Pemeriksaan untuk Pasien Hemoptisis

Oleh :
dr. Michael Sintong Halomoan

Alur anamnesis dan pemeriksaan yang tepat untuk pasien hemoptisis (batuk berdarah) perlu diketahui oleh dokter di pelayanan kesehatan primer, karena keluhan ini dapat disebabkan oleh etiologi yang berbahaya. Namun, tidak semua kasus hemoptisis bersifat fatal. Dokter perlu memahami kasus mana yang perlu dievaluasi lebih lanjut, agar dapat menggunakan sumber daya kesehatan dengan bijak dan menghindari pemeriksaan invasif yang tidak perlu.

Hemoptisis adalah ekspektorasi darah dari parenkim paru atau saluran pernapasan bawah, yang dapat ditemukan pada 10–15% pasien pulmonologi. Berdasarkan volume darah yang dikeluarkan, hemoptisis dapat dibedakan menjadi nonmasif (≤200 mL/24 jam) atau masif (>200 mL/24 jam).[1-4]

shutterstock_1921089509-min

Hemoptisis harus dibedakan dengan pseudohemoptisis, yaitu perdarahan dari area lain, seperti epistaksis sederhana, gingivitis, atau trauma mulut sederhana. Selain itu, hemoptisis juga perlu dibedakan dari hematemesis yang merupakan muntah darah dari saluran cerna.[1-4]

Sekilas tentang Bermacam Etiologi Hemoptisis

Berdasarkan sumber perdarahannya, penyebab hemoptisis dapat diklasifikasikan menjadi trakeobronkial, parenkim paru, vaskular primer, dan sumber lain. Pada orang dewasa, 70–90% kasus hemoptisis disebabkan oleh bronkitis, bronkiektasis, necrotizing pneumonia, dan tuberkulosis paru.[1-4]

Berikut beberapa penyebab hemoptisis berdasarkan sumbernya:

Anamnesis yang Diperlukan untuk Pasien Hemoptisis

Anamnesis pasien hemoptisis difokuskan untuk mencari apakah sumber perdarahan benar berasal dari parenkim paru dan saluran napas bawah, atau berasal dari saluran cerna maupun saluran napas atas. Selain itu, perlu dicari tahu volume darah yang dikeluarkan dalam 24 jam.

Anamnesis mengenai volume darah dapat dilakukan menggunakan pengukuran yang dipahami pasien, seperti sendok teh, sendok makan, atau gelas. Informasi volume darah yang dikeluarkan dapat digunakan untuk menilai kondisi hemodinamik pasien, karena perubahan tanda hemodinamik mungkin terjadi terlambat. Selain itu, onset hemoptisis juga perlu ditanyakan.[1-3]

Berbagai gejala infeksi seperti batuk, sesak, demam, dan meriang dapat ditanyakan untuk mengevaluasi etiologi infeksi. Penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan mungkin mengindikasikan keganasan atau suatu penyakit kronis, termasuk tuberkulosis yang endemik di Indonesia. Riwayat merokok dapat berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronis maupun keganasan.

Riwayat penyakit lain yang dapat dikaitkan dengan etiologi hemoptisis adalah penyakit jantung (misalnya penyakit katup ataupun gagal jantung kongestif), penyakit yang menyebabkan imunosupresi, riwayat operasi, dan riwayat trauma.[1-3]

Pemeriksaan Fisik yang Diperlukan untuk Pasien Hemoptisis

Pemeriksaan fisik pada pasien hemoptisis sebaiknya dimulai dengan penilaian status kardiopulmonal dan kebutuhan resusitasi. Pemeriksaan fisik juga dapat menyingkirkan kemungkinan pseudohemoptisis, di mana perdarahan berasal dari saluran cerna atau saluran napas atas.

Temuan seperti nyeri tekan pada epigastrium, tanda penyakit hati kronis (seperti palmar erythema, asites, dan edema perifer), perdarahan gusi, atau epistaksis dapat menjadi petunjuk bahwa perdarahan yang terjadi tidak berasal dari saluran napas bawah dan parenkim paru.[1-3]

Pemeriksaan Penunjang yang Diperlukan untuk Pasien Hemoptisis

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk pasien hemoptisis adalah pencitraan seperti rontgen toraks atau computed tomography (CT) toraks. Selain itu, pemeriksaan laboratorium juga dapat membantu diagnosis bila perlu.

Pencitraan

Pencitraan dilakukan setelah menyingkirkan kemungkinan pesudohemoptisis dan hematemesis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pencitraan yang paling umum dilakukan pada hemoptisis nonmasif adalah rontgen toraks. Namun, pencitraan yang dipilih sebaiknya adalah pencitraan yang paling akurat untuk mengonfirmasi diagnosis yang dicurigai.

Ada beberapa hasil rontgen toraks yang dapat menjadi gambaran awal etiologi hemoptisis, misalnya infiltrat yang menandakan infeksi atau gambaran massa yang dicurigai keganasan. Evaluasi rontgen toraks dapat diulang 6–8 minggu setelah pemberian antibiotik, jika gambaran rontgen menunjukkan infeksi. Bila pada evaluasi tidak didapatkan perbaikan, lakukan computed tomography (CT) toraks.[1,2]

Pada rontgen toraks dengan gambaran massa maupun penyakit parenkim lain kecuali infeksi, CT toraks perlu dilakukan untuk menilai massa lebih lanjut dan merencanakan biopsi dan/atau bedah bila perlu. Bila pasien dicurigai mengalami emboli paru dan memiliki faktor risiko (seperti usia >40 tahun atau riwayat imobilisasi jangka panjang), pasien sebaiknya diskrining dengan kriteria Well’s termodifikasi. Jika skor skrining menandakan emboli paru, evaluasi pasien dengan CT angiografi paru.

CT toraks yang mendukung gambaran massa atau yang tidak mendukung gambaran diagnosis spesifik perlu diikuti dengan bronkoskopi. Bronkoskopi memiliki sensitivitas 63–93% untuk mendeteksi sumber perdarahan, tetapi sensitivitasnya untuk identifikasi etiologi (2,5–8%) tidak sebaik rontgen toraks (35%) dan CT toraks (60–77%), sehingga bronkoskopi dilakukan sebagai pendamping modalitas pencitraan radiologi.[1,2]

Pencitraan pada hemoptisis masif dilakukan setelah resusitasi dan setelah pasien masuk dalam perawatan intensif. Rontgen toraks dapat dilakukan secara bedside. Bronkoskopi bisa langsung dilakukan untuk diagnosis dan sekaligus untuk intervensi (menemukan dan menghentikan perdarahan pada sumbernya).

Bila etiologi perdarahan tidak dapat diidentifikasi melalui rontgen toraks maupun bronkoskopi, pemeriksaan dengan multidetector CT toraks dan/atau arteriografi arteri bronkial dengan atau tanpa embolisasi perlu dilakukan pada pasien stabil. Multidetector CT memiliki sensitivitas tinggi dalam deteksi lokasi perdarahan, dengan sensitivitas 100% pada arteri bronkial dan 62% pada arteri sistemik nonbronkial.[1,6,7]

Pemeriksaan Laboratorium

Tes laboratorium dapat menilai abnormalitas pertukaran gas dan komorbiditas yang menjadi faktor risiko hemoptisis. Tes mencakup pemeriksaan golongan darah dan cross-matching (terutama untuk pasien hemoptisis masif yang mungkin membutuhkan transfusi darah), serta pemeriksaan darah lengkap.

Hitung jenis, pemeriksaan faktor koagulasi, elektrolit, fungsi hati, dan fungsi ginjal juga mungkin diperlukan. Pemeriksaan sputum (termasuk Gram stain, bakteri tahan asam, kultur jamur, dan sitologi) dan analisis gas darah juga bisa dilakukan bila perlu.[1,2]

Prediktor Mortalitas Pasien Hemoptisis yang Dirawat Inap

Hemoptisis dapat disertai tanda dan gejala lain yang menjadi prediktor mortalitas pasien. Skoring prediktor mortalitas pasien dengan hemoptisis yang dirawat di rumah sakit dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3.

Prediktor mortalitas ini memiliki skor minimal 0 dan skor maksimal 9 di mana pasien dengan skor >2 perlu dirawat di ruangan intensif dan pasien dengan skor >5 mungkin memerlukan radiologi intervensi segera.[1,2]

Tabel 1. Skoring Mortalitas Pasien Rawat Inap dengan Hemoptisis

Prediktor Poin
Pencitraan radiologi toraks saat masuk rumah sakit menunjukkan bukti keterlibatan dua atau lebih kuadran 1
Alkoholisme kronis 1
Keterlibatan arteri pulmonal 1
Aspergillosis 2
Keganasan 2
Kebutuhan ventilator mekanik 2

Sumber: Halomoan MS, 2021.[1,2]

Jika skor 0 maka prediktor mortalitas sebesar 1%, skor 1 prediktor 2%, skor 2 prediktor 6%, skor 3 prediktor 16%, skor 4 prediktor 34%, skor 5 prediktor 58%, skor 6 prediktor 79%, sedangkan skor >7 prediktor 91%.[1,2]

Kesimpulan

Hemoptisis adalah ekspektorasi darah yang berasal dari parenkim paru atau saluran napas bawah. Hemoptisis dapat dibedakan menjadi hemoptisis nonmasif dan masif, berdasarkan volume darah per 24 jam. Sumber perdarahan hemoptisis dibedakan menjadi trakeobronkial, parenkim paru, vaskular primer, dan sumber lain. Etiologi hemoptisis bervariasi mulai dari idiopatik, infeksi, gangguan vaskular, hingga keganasan.

Anamnesis dan pemeriksaan perlu dilakukan dengan cermat untuk mengetahui mana kasus hemoptisis yang berbahaya dan perlu dievaluasi lebih lanjut, dan mana kasus yang tidak berbahaya sehingga tidak memerlukan tindak lanjut.

Pemeriksaan penunjang yang paling umum dilakukan adalah rontgen toraks. Jika pada rontgen tampak gambaran infeksi maka rontgen dapat diulang 6‒8 minggu pasca pemberian antibiotik. Jika tidak ada perbaikan atau terdapat gambaran dugaan massa, pemeriksaan CT toraks dan bronkoskopi dapat dilakukan. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menilai abnormalitas pertukaran gas dan komorbiditas yang mungkin dimiliki pasien.

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi