Patofisiologi Hiperparatiroid
Patofisiologi hiperparatiroid bervariasi sesuai jenis hiperparatiroid yang dialami, yakni hiperparatiroid primer, sekunder, atau tersier. Pada hiperparatiroid primer, kadar hormon paratiroid yang meningkat akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium serum dan penurunan kadar fosfat serum.
Hiperparatiroid Primer
Pada kasus hiperparatiroid primer, penyebab tersering adalah adenoma paratiroid yang menyebabkan hilangnya umpan balik positif produksi hormon paratiroid. Namun, hal ini tidak terjadi pada hiperparatiroid primer akibat hiperplasia paratiroid. Pada hiperplasia, terjadi peningkatan jumlah sel di kelenjar paratiroid.
Peningkatan hormon paratiroid menyebabkan pelepasan kalsium dari tulang yang berlebihan, sehingga dapat menyebabkan osteopenia. Dalam kasus yang parah, hal ini menyebabkan osteitis fibrosa cystica, yang ditandai dengan resorpsi subperiosteal dari falang distal, peruncingan klavikula distal, munculnya salt and pepper appearance pada tengkorak, dan tumor coklat pada tulang panjang. Selain itu, reabsorpsi kalsium yang meningkat secara kronis di ginjal dapat menyebabkan pembentukan batu ginjal.[1]
Gejala hiperparatiroid lainnya disebabkan oleh hiperkalsemia itu sendiri, contohnya kelemahan otot, kelelahan, mual, muntah, koma, dan bahkan kematian. Manifestasi neuropsikiatri seperti depresi, kebingungan, atau defisit neurologi ringan juga umum ditemukan. Peningkatan kalsium dapat meningkatkan sekresi asam lambung sehingga orang dengan hiperparatiroid memiliki risiko ulkus peptikum yang lebih tinggi.[1]
Hiperparatiroid Sekunder
Keseimbangan kalsium dan fosfat diregulasi secara ketat oleh tulang, ginjal, dan kelenjar paratiroid. Fibroblast growth factor 23 (FGF-23), 25-hydroxyvitamin D, dan 1,25-dihydroxyvitamin D, serta hormon paratiroid mengatur homeostasis produksi kalsium dan fosfat. FGF-23 diproduksi oleh tulang akibat peningkatan serum fosfat, yang akan mencetuskan ekskresi fosfat oleh ginjal dan mengurangi hidroksilasi dari 25-hydroxyvitamin D.
FGF-23 dan serum fosfat juga menurunkan sekresi hormon paratiroid untuk menjaga keseimbangan kalsium dan fosfat. Pada penyakit ginjal kronis stadium 3–5 (estimated glomerular filtration rate atau eGFR <59 mL/menit), kadar FGF-23 meningkat dan awalnya menyebabkan fosfaturia dan penurunan ekskresi hormon paratiroid.
Namun, saat penyakit ginjal kronis berkembang, ada resistensi di ginjal dan kelenjar paratiroid terhadap FGF-23 dan ada defisiensi 1 alfa hidroksilasi vitamin D di ginjal. Keduanya berkontribusi terhadap penurunan ekskresi fosfat. Setelah itu, kekurangan 1,25-dihydroxyvitamin D dan penurunan ekskresi fosfat menyebabkan hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Hal ini mempertahankan stimulasi sintesis hormon paratiroid dan hiperplasia kelenjar paratiroid.[1,3]
Hiperparatiroid Tersier
Hiperparatiroid tersier paling sering terjadi pada pasien dengan hiperparatiroid sekunder kronis yang telah menjalani terapi dialisis selama bertahun-tahun. Kelenjar paratiroid yang mengalami hipertrofi akan membesar seiring waktu dan terus memproduksi hormon paratiroid secara berlebihan meskipun kadar kalsium serum berada dalam rentang normal atau bahkan meningkat.
Dalam kasus ini, kelenjar hipertrofi menjadi otonom dan menyebabkan hiperkalsemia, bahkan setelah terapi penarikan kalsium dan vitamin D aktif.[1]