Nutrisi pada Pasien COVID-19

Oleh :
dr. Katharina Listyaningrum Prastiwi

Selain pemberian medikamentosa, nutrisi optimal perlu juga diperhatikan dalam tata laksana pasien COVID-19. Tata laksana pasien COVID-19 sampai saat ini masih terus berkembang melalui berbagai penelitian, guna mengetahui terapi optimal yang dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan pemberian nutrisi yang optimal dengan proses penyembuhan dan tingkat keparahan pasien COVID-19. [1,2]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

COVID-19 merupakan infeksi saluran pernapasan yang disebabkan spesies virus SARS-Cov-2, yang masuk dalam famili Coronaviridae.  Penyakit ini pertama kali dilaporkan di Wuhan Cina pada tahun 2019. Spesies virus SARS-Cov-2 merupakan salah satu jenis virus yang memiliki tingkat penularan tinggi, sehingga menyebar secara masif. WHO menyatakan status pandemi di seluruh dunia akibat COVID-19. [1,2]

Malnutrisi pada Pasien COVID-19

Sebagian besar pasien COVID-19 mengalami malnutrisi, baik gizi kurang maupun gizi lebih. Status gizi ini telah terbukti menjadi faktor penting dalam menentukan prognosis pasien. Studi yang dilakukan Tamara et al menemukan bahwa pasien COVID-19 dengan obesitas memiliki risiko kesakitan yang tinggi dan prognosis yang buruk. Pada pasien dengan kondisi kurang gizi, risiko gagal ginjal akut lebih tinggi dibandingkan pasien dengan status gizi normal [11,12]

Selain itu, kondisi penyakit komorbid yang menyertai seperti hipertensi, diabetes melitus, dan gangguan metabolik lainnya juga mempengaruhi status gizi pasien COVID-19. Skrining status gizi pasien perlu dilakukan sejak dini agar risiko keparahan penyakit dapat berkurang [1,2].

shutterstock_1160655286-min

Nutrisi Suportif pada Pasien Gejala Ringan

Penelitian pada tahun 2016 menilai hasil jangka panjang pasien yang dirawat di rumah sakit dengan pneumonia komuniti. Penelitian ini menemukan bahwa sebanyak 39% pasien memiliki status nutrisi yang tidak baik. Status nutrisi seperti rendahnya albumin mampu meningkatkan angka mortalitas dalam 30 hari sampai 2,5 tahun. Nutrisi optimal perlu diberikan pada semua derajat keparahan COVID-19, dan diberikan berdasarkan skrining status gizi awal. Pasien gejala ringan juga perlu dilihat apakah ada komorbid lain. Apabila pemberian nutrisi melalui makanan tidak mencukupi, dapat diberikan tambahan suplemen guna mengakomodir kebutuhan nutrisi.[3]

Pemberian nutrisi ini disesuaikan dengan kebutuhan makro dan mikronutrien tiap pasien. Pasien lansia dan memiliki gangguan menelan perlu dievaluasi dan dimonitoring ketat untuk mengurangi risiko perburukan.[4,5]

Asupan Makronutrien

Pemilihan makanan pada COVID-19 disarankan rendah karbohidrat dan memiliki indeks glikemik yang rendah. Hal ini dilakukan guna menghindari kerja mitokondria yang berlebih dan mencegah terjadinya sintesis radikal bebas [8,9]

Asupan protein selama fase ini diperlukan sebesar >1g/kgBB/hari (maksimal 1,5g/kgBB/hari). Sementara itu asupan karbohidrat dan lemak disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada pasien dengan gangguan pernapasan, kebutuhan karbohidrat sama dengan kebutuhan lemak dengan rasio 50:50. Sementara itu, pada kondisi tanpa gangguan pernapasan, kebutuhan karbohidrat dan lemak memiliki rasio 30:70.[13]

Asupan Mikronutrien

Beberapa zat mikronutrien yang diduga dapat membantu proses penyembuhan pasien COVID-19 adalah vitamin A, C, E, D, serta omega-3, zinc, dan zat besi. Pemberian vitamin C relatif aman, akan tetapi manfaatnya pada kasus COVID-19 belum terbukti melalui uji klinik. Secara teoritis, terdapat potensi vitamin C yang relevan dengan kasus COVID-19 seperti meningkatkan sistem imun dan sebagai antioksidan. Makanan yang mengandung vitamin C dan A adalah berbagai macam sayur dan buah seperti jeruk, beri, sayur berdaun hijau, dan tomat.[6-9,20]

