Pengaruh Siklus Menstruasi Terhadap Beberapa Kelainan Neurologi

Oleh :
dr.Septy Aulia Rahmy, Sp. N

Fluktuasi hormonal saat menstruasi dapat berpengaruh pada fisiologi tubuh, sehingga terkadang menyebabkan berbagai keluhan neurologi.  Saat ini, telah banyak penelitian terkait pengaruh hormonal terhadap berbagai penyakit, termasuk kelainan neurologi. Dengan memahami efek siklus menstruasi, dokter dapat memberikan edukasi dan rencana manajemen untuk beberapa penyakit neurologi.

Migraine Menstrual

Migraine merupakan keluhan nyeri kepala yang paling sering dikeluhkan secara global, yaitu sekitar 14% dari populasi di dunia dan dapat menyerang usia berapapun. Diketahui bahwa migraine 2‒3 kali lebih sering dialami oleh perempuan daripada pria pada usia-usia produktif.[1,2]

Asian,Young,Woman,Suffering,From,Headache,And,Abdominal,Pain,While

Hipotesis estrogen withdrawal diajukan oleh Somerville et al pada tahun 1972, dan masih diterapkan sampai saat ini. Bukti yang mendukung teori ini adalah kondisi migraine pada perempuan akan membaik selama kehamilan atau saat kadar hormon estrogen stabil/tinggi. Sebaliknya, migraine akan kambuh ketika kadar estrogen turun, misalnya saat periode awal postpartum atau periode hormone-free ketika menggunakan kontrasepsi oral kombinasi.[1,2]

Jenis dan Kriteria Migraine Menstrual

Studi pada populasi umum mendapatkan migraine menstrual terjadi pada 4‒8% dari seluruh populasi perempuan, dipengaruhi oleh proporsi pengguna kontrasepsi hormonal. Dari penderita migraine menstrual ini, sebanyak 18‒25% mengalami migraine tanpa aura dan 1,7‒8,1% mengalami migraine dengan aura.[1]

The International Classification of Headache Disorders (ICHD-3) mengelompokkan migraine menstrual menjadi 2 jenis, yaitu pure menstrual migraine (PMM) dan menstrually related migraine (MRM). Kemudian, PMM dan MRM ini dibagi lagi menjadi PMM/MRM dengan dan tanpa aura.[1,3]

Kriteria PMM atau migraine menstrual murni adalah:

  • Serangan migraine perimenstruasi yang hanya terjadi antara hari –2 dan +3 menstruasi (pengertian hari pertama mens adalah hari kesatu, satu hari sebelumnya disebut hari ke -1/minus satu, jadi tidak ada hari 0 menstruasi)
  • Setidaknya dalam dua dari tiga siklus menstruasi berturut-turut
  • Tidak ada serangan migraine pada waktu lain dalam siklus menstruasi tersebut[1,3]

Sementara itu, MRM adalah serangan migraine perimenstruasi yang mirip dengan PMM, tetapi pasien juga mengalami serangan tambahan pada waktu lain di luar siklus.[1,3]

Mekanisme Migraine Menstrual

Mekanisme terjadinya migraine menstrual ada dua, yaitu estrogen withdrawal  dan pelepasan prostaglandin (Gambar 1). Pada Fase premenstruasi, terjadi penurunan konsentrasi estrogen dan progesteron. Penurunan kadar estrogen ini yang menyebabkan terjadinya migraine. Penelitian oleh Somerville et al melaporkan bahwa migraine menstrual dapat terjadi saat serum estradiol turun di bawah 45‒50 pg/mL.[1,3,4]

Sedangkan untuk progesteron, tidak ditemukan korelasi antara fluktuasi progesteron dengan terjadinya serangan migraine. Penurunan estrogen juga akan menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap prostaglandin. Kadar prostaglandin meningkat tiga kali lipat dari fase folikuler ke fase luteal, dan juga selama menstruasi. Prostaglandin ini akan menyebabkan inflamasi neurogenik yang akan melepaskan banyak neuropeptida, seperti substansi P, neurokinin, dan calcitonin gene-related peptide (CGRP). Neuropeptida tersebut berperan dalam terjadinya migrain.[1,3,4]

Selain itu, lokasi reseptor estrogen terutama ada di area periaqueductal grey, thalamus, dan amigdala, di mana area ini merupakan area otak yang mengendalikan persepsi nyeri. Kepadatan reseptor estrogen akan berubah sesuai dengan perubahan kadar estrogen selama siklus menstruasi.[1,3,4]

migraineEstrogenProgesteron

Gambar 1. Insiden Terjadinya migraine Dikaitkan dengan Konsentrasi Estrogen dan Progesteron di dalam Urin[1]

Pilihan Terapi migraine Menstrual

Serangan migraine menstrual biasanya memiliki gejala yang lebih mengganggu, durasi yang lebih lama, tingkat kekambuhan yang lebih rentan, dan respons terhadap pengobatan akut yang lebih rendah daripada serangan migraine non-menstrual. Saat ini, tidak ada pengobatan khusus untuk migraine menstrual yang disetujui oleh ICHD-3, Food and Drug Administration (FDA), maupun European Medicine Agency (EMA).[2]

Namun, untuk manajemennya, penting untuk diketahui secara objektif apakah migraine benar berhubungan dengan siklus menstruasi pasien. Pasien disarankan untuk membuat buku harian nyeri kepala selama minimal 3 bulan terakhir, agar terdokumentasi hubungan menstruasi dengan keluhan migraine. Buku harian ini juga bermanfaat untuk mengurangi bias keluhan nyeri kepala pada pasien.[4]

Terapi Fase Akut:

Tata laksana serangan akut migraine, yang bertujuan untuk meredakan rasa nyeri, adalah pemberian obat triptan, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), dan turunan ergot. Saat ini, ada 7 macam obat golongan triptan yang tersedia, yaitu sumatriptan, rizatriptan, zolmitriptan, frovatriptan, almotriptan, eletriptan, dan naratriptan. Obat frovatriptan memberikan efek bebas nyeri yang lebih unggul dibandingkan golongan triptan lainnya.[1,2,4]

Obat lain adalah golongan OAINS, baik diberikan sendiri atau kombinasi. OAINS dapat memberikan manfaat berdasarkan hipotesis yang menerangkan bahwa prostaglandin berperan dalam serangan migraine menstrual. Asam mefenamat sering diberikan, dengan efektivitas yang hampir sama dengan naproxen sodium.[1,2,4]

Namun, kombinasi triptan dan OAINS didapatkan lebih efektif untuk menangani migraine menstrual. Kombinasi frovatriptan dengan dexketoprofen memberikan hasil yang lebih unggul daripada pemberian frovatriptan saja. Selain itu, kombinasi sumatriptan 85 mg dengan naproxen 500 mg juga lebih superior dalam penanganan serangan migraine menstrual yang disertai keluhan dismenore.[1,2,4]

Terapi Profilaksis:

Seringkali penderita migraine menstrual tidak berespon terhadap terapi abortif, sehingga dapat dianjurkan untuk mendapat terapi profilaksis. Namun, saat ini belum ada obat yang berlisensi sebagai profilaksis khusus untuk migraine menstrual.[1]

Strategi profilaksis jangka pendek adalah pemberian obat pada beberapa hari (biasanya 2 hari) sebelum menstruasi, dan selama menstruasi.[1]

Analisis post-hoc menunjukkan bahwa pemberian topiramat 50‒200 mg/hari sebagai profilaksis migraine menstrual dapat mengurangi frekuensi, tetapi tidak mengurangi derajat atau durasi migrainenya. Meta analisis penggunaan triptan untuk mencegah serangan migraine menggunakan frovatriptan 2,5 mg dua kali sehari dan zolmitriptan 2,5 mg tiga kali sehari juga memberikan hasil yang efektif.[1]

OAINS juga dapat diberikan sebagai profilaksis. Studi menunjukkan bahwa pemberian naproxen sodium 550 mg 2 kali sehari dan asam mefenamat 500 mg 3 kali sehari secara signifikan dapat digunakan sebagai profilaksis migraine, biasanya sejak 6 hari sebelum hingga 7 hari setelah menstruasi.[2]

Profilaksis dengan kontrasepsi hormonal saat ini sedang banyak diuji. Beberapa penelitian memberikan hasil yang baik, yaitu dengan pemberian estrogen dosis rendah selama minggu menstruasi atau kontrasepsi hormonal dengan durasi yang diperpanjang. Namun, penggunaannya terkendala oleh peningkatan risiko penyakit vaskular (termasuk stroke) pada perempuan pengguna kontrasepsi hormonal, terutama yang memiliki faktor risiko.[2,3]

Epilepsi Katamenial

Epilepsi katamenial adalah kejang yang terjadi atau memburuk ketika menstruasi, meskipun kejang juga dapat terjadi sebelum ovulasi. Studi memperkirakan prevalensi epilepsi katamenial berkisar 10‒70% dari perempuan dengan epilepsi.[5-7]

Jenis dan Kriteria Epilepsi katamenial

Dalam praktik, diagnosis epilepsi katamenial dapat ditegakkan dengan peningkatan frekuensi kejang >2 kali lipat selama periode tertentu dalam siklus menstruasi, atau jika peningkatan kejang hanya berulang pada waktu yang sama dalam siklus menstruasi pasien. Terdapat 3 subtipe epilepsi katamenial, yaitu perimenstrual (C1), periovulatori (C2), dan siklus fase inadekuat luteal (C3).[5,6]

Perimenstrual (C1):

Frekuensi kejang terjadi saat 3 hari sebelum sampai 3 hari sesudah menstruasi. Tipe ini paling umum ditemukan dan dikarakteristikkan dengan penurunan kadar progesteron selama menstruasi (hari ke-25 sampai 3 siklus berikutnya). Biasanya tipe ini sangat responsif dengan pengobatan.[5-7]

Periovulatori (C2):

Frekuensi kejang terjadi pada hari ke-10 sampai ke-13 dari siklus normal. Tipe C2 ini dikarakteristikkan dengan kenaikan kadar estrogen dengan cepat pada hari ke-10 hingga ke-15 dari siklus.[5-7]

Siklus Fase Inadekuat Luteal (C3):

Frekuensi kejang terjadi dalam 14 hari sebelum menstruasi, dan dikarakteristikkan dengan peningkatan progesteron yang tidak adekuat selama fase luteal. Tipe C3 terjadi pada pasien yang mengalami siklus anovulasi. Hal ini terjadi karena perkembangan korpus luteum yang tidak memadai, yang menyebabkan penurunan kadar progesteron tetapi kadar estrogen normal.[5-7]

SubtipeEpilepsiKatamenial

Gambar 2. Subtipe Epilepsi Katamenial[5]

Mekanisme Epilepsi Katamenial

Terjadinya kejang pada epilepsi katamenial berhubungan dengan fluktuasi hormon estrogen dan progesteron. Estrogen, terutama estradiol, bersifat prokonvulsan dengan meningkatkan eksitabilitas neuronal. Progesteron bersifat antikonvulsan dengan meningkatkan inhibisi dari gamma-aminobutyric acid (GABA).[5,6]

Epilepsi katamenial dapat didiagnosis jika tidak ada penjelasan lain tentang pola kejang pasien, serta kejadian atau perburukan kejang berkaitan dengan siklus menstruasi. Dalam hal ini penting memiliki buku catatan menstruasi.[5,6]

Pilihan Terapi Epilepsi Katamenial

Epilepsi katamenial seringkali kurang responsif terhadap obat antiepilepsi lama, dan memerlukan pendekatan yang unik. Berbeda dengan terapi migraine menstrual, stabilisasi hormonal dengan kontrasepsi tidak memiliki bukti yang cukup sebagai untuk pengobatan epilepsi katamenial.

Pengobatan nonhormonal untuk epilepsi katamenial, selain obat antiepilepsi pada umumnya, dapat diberikan tambahan benzodiazepin dan acetazolamide. Selain itu, dosis antiepilepsi dapat ditambah pada waktu sebelum dan selama periode menstruasi di mana kejang biasa eksaserbasi. Namun, penambahan ini hanya dapat digunakan pada pasien dengan siklus menstruasi reguler.[2]

Perlu diingat bahwa penggunaan obat antiepilepsi dapat menurunkan efikasi kontrasepsi oral. Interaksi ini terutama pada penggunaan obat antiepilepsi yang bersifat hepatic enzyme inducer kuat, di antaranya karbamazepin, felbamate, oxcarbazepine, fenobarbital, fenitoin, dan primidone. Sementara, obat topiramat dan clobazam memiliki sifat hepatic enzyme inducer yang lemah.

