Efektivitas Terapi Hormonal dan Nonhormonal untuk Epilepsi Katamenial

Oleh :
dr. Andriani Putri Bestari, Sp.S

Epilepsi katamenial atau epilepsi menstrual dapat diterapi secara hormonal maupun nonhormonal. Terapi hormonal umumnya berupa pemberian progesteron, sedangkan terapi nonhormonal biasanya berupa pemberian acetazolamide atau benzodiazepin.

Epilepsi katamenial didefinisikan sebagai fluktuasi dan peningkatan frekuensi kejang yang beriringan dengan siklus menstruasi pasien. Kondisi ini dialami sekitar 40% wanita dengan epilepsi. Penatalaksanaan yang terbaik untuk epilepsi katamenial masih sering menjadi perdebatan karena kondisi ini sering kali bersifat refrakter terhadap terapi.[1]

Efektivitas Terapi Hormonal dan Nonhormonal untuk Epilepsi Katamenial-min

Hubungan Siklus Menstruasi dan Kejang

Hormon estrogen, terutama estradiol (E2), memiliki sifat eksitatorik dan prokonvulsan pada otak. Estradiol meningkatkan jumlah reseptor N-methyl-D-aspartate pada neuron (terutama neuron pyramidal CA1 di hipokampus), sehingga terjadi kenaikan eksitabilitas neuron. Selain itu, E2 juga diduga menurunkan ekspresi reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA) yang bersifat inhibitorik.

Sebaliknya, progesteron bersifat antikonvulsan. Sifat ini dimediasi oleh metabolitnya, yaitu allopregnanolone (AP). Metabolit ini bersifat inhibitorik karena dapat meningkatkan potensiasi neuron GABAergik.[1]

Pola Kejang dalam Siklus Menstruasi

Klaster kejang pada epilepsi katamenial terjadi dalam tiga pola spesifik yang berkorelasi dengan fluktuasi hormon estrogen dan progesteron dalam siklus menstruasi. Pola ini dikenal dengan nama C1, C2, dan C3.

Pada pola C1 atau perimenstrual, peningkatan frekuensi kejang terjadi di sekitar onset menstruasi (hari -3 hingga +3 pada panjang siklus 28 hari). Pola ini berhubungan dengan hormon progesteron yang mengalami penurunan cepat.

Sementara itu, pada pola C2 atau periovulasi, peningkatan frekuensi kejang terjadi di sekitar waktu ovulasi (hari 10 hingga 13). Pola ini diduga berhubungan dengan lonjakan hormon estrogen yang bersifat eksitatorik.

Pola C3 terjadi dalam fase luteal inadekuat (dalam 14 hari sebelum menstruasi) dan bisa mencakup fase ovulasi, fase luteal, dan fase menstruasi. Dokter perlu mewaspadai peningkatan risiko kejang sesuai pola-pola ini.[2]

Efektivitas Terapi Hormonal untuk Epilepsi Katamenial

Opsi terapi hormonal yang telah dipelajari untuk epilepsi katamenial adalah progesteron alami, progesteron sintetik seperti medroxyprogesterone acetate (MPA), dan analog gonadotropin-releasing hormone (GnRH).[1]

Awalnya, suatu studi berskala kecil memberikan suppositoria progesteron pada wanita dengan epilepsi katamenial yang mengalami bentuk kejang parsial kompleks. Hasil menunjukkan bahwa 6 dari 8 wanita mengalami 68% penurunan frekuensi kejang dan tidak ada wanita yang mengalami peningkatan frekuensi kejang.

Pada studi berikutnya, 25 wanita diberikan permen progesteron secara periodik dan dilaporkan mengalami penurunan frekuensi kejang (pada 18 wanita atau 72%) setelah 3 bulan. Penurunan rata-rata frekuensi kejang adalah 55%.[2]

Studi tentang Efek Suplementasi Progesteron Alami pada Epilepsi Katamenial

Penelitian lebih lanjut dengan jumlah partisipan lebih banyak kemudian dilakukan oleh Herzog et al. Studi ini membandingkan suplementasi progesteron alami dan plasebo pada 294 wanita dengan epilepsi fokal dengan atau tanpa karakteristik katamenial. Pasien juga diberikan terapi standar yang optimal untuk epilepsi.

Suplementasi progesteron alami yang digunakan dalam studi ini adalah permen 200 mg yang dikonsumsi 3 kali saat hari ovulasi (hari 14 siklus menstruasi) yang kemudian diturunkan perlahan pada hari 26 dan berakhir pada hari 28.