Vitamin E dan omega-3 berfungsi sebagai antiinflamasi dan antioksidan. Beberapa makanan yang mengandung vitamin E adalah kacang-kacangan, biji-bijian, minyak sayur, dan sayuran berdaun hijau. Sementara, omega-3 dapat ditemukan pada berbagai jenis ikan dan minyak ikan.[6-9]

Vitamin D berperan dalam modulasi sistem imun dengan menghambat pengeluaran sitokin proinflamasi dan meningkatkan sitokin yang bersifat antiinflamasi. Berbagai studi menyatakan bahwa vitamin D mempunyai peran dalam pencegahan dan terapi penyakit infeksi saluran pernapasan, sehingga vitamin D dapat sebagai terapi adjuvan untuk COVID-19. Beberapa jenis makanan yang mengandung vitamin D di antaranya telur, jamur, dan berbagai produk turunan susu.[6-9]

Mineral zinc pada penelitian in vitro menunjukkan efek antivirus dengan cara menginhibisi replikasi virus. Makanan yang mengandung mineral di antaranya daging, kacang-kacangan, dan produk susu.[6-9,19]

Nutrisi Suportif pada Pasien Gejala Sedang-Berat

Pada derajat ini, seringkali terjadi malnutrisi pada pasien COVID-19 karena peningkatan kebutuhan energi akibat hiperkatabolisme, asupan yang kurang adekuat, dan gangguan metabolik yang terlibat. Pemberian nutrisi pada kasus gejala berat perlu dilakukan sejak dini. Studi menemukan bahwa pemberian nutrisi enteral yang optimal dalam 24 jam pertama mampu menurunkan angka mortalitas pasien.[10]

Pada pasien gejala berat, skrining status nutrisi perlu dilakukan secara berkala sesuai dengan perkembangan kesehatan pasien. Skrining bisa dilakukan menggunakan Nutrition Risk Screening Form.[14]

Pada tabel skrining awal, terdapat beberapa pertanyaan yang jika dijawab iya pada satu pertanyaan saja maka dilanjutkan ke tabel skrining akhir. Jika semua pertanyaan dijawab tidak, maka dilakukan skrining rutin setiap minggu. Pertanyaan di skrining awal adalah:

  • Apakah indeks massa tubuh (IMT) pasien kurang dari 20,5?
  • Apakah pasien mengalami penurunan berat badan dalam waktu 3 bulan ke belakang?
  • Apakah pasien melakukan diet mengurangi asupan selama seminggu ke belakang?
  • Apakah pasien mendapatkan terapi intensif atau memiliki sakit berat?[14]

Sedangkan tabel skrining akhir pada Nutrition Risk Screening Form terdiri dari sistem skoring untuk menentukan status gizi pasien apakah berisiko dan membutuhkan inisiasi nutritional care plan. Sistem skoring ini sebaiknya dilakukan rutin setiap minggu.[14]

Beberapa nutrisi yang perlu diperhatikan selama fase ini adalah pemberian makronutrien dan mikronutrien yang sesuai, terutama energi, protein, dan lemak. Makronutrien dan mikronutrien ini dapat diberikan secara enteral maupun parenteral tergantung dari kondisi pasien. Pemberian nutrisi enteral dapat dilakukan mulai dari porsi makanan yang sedikit tapi sering hingga pemberian melalui pipa nasogastric. Sementara itu, pemberian secara parenteral dilakukan pada pasien yang tidak mendapatkan energi yang cukup melalui pemberian enteral dan pada pasien gangguan pernapasan berat.[1,2]

Energi

Pemberian energi pada pasien gejala berat dapat diberikan via enteral maupun parenteral tergantung dari kondisi pasien. Kebutuhan energi ini dihitung berdasarkan berat badan, yaitu 20−25 kkal/kgBB/hari. Angka ini harus disesuaikan sebagai berikut:

  • Pada pasien non-obesitas, energi yang dibutuhkan 25−30 kkal/kgBB/hari
  • Pada pasien overweight, energi yang dibutuhkan sekitar 21 kkal/kgBB/hari
  • Pada pasien obesitas dengan IMT 30−50 kg/m2, energi yang dibutuhkan 11−14 kkal/kgBB/hari
  • Pada pasien obesitas dengan IMT >50 kg/m2, energi yang dibutuhkan 22−25 kkal/kgBB/hari
  • Pada pasien diabetes melitus terjadi peningkatan risiko ketoasidosis akibat defisiensi insulin berat, sehingga kebutuhan energi pada kondisi ini perlu penilaian lebih lanjut[1,16]

Protein

Pemberian protein optimum pada pasien COVID-19 gejala berat diketahui dapat menurunkan angka mortalitas. Protein dapat diberikan dengan takaran 1,5−2 gr/kgBB/hari. Pemberian protein tambahan secara parenteral dapat dilakukan bila asupan melalui makanan masih kurang.[1,2]

Pada penderita gagal ginjal kebutuhan protein cenderung lebih rendah, yaitu 0,55‒0,6 g/kgBB/hari. Pasien yang tidak menjalani hemodialisa  disarankan untuk mendapat asupan protein 50% berasal dari tumbuhan. Pada pasien gagal ginjal yang sudah menjalani hemodialisa, asupan protein yang disarankan 1‒1,2g/kgBB/hari.[17]

Lemak

Pemberian lemak berupa docosahexaenoic acid (DHA) dan eicosapentaenoic acid (EPA) berfungsi untuk mengurangi risiko gagal napas, menurunkan kadar stress oksidatif dalam tubuh, dan menurunkan risiko sepsis. Lemak dapat diberikan dengan takaran 500 mg per hari melalui pemberian enteral, dan 100‒200 mg/kgBB/hari pada pemberian parenteral.[1,2]

Pada pasien dengan penyakit komorbid aterosklerosis dan hipertensi, pemberian lemak harus dibatasi. Kadar lemak yang disarankan pada kondisi ini berbeda-beda tergantung kondisi pasien. Penggunaan obat-obatan untuk menurunkan kadar lemak juga dapat dilakukan seperti pemberian obat-obatan golongan statin.[18]

Mikronutrien

Kebutuhan mikronutrien pada kondisi COVID-19 umumnya sama pada tiap derajat. Pada derajat berat, penambahan vitamin C dan vitamin D dapat dilakukan. Berbagai penelitian terkait suplementasi vitamin D dalam dosis tinggi untuk penderita COVID-19 masih menunjukkan hasil yang inkonklusif. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian vitamin C pada kasus COVID-19 relatif aman, akan tetapi manfaatnya belum terbukti melalui uji klinik.[14,15]

Kesimpulan

Pemberian nutrisi yang optimal pada pasien COVID-19 bukan hanya mampu memperbaiki kondisi pasien, tetapi juga akan menurunkan risiko mortalitas dan morbiditas penyakit.

Sebelum menentukan nutrisi yang sesuai, perlu dilakukan skrining status nutrisi pada pasien gejala ringan, sedang, maupun berat. Skrining ini sebaiknya dilakukan secara berkala, terutama pada pasien dengan komorbid, pasien gejala berat, dan pasien malnutrisi. Melalui skrining ini, penyesuaian nutrisi dapat dilakukan sejalan dengan kondisi pasien.

Nutrisi yang diperlukan pada kondisi COVID-19 terdiri dari makronutrien dan mikronutrien. Pada kasus gejala ringan, pemberian makanan tinggi vitamin dan mineral, seperti vitamin A, C, D, E, serta mineral zinc dan zat besi dapat diberikan melalui makanan ataupun berupa suplementasi makanan.

Pada kondisi COVID-19 gejala sedang-berat, pemberian nutrisi menjadi lebih kompleks sehingga diperlukan konsultasi dengan dokter spesialis gizi. Selain vitamin dan mineral, beberapa makronutrien juga perlu diatur jumlahnya sesuai dengan kondisi pasien. Pemberian nutrisi dilakukan secara enteral maupun parenteral sesuai dengan status penyakit yang dialami.

Referensi