Guillain−Barré Syndrome pada Pasien COVID-19

Oleh :
dr. Audiza Luthffia

Telah banyak laporan kasus dan studi observasional yang menyebutkan Guillain−Barré syndrome (GBS) sebagai salah satu manifestasi neurologis COVID-19. Infeksi SARS-COV-2 tidak hanya menyebabkan gejala pada organ respirasi, tetapi juga ekstrapulmonal termasuk gastrointestinal, kardiovaskular, renal, hematologis, dan neurologis. Sejak dilaporkan pertama kali di bulan Januari 2020, kasus GBS pada penderita COVID-19 terus bertambah secara eksponensial.[1]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Patofisiologi Guillain−Barré Syndrome pada COVID-19

Guillain−Barré Syndrome (GBS) merupakan spektrum klinis dengan karakteristik polineuropati akut, yang dimediasi oleh sistem imun. Sampai saat ini, patofisiologi GBS pada COVID-19 belum sepenuhnya diketahui dan hubungan antara keduanya masih terus diteliti. Namun, beberapa studi yang ada menunjukkan bahwa kasus GBS pada penderita COVID-19 memiliki karakteristik epidemiologi dan klinis yang berbeda dengan kasus GBS pada umumnya.[1]

Manifestasi klinis GBS pada COVID-19 diperkirakan bukan akibat langsung infeksi virus SARS-COV-2, melainkan akibat respon imun tubuh pasien. Selain itu, telah dilaporkan juga GBS pada individu pasca vaksin COVID-19.[3,4,7]

GuillainBarre Syndrome pada Pasien COVID-19-min

Epidemiologi Guillain−Barré Syndrome pada COVID-19

Pada populasi umum, insidensi GBS berkisar 0,8−1,9 kasus per 100.000 orang/tahun. Sementara, sebuah tinjauan sistematis dan meta analisis yang melibatkan 18 penelitian dengan total 136.746 pasien terkonfirmasi COVID-19 menunjukkan prevalensi GBS sebesar 15 kasus per 100.000 pasien.[1,2]

Studi lain yang menganalisa 95 artikel dengan 220 kasus GBS melaporkan peningkatan insidensi GBS setelah pandemic COVID-19, yaitu 0,93 kasus per 100.000 orang/tahun pada tahun 2019 menjadi 2,43 kasus per 100.000 orang/tahun pada tahun 2020.[3]

GBS pada COVID-19 dapat terjadi pada seluruh kelompok usia. Rerata usia pasien COVID-19 yang terdiagnosa GBS adalah 58,89 ± 1,7 tahun, tidak ada perbedaan yang signifikan dengan kasus GBS di populasi umum. Kasus GBS pada pasien COVID-19 didominasi oleh pasien laki-laki, tetapi belum dapat dipastikan apakah jenis kelamin laki-laki meningkatkan risiko GBS pada pasien COVID-19.[1,3,4]

Manifestasi Klinis Guillain−Barré Syndrome pada COVID-19

Diagnosis GBS ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis berupa paraparesis bilateral, progresif, dan flaccid, di mana kelemahan dimulai dari bagian distal yang menjalar ke proksimal.[3,4]

Onset Gejala

Onset gejala GBS pada penderita COVID-19 berkisar antara 10 hari sebelum hingga 90 hari sesudah munculnya gejala respiratori, atau gejala non-neurologis COVID-19 lainnya. Namun, mayoritas manifestasi GBS pada COVID-19 muncul setelah onset gejala respiratori.[3,4]

Berdasarkan tinjauan sistematis oleh Finsterer et al pada tahun 2021, ditemukan bahwa dari 165 pasien COVID-19 dengan GBS, sebanyak 156 pasien mengalami onset gejala GBS setelah onset gejala non-neurologis COVID-19, sedangkan 3 pasien bersamaan dan 6 pasien sebelum onset gejala non-neurologis COVID-19.[3,4]

Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda GBS yang dikaitkan dengan infeksi SARS-COV-2 adalah:

  • Gangguan olfaktori dan gustatori
  • Neuropati nervus kranialis
  • Kelumpuhan otot wajah
  • Defisit sensoris
  • Disfungsi otonom
  • Distress pernapasan, tetapi sulit untuk memastikan apakah disebabkan oleh paralisis otot pernapasan atau merupakan komplikasi pulmonal dari COVID-19[1,5,6]

Subtipe GBS yang dominan ditemukan pada pasien COVID-19 adalah acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP), yaitu sebanyak 73,3%. Infeksi virus SARS-COV-2 meningkatkan kemungkinan AIDP hingga 3 kali lipat pada pasien GBS (OR 3.27, 95% CI 1.32–8.09). Sebaliknya, infeksi SARS-COV2 tidak berhubungan dengan peningkatan subtipe axonal pada pasien GBS.[1,3]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis cerebrospinal fluid (CSF). Hasil analisis CSF pada penderita GBS akan menunjukkan disosiasi sitoalbumin, dimana terjadi kenaikan kadar protein (>0,55 g/L) tanpa kenaikan jumlah leukosit. Pemeriksaan menunjukkan bahwa virus SARS-COV-2 tidak terdeteksi di dalam CSF pasien COVID-19 yang mengalami gejala GBS.[1,3,4]

Pemeriksaan elektrodiagnostik yang menunjang diagnosis GBS adalah uji konduksi saraf. Pemeriksaan ini cukup sensitif untuk mendeteksi GBS, yaitu ditemukan gambaran lesi demielinisasi atau lesi aksonal baik pada saraf motorik maupun sensorik. Temuan pada pemeriksaan ini juga dapat menunjukkan subtipe dari GBS.[3,4]

Penatalaksanaan Guillain−Barré Syndrome pada COVID-19

Pasien COVID-19 dengan GBS mendapat terapi yang sama dengan pasien GBS pada umumnya. Penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah imunoglobulin intravena, plasmapheresis, steroid, disertai terapi suportif seperti ventilasi mekanik sesuai indikasi.[3,4,6]

Luaran Klinis Guillain−Barré Syndrome pada COVID-19

Beberapa studi menunjukkan hasil yang berbeda terkait luaran pasien COVID-19 dengan GBS. Sebuah meta analisis oleh Palaiodimou et al tahun 2021 menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan terhadap respon terapi antara pasien GBS dengan COVID-19 bila dibandingkan dengan GBS pada populasi umum.[1]

Meta analisis tersebut berdasarkan 18 studi yang terdiri dari 11 uji kohort dan 7 case series. Selain itu, juga tidak terdapat perbedaan luaran klinis berupa kebutuhan perawatan intensif, ventilasi mekanik, dan mortalitas di rumah sakit antara populasi tersebut.[1]

Tinjaun lain oleh Finsterer et al menunjukkan bahwa luaran klinis pasien GBS dengan COVID-19 lebih buruk daripada pasien GBS tanpa COVID-19. Data dari 168 pasien GBS dengan COVID-19 menunjukkan bahwa sebanyak 37 pasien sembuh dengan sempurna, 119 pasien mengalami kesembuhan parsial, dan 12 pasien meninggal dunia. Namun, pada studi ini tidak diulas mengenai faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi luaran dari pasien GBS dengan COVID-19.  [3]

Sebuah studi kohort prospektif oleh Luitjen et al tahun 2021 memberikan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan mortalitas antara pasien GBS dengan dan tanpa COVID-19. Namun, perawatan ICU ditemukan lebih banyak pada pasien GBS dengan COVID-19 (55%), jika dibandingkan dengan pasien GBS dengan hasil tes COVID-19 negatif (21%). Sebanyak 4 dari 11 (36%) pasien GBS dengan COVID-19 yang dirawat di ICU membutuhkan ventilasi mekanik.[5]

Pada seluruh pasien yang mendapat perawatan di ICU, ditemukan abnormalitas CT scan toraks dan mengalami komplikasi, seperti pneumonia, acute respiratory distress syndrome (ARDS), sepsis, dan emboli paru. Tidak terdapat perbedaan antara skor disabilitas antara pasien GBS dengan dan tanpa COVID-19 pada pemeriksaan di minggu ke-4 dan ke-13 setelah onset.[5]

Kesimpulan

Guillain−Barré Syndrome (GBS) merupakan salah satu manifestasi neurologis dari COVID-19, yang ditandai dengan paraparesis bilateral, progresif, dan bersifat ascending dari distal ke proksimal. Beberapa studi melaporkan peningkatan kasus GBS setelah pandemi COVID-19. Namun, insidensi GBS pada COVID-19 masih perlu diteliti lebih lanjut, karena dapat dipengaruhi oleh akurasi estimasi kasus positif serta jumlah populasi yang menjalani uji COVID-19.

Manifestasi GBS pada pasien COVID-19 diperkirakan timbul sebagai akibat respon imun tubuh terhadap infeksi virus SARS-COV-2. Gejala dan tanda GBS pada COVID-19 yang sering ditemukan antara lain kelumpuhan otot wajah, defisit sensoris, dan neuropati nervus kranialis. Pada pemeriksaan konduksi saraf, GBS dengan COVID-19 didominasi oleh subtipe acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP).

Mayoritas studi yang ada memiliki jumlah sampel yang terbatas, masih diperlukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menggambarkan manifestasi GBS pada COVID-19 pada populasi umum.

Tidak terdapat perbedaan terapi antara kasus GBS dengan COVID-19 daripada kasus GBS pada umumnya. Sampai saat ini, belum ada panduan khusus terkait penatalaksanaan GBS pada COVID-19. Luaran GBS dengan COVID-19 masih menunjukkan hasil yang inkonklusif, sehingga masih perlu diteliti lebih lanjut. Luaran pasien COVID-19 dengan GBS yang buruk dapat dipengaruhi oleh komplikasi lain, seperti sepsis dan hiperkoagulabilitas.

Referensi