena strukturnya terdiri dari banyak pembuluh darah. CT scan memiliki sensitivitas sebesar 88% tetapi kurang sensitif mendeteksi penyakit multiglandular.[1,14]