Efikasi dan Keamanan Terapi Extended-Release Calcifediol Dan Vitamin D Lain untuk Hiperparatiroid Sekunder Bagi Pasien Gagal Ginjal Kronis – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Real‑world assessment: effectiveness and safety of extended‑release calcifediol and other vitamin D therapies for secondary hyperparathyroidism in CKD patients

Germain MJ, Paul SK, Fadda G, Broumand V, Nguyen A, µgarvey NH, Gitlin MD, Bishop CW, Csomor P, Strugnell S, Ashfaq A. Real-world assessment: effectiveness and safety of extended-release calcifediol and other vitamin D therapies for secondary hyperparathyroidism in CKD patients. BMC Nephrol, 2022. 11;23(1):362. doi: 10.1186/s12882-022-02993-3.

layak

Abstrak

Latar Belakang: Extended-release calcifediol (ERC), hormon vitamin D aktif dan analognya (AVD), serta vitamin D nutrisional (NVD) banyak dimanfaatkan untuk penatalaksanaan hiperparatiroid sekunder (SHPT) pada pasien dewasa penyakit ginjal kronis (CKD) stadium 3-4 dengan insufisiensi vitamin D (VDI).

Efikasi mereka dalam meningkatkan serum total 25-hidroksi-vitamin D (25D) dan mengurangi kenaikan plasma hormon paratiroid (PTH) masih bervariasi pada berbagai percobaan klinis. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi pengalaman kondisi nyata dari penggunaan terapi ERC dan vitamin D lainnya dalam menurunkan PTH dan meningkatkan 25D.

Metode: Rekam medis dari 375 pasien dewasa dengan CKD stadium 3-4 dengan riwayat SHPT dan VDI yang berasal dari klinik nefrologi yang tersebar di 15 negara bagian Amerika Serikat ditinjau hingga 1 tahun sebelum dan sesudah pemberian ERC, NVD, atau AVD.

Variabel-variabel utama studi ini meliputi demografi pasien, penggunaan obat-obatan secara bersama-sama, dan data laboratorium. Rerata umur populasi studi ini ialah 69,5 tahun, dengan distribusi jenis kelamin serta ras yang representatif untuk populasi CKD Amerika Serikat.

Pasien yang direkrut akan dikelompokkan ke dalam tiga kohort yakni ERC (n=174), AVD (n-55), dan NVD (n=147). Rerata baseline serupa untuk kadar serum 25D (18,8-23,5 ng/mL), kalsium (Ca 9,1-9,3 mg/dL), fosfor P 3,7-3,8 mg/dL), dan estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR 30,3-35,7 mL/menit/1,73m2).

Rerata baseline PTH adalah 181,4 pg/mL untuk kohort ERC versus 156,9 untuk kohort AVD dan 134,8 pg/mL untuk kohort NVD (p<0,001). Rerata follow-up selama terapi berkisar dari 20,0 hingga 28,8 minggu.

Hasil: Serum 25D mengalami peningkatan pada semua kohort selama terapi. Kohort ERC memperoleh peningkatan terbesar sebanyak 23,7±1,6 ng/mL versus 9,7±1,5 NVD versus 5,5±1,3 ng/mL AVD.

PTH mengalami penurunan pada terapi kohort ERC sebesar 34,1±6,6 pg/mL namun tidak mengalami perubahan pada dua kohort lainn. Serum kalsium meningkat sebesar 0,2±0,1 pg/mL pada kohort AVD namun tetap stabil atau tidak berubah pada dua kohort lain. Serum alkali fosfatase tidak mengalami perubahan pada semua kohort.

Kesimpulan: Pengamatan klinis kondisi nyata menunjukkan efikasi dan keamanan yang bervariasi antar terapi vitamin D, namun hanya terapi ERC yang efektif dalam menaikkan mean 25D hingga >30 ng/mL sekaligus mengurangi rerata kadar PTH tanpa menimbulkan hiperkalsemia.

TerapiExtendedReleaseCalcifediol

Ulasan Alomedika

Saat fungsi ginjal menurun, terjadi perubahan signifikan pada metabolisme kalsium, fosfor, dan vitamin D. Kondisi tersebut akan menimbulkan peningkatan produksi dan sekresi hormon paratiroid. Komplikasi ini dikenal dengan hiperparatiroid sekunder (SHPT) dan insufisiensi vitamin D (VDI).

Kelebihan produksi PTH akan berimbas pada ketidakseimbangan metabolisme mineral dan tulang penderita penyakit ginjal kronis (CKD) sehingga dapat mengakibatkan penurunan densitas tulang sekaligus meningkatkan risiko fraktur tulang. Selain itu, CKD dan SHPT berkaitan pula dengan progresi penurunan GFR lebih lanjut, peningkatan risiko kardiovaskuler dan kematian. Kadar vitamin D yang rendah, dan peningkatan kadar PTH biasanya mulai muncul pada CKD stadium 3 hingga 5.

Pemberian suplemen vitamin D dimaksudkan untuk menanggulangi masalah SHPT dan VDI. Suplemen diberikan dalam bentuk aktif vitamin D dan analognya (AVD) seperti calcitriol, paricalcitol, dan doxercalciferol; vitamin D nutrisional (NVD) seperti kolekasiferol dan ergokalsiferol; serta extended-release calcifediol (ERC). Meski begitu, sejumlah percobaan klinis menunjukkan hasil yang bervariasi antara ketiga pilihan tersebut.