Hasil studi Herzog et al ini menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pada frekuensi kejang kelompok terapi maupun plasebo. Pada analisis post hoc, penurunan kejang yang signifikan ternyata hanya dialami oleh kelompok dengan pola katamenial C1.[3,4]

Studi tentang Efek Medroxyprogesterone Acetate dan GnRH pada Epilepsi Katamenial

Penggunaan progestogen sintetik berupa medroxyprogesterone acetate (MPA) dalam bentuk injeksi intramuskular setiap 12 minggu dapat dipertimbangkan untuk epilepsi katamenial. Pada studi yang memberikan injeksi MPA sebagai tambahan terapi epilepsi untuk 19 wanita, 11 wanita berhasil mencapai amenorea dan 7 di antaranya mengalami penurunan frekuensi kejang sebanyak 39% per bulan.

Medroxyprogesterone acetate tidak bersifat antikonvulsan seperti progesteron alami. Namun, penurunan frekuensi kejang diduga terjadi karena supresi menstruasi. Obat ini berpotensi digunakan oleh pasien dengan siklus menstruasi tidak teratur.

Hasil serupa juga didapatkan pada penggunaan analog GnRH untuk wanita dengan epilepsi katamenial. Akan tetapi, kedua studi ini merupakan studi yang berskala kecil dan aspek keamanan serta efektivitas terapi masih perlu diteliti lebih lanjut.[1,2]

Meta Analisis tentang Efektivitas Terapi Hormonal untuk Epilepsi Katamenial

Pada suatu meta analisis terbaru, efektivitas penggunaan terapi hormonal pada epilepsi katamenial dikatakan masih sangat lemah bukti ilmiahnya. Studi yang ada masih sangat terbatas dengan kekuatan ilmiah yang tergolong rendah-sedang. Meta analisis ini tidak menemukan perbedaan yang signifikan pada luaran kejang pasien yang diberi terapi hormon norethisterone atau progesteron dan yang diberi plasebo.[5]

Risiko Efek Samping Terapi Progesteron

Pemberian suplementasi progesteron tidak terlepas dari risiko. Progesteron dapat menyebabkan perdarahan pervaginam dan nyeri payudara. Pada dosis tinggi, terapi progesteron dapat menyebabkan sedasi, depresi, dan asthenia. Penggunaan jangka panjang mungkin meningkatkan risiko kanker payudara.[6]

Efektivitas Terapi Nonhormonal untuk Epilepsi Katamenial

Studi efektivitas terapi nonhormonal untuk epilepsi katamenial masih belum banyak dilakukan dan masih berskala kecil. Contoh obat yang digunakan adalah benzodiazepin dan acetazolamide. Selain itu, ada juga literatur yang menyarankan peningkatan dosis obat antiepilepsi yang sudah digunakan oleh pasien. Namun, efektivitas dan keamanan anjuran ini belum terbukti.

Acetazolamide adalah inhibitor enzim carbonic anhydrase yang umum digunakan untuk epilepsi katamenial. Suatu studi retrospektif kecil yang mempelajari 20 wanita melapor bahwa 30–40% wanita mengalami penurunan frekuensi dan keparahan eksaserbasi kejang perimenstruasi ketika menggunakan acetazolamide. Obat ini cocoknya diberikan secara intermiten karena respons akan berkurang seiring berjalannya waktu.[2,7]

Obat golongan benzodiazepin yang sudah dipelajari efektivitasnya untuk terapi epilepsi katamenial adalah clobazam 20–30 mg. Suatu studi buta ganda cross-over yang berskala kecil membandingkan clobazam dan plasebo pada 18 partisipan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa 8 partisipan mengalami penurunan frekuensi kejang >50%. Tidak ada partisipan yang mengalami peningkatan kejang bila dibandingkan plasebo.[2,7]

Kesimpulan

Bukti mengenai efektivitas terapi hormonal maupun terapi nonhormonal untuk epilepsi katamenial masih memiliki kekuatan ilmiah yang lemah. Umumnya, terapi epilepsi katamenial diberikan secara intermiten berdasarkan pola katamenial tiap pasien. Untuk pasien dengan pola C1, suplementasi progesteron alami dapat menjadi pilihan terapi.

Apabila pasien memiliki siklus menstruasi yang tidak teratur sehingga dokter kesulitan menentukan pola katamenial, terapi supresi menstruasi dengan medroxyprogesterone acetate dapat dipertimbangkan.

Pemberian progesteron memiliki risiko efek samping seperti perdarahan pervaginam, depresi, dan asthenia. Opsi terapi nonhormonal seperti acetazolamide dan clobazam bisa dipertimbangkan, tetapi efektivitasnya masih memerlukan studi lebih lanjut.

Referensi