Khusus untuk asam valproat, penggunaan bersama oral kontrasepei dapat menurunkan baik kadar obat antiepilepsinya maupun efikasi obat kontrasepsinya. Obat-obatan antiepilepsi yang tidak memengaruhi efikasi oral kontrasepsi adalah gabapentin, levetiracetam, vigabatrin, zonisamide, pregabalin, dan ethosuximide.[5]

Stroke

Kejadian dan risiko stroke sebenarnya tidak dipengaruhi oleh siklus menstruasi. Namun, menstruasi, kehamilan, menopause, dan hormone replacement therapy (HRT) dapat memengaruhi risiko terjadinya stroke. Menarche dini dan menopause prematur sering dikaitkan dengan risiko stroke iskemik, tetapi data saat ini masih belum jelas.[2,8,9]

Selama kehamilan dan periode postpartum, hemodinamik ibu akan berubah sehingga terjadi hiperkoagulasi dan hipertensi yang berkontribusi meningkatkan risiko stroke. Studi juga menemukan peningkatan risiko stroke pada perempuan yang mengonsumsi obat kontrasepsi kombinasi, terutama meningkat perempuan dengan obesitas, dislipidemia, merokok, dan pengguna estrogen dosis tinggi.[2,8,9]

Studi oleh Women’s Health Initiative (WHI) menyebutkan bahwa estrogen eksogen dapat meningkatkan risiko stroke pada wanita pasca menopause. Namun, hubungan ini kompleks dan dipengaruhi banyak faktor, seperti usia, waktu, dan dosis. Perempuan pengguna HRT berisiko stroke lebih tinggi daripada yang tidak menggunakan HRT, baik dengan dosis rendah maupun dosis tinggi. Turunan progesteron seperti pregnane dan notesteron tidak berkaitan dengan risiko stroke iskemik, tetapi turunan nonpregnane dapat meningkatkan risiko.[2,8,9]

Multiple Sclerosis

Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan demielinasi, kehilangan aksonal, dan gliosis. Penyakit ini diturunkan secara genetik. Biasanya, keluhan muncul pada usia 20‒40 tahun, dan lebih sering ditemukan pada perempuan daripada pria.

Gejala MS dapat memburuk sebelum menstruasi, terutama penderita tipe relapsing-remitting multiple sclerosis (RRMS). Mekanisme korelasi ini belum diketahui secara pasti. Studi dengan pencitraan serial mendapati bahwa rasio progesteron terhadap estradiol selama fase luteal berkorelasi dengan jumlah dan volume peningkatan lesi/plak demielinasi.

Obat kontrasepsi kombinasi dapat memberikan efek antiinflamasi dan neuroprotektif pada perempuan dengan RRMS, ketika dikombinasikan dengan obat-obatan DMT (disease-modifying therapies). Namun, efek jangka panjang dari pemakaian kombinasi ini masih perlu diperhatikan.  HRT yang mengandung estrogen eksogen dapat meningkatkan kualitas hidup penderita, tetapi berisiko kelainan jantung, trombosis, bahkan karsinogenik.[2]

Kesimpulan

Fluktuasi hormonal dapat memengaruhi beberapa penyakit neurologis. Keluhan migraine banyak dialami oleh wanita karena fluktuasi hormonal, di mana penting untuk melakukan pencatatan buku harian nyeri kepala untuk dapat menegakkan diagnosis migraine menstrual. Terapi untuk migraine menstrual menjadi tantangan tersendiri, karena seringkali obat nyeri tidak efektif saat gejala akut terjadi. Oleh karena itu, obat profilaksis adalah rencana pengelolaan yang lebih baik untuk migraine menstrual.

Fluktuasi hormonal saat menstruasi juga dapat menyebabkan epilepsi katamenial, yaitu kejang yang terjadi saat siklus. Terapi kejang pada epilepsi jenis ini perlu dipahami interaksi antara obat antiepilepsi dan obat kontrasepsi.

Walaupun fluktuasi hormonal tidak berpengaruh pada risiko terjadinya stroke, tetapi kehamilan, menopause dan terapi penggantian hormon dapat meningkatkan risiko stroke iskemik. Sementara, pada pasien multiple sclerosis (MS), eksaserbasi sering memburuk sebelum menstruasi, terutama pada pasien wanita dengan tipe relapsing-remitting multiple sclerosis (RRMS). Walaupun korelasinya masih belum diketahui secara pasti.

Referensi