Penggunaan sistem skoring pada emboli paru merupakan pemeriksaan alternatif yang lebih aman dan memiliki akurasi yang baik dalam diagnosis emboli paru. Hal ini disebabkan oleh gejalanya yang sangat non-spesifik.
Emboli paru (PE) merupakan suatu penyakit yang mengancam jiwa yang dapat menyebabkan kematian mendadak. Beckman et al., melaporkan bahwa angka pasti pasien PE masih belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan 900.000 orang dengan rasio 1-2 per 1000 penduduk tiap tahun dapat mengidap PE di Amerika Serikat. Selain itu, PE juga berkontribusi terhadap 60.000 sampai 100.000 kematian tiap tahun berupa kematian mendadak pada 25% penderita PE.[1]
Seringkali, manifestasi dari PE adalah gejala non-spesifik. Hal tersebut membuat proses diagnostik menjadi tantangan tersendiri bagi klinisi. Gejala yang dilaporkan dari laporan kasus maupun penelitian sangat bervariasi. Stein et al., melaporkan bahwa gejala PE yang umum dijumpai adalah sesak napas (73%), takipnea (54%), nyeri pleuritik (44%), rasa nyeri di paha dalam (44%), bengkak pada paha (41%), batuk (34%), dan dapat dijumpai gejala lain yang lebih tidak umum yaitu ronki, takikardia, distensi vena jugular, dan menurunnya suara napas.[2]
Oleh karena itu, diagnosis PE ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan objektif yang merupakan standar baku emas diagnosis PE yaitu, CT Pulmonary Angiography (CTPA). Walaupun demikian, penggunaan CTPA memiliki berbagai efek samping seperti meningkatkan risiko terjadinya Contrast-induced nephropathy (CIN), biaya pemeriksaan mahal, risiko radiasi, maupun ketersediaannya yang mungkin tidak merata di semua lini fasilitas kesehatan, terutama Indonesia.[3]
Diagnosis Emboli Paru Berdasarkan Sistem Skoring
Untuk mencoba memecahkan sulitnya diagnosis PE ditegakkan, berbagai ilmuwan dalam berbagai studi telah melakukan penelitian terkait sistem skoring berdasarkan kondisi klinis untuk mengarahkan klinisi terhadap kecurigaan PE. Sehingga dapat melakukan langkah diagnosis dan terapi lebih akurat. Artikel ini akan membahas berbagai sistem skoring, namun terfokus pada sistem skor Wells dan YEARS.
Skor Wells
Wells et al., pada tahun 2000 membuat sistem skoring untuk mendiagnosis PE berdasarkan gejala klinis dengan kombinasi pemeriksaan D-dimer seperti pada tabel 1.[4] Gabungan sistem skoring dan D-dimer tersebut ketika diteliti pada pasien yang suspek PE di Instalasi Gawat Darurat memiliki angka Negative predictive value 99,5% (IK 95%: 99,5-100%).[5]
Tabel 1. Skor Wells
Lebih lanjut, Wells et al., melaporkan bila skor pasien tersebut ≤4 disertai dengan pemeriksaan D-dimer yang negatif, maka risiko terjadi PE hanya 2,2% (95%IK: 1%-4%).[4]
Dalam suatu penelitian dengan populasi yang lebih besar, Bowman et al., melaporkan bahwa skor Wells memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91%, dengan positive predictive value 35%, dan negative predictive value 93%.[6]
Skor Simplified Wells
Gibson et al., dalam laporannya menyederhanakan skor Wells dengan berbagai pertimbangan adanya perbedaan pembobotan dari Skor Wells yang berpotensi menyebabkan recall bias pada saat klinisi melakukan evaluasi dan mempermudah pengingatan skor tersebut. Lebih jauh, skor Simplified Wells ditampilkan pada tabel 2.[7]
Tabel 2. Skor Simplified Wells
Dalam analisis lanjutan, skor Simplified Wells tidak non-inferior dibandingkan dengan skor Wells dengan area under curve 0,74 dengan tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan secara statistik antara skor Wells dengan skor Simplified Wells (p=0,07).[7]
Algoritma YEARS
Seiring dengan perkembangan teknologi dan pemeriksaan D-dimer lebih terjangkau di berbagai lini kesehatan, maka dipikirkan bagaimana menggabungkan temuan klinis dan laboratorium sehingga klinisi dapat lebih mudah mengarahkan diagnosis, terutama diagnosis PE. Van der Hulle et al., pada tahun 2017 melaporkan hasil penelitiannya dalam bentuk Algoritma Years seperti pada Gambar 1.[8]
Gambar 1. Algoritme YEARS.[8]
Pada algoritma ini, ditekankan tiga poin anamnesis yang penting dalam mengarahkan kecurigaan akan PE, yaitu adanya tanda maupun gejala klinis yang mengarah pada DVT, hemoptisis, dan tidak ada diagnosis lain yang dapat menjawab kemungkinan tersebut. Pemeriksaan D-dimer juga dilakukan secara kuantitatif untuk lebih mengarahkan kecurigaan akan PE sebelum melakukan proses diagnostik ke standar baku emas, yaitu CTPA.[8]
Algoritma ini pada awalnya dapat menyingkirkan pemeriksaan maupun kecurigaan akan PE pada 85% pasien dengan kecurigaan PE tanpa adanya riwayat pemberian antikoagulan oral dalam 24 jam sebelum timbul gejala klinis. Di dalam algoritma YEARS, ditekankan bahwa adanya salah satu komponen YEARS dengan D-dimer ≤500 ng/mL dapat mengurangi pemeriksaan CTPA sebesar 48%.[8]
Algoritma YEARS, Skor Wells, Dan Fungsi Prediktif Dalam Kasus Emboli Paru
Pertanyaan berikutnya adalah apakah dari kedua skor tersebut ada yang lebih superior satu terhadap yang lain. Van der Hulle et al., melaporkan pada pengamatan 3 bulan sebanyak 18 orang yang pada presentasi awal tidak dicurigai adanya PE mengalami PE, dengan proporsi 33% mengalami PE dengan manifestasi kematian mendadak.[8]
Gibson et al., melaporkan bahwa semakin rendah skor Simplified Wells, insidens terjadinya PE dalam pengamatan jangka panjang akan semakin rendah. Sedangkan Wells et al., melaporkan bahwa skor Wells dapat menyingkirkan diagnosis DVT dengan negative predictive value 99,5% pada follow up 3 bulan.[5]
Alkhatip et al., dalam penelitiannya melaporkan bahwa kedua sistem skoring, baik Wells dan algoritma YEARS memiliki angka positif palsu yang tinggi.[4] Hal ini dilaporkan berdasarkan temuan pada 798 CTPA yang melaporkan angka PE pada 9,8% pasien yang melakukan CTPA. Lebih jauh, algoritma YEARS memiliki angka negative predictive value yang lebih baik (98% vs 92,4%) maupun sensitivitas lebih tinggi (97,44% vs 74,36%) dibandingkan skor Wells. Namun spesifisitas algoritma YEARS lebih rendah dibandingkan skor Wells (13,97% vs 33,94%).[3]
Dari beberapa hal tersebut, baik skor Wells maupun algoritma YEARS lebih tepat digunakan untuk menyingkirkan kecurigaan terhadap PE, bukan memprediksi terjadinya PE mengingat rendahnya angka positive predictive value pada sistem skoring tersebut. [9]
Berdasarkan uraian tersebut, kecurigaan terhadap PE harus dilakukan, terutama bila pasien memiliki faktor risiko terjadinya DVT atau pada pasien DVT yang memiliki keluhan sesak napas atau batuk berdarah secara mendadak. Faktor risiko terjadinya DVT seperti imobilisasi, riwayat pembedahan, riwayat stroke, riwayat penyakit keganasan, maupun autoimun harus dikaji pada saat pasien datang ke fasilitas kesehatan mengingat data mengenai PE masih belum ada di Indonesia.[9]
Kesimpulan
Hingga saat ini, emboli paru masih merupakan salah satu masalah medis yang membutuhkan perhatian medis mengingat manifestasi klinisnya yang sangat luas dan tidak spesifik, dari batuk berdarah, nyeri dada, hingga ke kematian mendadak.
Proses diagnosis emboli paru juga tidak mudah yaitu dengan menggunakan CTPA sebagai diagnosis standar emboli paru, namun CTPA juga memiliki risiko. Risiko paparan radiasi pada wanita di bagian payudara dan risiko gangguan pada ginjal akibat kontras pada CTPA. Sehingga penggunaannya harus dilakukan secara rasional.
Hal ini membuat adanya sistem skoring berdasarkan keluhan klinis sebagai sarana untuk mengarahkan kecurigaan pada Emboli paru sering digunakan, yaitu skor Wells dan algoritma YEARS. Selain skoring ini, PERC Rule juga dapat digunakan untuk mengeklusi emboli paru.
Skor WELLS dan YEARS memiliki sensitivitas dan negative predictive value yang baik, namun spesifisitasnya maupun positive predictive value kurang begitu menjanjikan. Hal ini membuat kedua skor tersebut lebih tepat penggunaannya sebagai skrining pada pasien yang memiliki manifestasi klinis mengarah kepada emboli paru dan memastikan pasien dengan kemungkinan tertinggi emboli paru yang dilanjutkan pemeriksaan konfirmasi diagnosis seperti CTPA atau ventilation/perfusion.