Ulasan Metode Penelitian

Studi ini merupakan pengamatan secara real world yang bersumber pada rekam medis di klinik nefrologi yang tersebar di 15 negara bagian Amerika Serikat dari rentang 2016 hingga 2019. Pasien yang memenuhi syarat ialah pasien dewasa yang didiagnosis sebagai CKD stadium 3 atau 4 dengan riwayat SHPT dan VDI sebelum tanggal indeks pengamatan, dan mendapatkan terapi ERC, AVD atau NVD.

Pasien yang dimasukkan dalam penelitian perlu mendapatkan atau memulai terapi sedikitnya 1 bulan dan belum pernah mendapat atau tidak mengonsumsi ERC atau AVD sekurang-kurangnya dalam 3 bulan terakhir sebelum tanggal pengamatan (index date).

Dari total partisipan yang memenuhi syarat, selanjutnya dibagi ke dalam tiga kohort (ERC,AVD, dan NVD) kemudian dilaksanakan analisis deskriptif. Mean value, standar deviasi dan standard error dihitung untuk variabel kontinu. Sedangkan count and percentage dihitung bagi data kategorikal. T-test dan ANOVA digunakan untuk menilai signifikansi statistik pada hasil analisis tersebut.

Ulasan Hasil Penelitian

Dari 376 pasien yang memenuhi syarat inklusi, 174 (46,3%) masuk di kohort ERC dimana 99,4% dengan dosis per hari 30 µg. Selain itu, 55 (14,6%) masuk di kohort AVD dimana 80% mendapat calcitriol dengan dosis 0,25 µg/hari, 11% calcitriol dengan dosis 0,50 µg/hari, 7% mendapat doxercalciferol 2,5 µg/hari, dan 2% mendapat paricalcitol 1 µg/hari.

Selanjutnya, 147 (39,1%) masuk di kohort NVD dimana 64,7% mendapat ergocalciferol oral setiap minggu atau kolekalsiferol dengan dosis ≥ 50.000 IU. Sisanya yakni 23,1% mendapat dosis 14.000 hingga <50.000IU, serta 12,2% dengan dosis 5000 hingga <14.000IU.

Rerata (SD) untuk umur ialah 69,5 tahun. Rerata indeks massa tubuh 32,8 kg/m2. 50,8% partisipan wanita, 88,8% non-hispanik, dan 64,6% kaukasian. Rerata untuk durasi terapi ERC ialah 63,5 minggu, AVD 51,3 minggu, dan 41,5  minggu untuk NVD.

Kadar serum 25D mengalami peningkatan pada semua kohort selama pengamatan terapi. Kohort ERC memperoleh peningkatan terbesar, diikuti NVD dan di tempat terakhir AVD.

PTH hanya mengalami penurunan pada terapi kohort ERC sebesar 34,1±6,6 pg/mL. Kadar PTH tidak mengalami perubahan pada dua kohort lainnya. Serum kalsium meningkat sebesar 0,2±0,1 pg/mL pada kohort AVD namun tidak berubah pada dua kohort lainnya. Serum alkali fosfatase tidak mengalami perubahan bermakna pada semua kohort.

Kelebihan Penelitian

Kelebihan penelitian ini terletak pada penggunaan data nyata rekam medis pasien. Kriteria inklusi yang digunakan cukup menyeluruh untuk menyasar populasi pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 3 atau 4. Adapun data analisis yang diproses turut diuji dengan t-test dan ANOVA dalam mengecek signifikansi statistik.

Limitasi Penelitian

Studi ini tidak dimaksudkan atau didesain dengan durasi pengamatan yang cukup untuk menilai luaran klinis yang penting yang berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler, risiko fraktur, angka rawat inap ataupun mortalitas terkait. Studi lebih dimaksudkan untuk menilai dampak pemberian terapi terhadap serum total 25D, PTH, alkalin fosfatase, kalsium, dan fosfor.

Karena studi ini retrospektif, maka limitasi yang bisa terjadi ialah adanya data rekam medis yang tidak lengkap dan kesulitan untuk menilai akses kepatuhan pasien dalam menjalani terapi yang dievaluasi.

Aplikasi Penelitian Di Indonesia

Terlepas dari semua limitasinya, studi ini menyajikan data penting bahwa dari sekian banyak suplemen vitamin D yang tersedia di pasaran, hanya jenis ERC yang mampu meningkatkan serum 25D tanpa menyebabkan hiperkalsemia dan sekaligus menurunkan kadar PTH. NVD, meski tersedia lebih banyak di pasaran dengan harga terjangkau, malah tidak mampu untuk menurunkan PTH, demikian pula dengan AVD.

ERC belum tersedia di Indonesia sehingga belum dapat diterapkan di negara kita. Patut dicermati pula bahwa populasi studi ini ialah non-hispanik dan kaukasian yang tinggal di Amerika Serikat, negara dengan iklim yang berbeda dengan iklim tropis di Indonesia. Bisa saja paparan sinar matahari di negara tersebut menjadi variabel pembeda untuk penilaian hasil studi jika dilakukan di Indonesia.

Studi lebih lanjut juga masih diperlukan untuk menilai efek yang bermakna secara klinis, termasuk luaran kardiovaskuler, risiko fraktur, dan mortalitas.

Referensi