Penggunaan Sistem Skoring pada Emboli Paru

Oleh :
dr. Hendra Gunawan SpPD

Penggunaan sistem skoring pada emboli paru merupakan pemeriksaan alternatif yang lebih aman dan memiliki akurasi yang baik dalam diagnosis emboli paru. Diagnosis pasti emboli paru ditegakkan dengan pemeriksaan radiologi, tetapi sistem skoring dapat membantu mengidentifikasi pasien di instalasi gawat darurat (IGD). Artikel ini akan fokus membahas sistem skor Wells dan YEARS.[1,2]

Emboli paru memiliki gejala yang sangat nonspesifik, di mana kondisi ini merupakan kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa. Beckman et al. melaporkan bahwa angka pasti pasien emboli paru masih belum diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan 900.000 orang dengan rasio 1‒2 per 1000 penduduk tiap tahun mengalami emboli pari di Amerika Serikat. Selain itu, emboli paru juga berkontribusi terhadap 60.000‒100.000 kematian/tahun, di mana 25% pasien mengalami dengan kematian mendadak.[3]

Penggunaan Sistem Skoring pada Emboli Paru-min

Gejala Emboli Paru Nonspesifik

Seringkali, manifestasi emboli paru adalah gejala yang tidak spesifik. Hal tersebut membuat proses diagnostik menjadi tantangan tersendiri bagi dokter. Gejala yang dilaporkan dari laporan kasus maupun penelitian sangat bervariasi.[1,2,4]

Stein et al., melaporkan bahwa gejala emboli paru yang umum dijumpai adalah sesak napas (73%), takipnea (54%), nyeri pleuritik (44%), rasa nyeri di paha dalam (44%), bengkak pada paha (41%), dan batuk (34%). Selain itu, gejala tidak umum lainnya adalah ronki, takikardia, distensi vena jugularis, dan penurunan suara napas.[4]

Oleh karena itu, standar baku emas diagnosis emboli paru adalah CT pulmonary angiography (CTPA). Namun, penggunaan CTPA memiliki berbagai efek samping, seperti meningkatkan risiko terjadinya contrast-induced nephropathy (CIN), biaya mahal, radiasi, atau ketersediaannya yang mungkin tidak merata di semua lini fasilitas kesehatan, terutama Indonesia.[1]

Diagnosis Emboli Paru Berdasarkan Sistem Skoring

Untuk mencoba memecahkan sulitnya diagnosis emboli paru, berbagai ilmuwan dalam berbagai studi telah melakukan penelitian terkait sistem skoring. Sistem skoring ini berdasarkan kondisi klinis pasien, untuk mengarahkan dokter terhadap kecurigaan emboli paru sehingga dapat melakukan langkah diagnosis dan terapi lebih akurat.[1,2]

Skor Wells

Wells et al., pada tahun 2000 membuat sistem skoring untuk mendiagnosis emboli paru berdasarkan gejala klinis dengan kombinasi pemeriksaan D-dimer seperti pada tabel 1. Gabungan sistem skoring dan D-dimer tersebut ketika diteliti pada pasien yang suspek emboli paru di IGD memiliki angka negative predictive value 99,5%.[6]

Tabel 1. Skor Wells

tabel wells-min

Sumber: Wells, 2000.[5]

Lebih lanjut, Wells et al., melaporkan bila skor pasien tersebut ≤4 disertai dengan pemeriksaan D-dimer yang negatif, maka risiko terjadi PE hanya 2,2% Dalam suatu penelitian dengan populasi yang lebih besar, Bowman et al. melaporkan bahwa skor Wells memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91%, dengan positive predictive value 35%, dan negative predictive value 93%.[5,7]

Skor Simplified Wells

Gibson et al. menyederhanakan skor Wells dengan berbagai pertimbangan, yaitu membedakan pembobotan skor Wells yang berpotensi menyebabkan recall bias pada saat dokter melakukan evaluasi dan mempermudah pengingatan skor tersebut.[8]

Tabel 2. Skor Simplified Wells

modified-min

Sumber: Van Der Huller, 2017.[9]

Dalam analisis lanjutan, skor simplified Wells tidak lebih inferior daripada skor Wells, dengan area under curve 0,74 dan tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan secara statistik antara skor Wells dengan skor simplified Wells.[8]

Algoritma YEARS

Seiring dengan teknologi yang lebih berkembang dan pemeriksaan D-dimer yang lebih terjangkau di berbagai lini kesehatan, temuan klinis dan laboratorium digabungkan sehingga dokter dapat lebih mudah mengarahkan diagnosis. Van der Hulle et al., pada tahun 2017, melaporkan hasil penelitiannya dalam bentuk Algoritma Years.[9]

Gambar 1. Algoritme YEARS.[9]

YEARS

Pada algoritma ini, ditekankan 3 poin anamnesis yang penting dalam mengarahkan kecurigaan emboli paru, yaitu adanya tanda maupun gejala klinis yang mengarah pada deep vein thrombosis  (DVT), hemoptisis, dan tidak ada diagnosis lain yang dapat menjawab kemungkinan tersebut. Pemeriksaan D-dimer juga dilakukan secara kuantitatif untuk lebih mengarahkan kecurigaan emboli paru sebelum  melakukan proses diagnostik ke standar baku emas, yaitu CTPA.[9]

Algoritma ini pada awalnya dapat menyingkirkan pemeriksaan maupun kecurigaan emboli paru pada 85% pasien tanpa adanya riwayat pemberian antikoagulan oral dalam 24 jam sebelum timbul gejala klinis. Di dalam algoritma YEARS, ditekankan bahwa salah satu komponen YEARS dengan D-dimer ≤500 ng/mL dapat mengurangi pemeriksaan CTPA sebesar 48%.[9]

Perbandingan Skor Wells dan Algoritma YEARS dalam Memprediksi Emboli Paru

Apakah skor Wells dan algoritma YEARS lebih superior satu terhadap yang lain? Van der Hulle et al. melaporkan hasil pengamatan 3 bulan terhadap 18 pasien yang pada presentasi awal tidak dicurigai tetapi kemudian mengalami emboli paru. Hasilnya adalah 33% pasien mengalami emboli paru dan mengalami kematian mendadak.[9]

Gibson et al. melaporkan bahwa semakin rendah skor simplified Wells maka insidens emboli paru dalam pengamatan jangka panjang akan semakin rendah. Sementara itu, Wells et al. melaporkan bahwa skor Wells dapat menyingkirkan diagnosis DVT dengan negative predictive value 99,5% pada follow up 3 bulan.[6]

Alkhatip et al., melaporkan bahwa kedua sistem skoring, baik Wells dan algoritma YEARS memiliki angka positif palsu yang tinggi. Berdasarkan temuan pada 798 CTPA, dilaporkan 9,8% pasien mengalami emboli paru. Lebih jauh, algoritma YEARS memiliki angka negative predictive value yang lebih baik (98% vs 92,4%) maupun sensitivitas lebih tinggi (97,44% vs 74,36%) dibandingkan skor Wells. Namun, spesifisitas algoritma YEARS lebih rendah dibandingkan skor Wells (13,97% vs 33,94%).[1]

Berdasarkan hasil penelitian di atas, skor Wells dan algoritma YEARS lebih tepat digunakan untuk menyingkirkan kecurigaan terhadap emboli paru. Skoring ini bukan memprediksi terjadinya emboli paru, karena rendahnya angka positive predictive value.[10]

Kecurigaan emboli paru terutama bila pasien memiliki faktor risiko terjadinya DVT atau pada pasien DVT yang memiliki keluhan sesak napas atau batuk berdarah secara mendadak. Faktor risiko terjadinya DVT, seperti imobilisasi, riwayat pembedahan, riwayat stroke, riwayat penyakit keganasan, maupun autoimun, harus dikaji pada saat pasien datang ke fasilitas kesehatan. Hal ini mengingat data mengenai emboli paru masih belum ada di Indonesia.[10]

Kesimpulan

Hingga saat ini, emboli paru masih merupakan salah satu masalah medis yang membutuhkan perhatian medis mengingat manifestasi klinisnya yang sangat luas dan tidak spesifik, dari batuk berdarah, nyeri dada, hingga ke kematian mendadak.

Proses diagnosis emboli paru juga tidak mudah yaitu dengan menggunakan CTPA sebagai diagnosis standar emboli paru. Hal ini membuat adanya sistem skoring berdasarkan keluhan klinis sebagai sarana untuk mengarahkan kecurigaan pada Emboli paru sering digunakan, yaitu skor Wells dan algoritma YEARS. Selain skoring ini, PERC Rule juga dapat digunakan untuk mengeklusi emboli paru.

Skor WELLS dan YEARS memiliki sensitivitas dan negative predictive value yang baik, namun spesifisitasnya maupun positive predictive value kurang begitu menjanjikan. Hal ini membuat kedua skor tersebut lebih tepat penggunaannya sebagai skrining pada pasien yang memiliki manifestasi klinis mengarah kepada emboli paru dan memastikan pasien dengan kemungkinan tertinggi emboli paru yang dilanjutkan pemeriksaan konfirmasi diagnosis seperti CTPA atau ventilation/perfusion.

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi